Militer Myanmar Berupaya Pertahankan Sekutu Etnis Minoritas

  • Associated Press
    VOA

Jenderal Senior Min Aung Hlaing, kepala dewan militer Myanmar (kanan tengah) dan Ketua Dewan Restorasi Negara Bagian Shan-RCSS (SSA) Sao Yawd Serk menghadiri peringatan perjanjian gencatan senjata, di Naypyitaw, Myanmar, Minggu, 15 Oktober 2023. (Foto: Aung Shine Oo/AP Photo)

Pemerintah militer Myanmar, Minggu (14/10) menyambut perwakilan dari kelompok pemberontak etnis pada peringatan kedelapan penandatanganan perjanjian gencatan senjata multilateral. Namun, acara tersebut diboikot oleh tiga penandatangan yang menentang rezim yang saat ini dipimpin oleh militer.

Acara di Naypyitaw, Ibu Kota Myanmar, ini merupakan pertemuan formal pertama yang dihadiri pemerintah militer dan para pemimpin etnis minoritas sejak militer merebut kekuasaan dari pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi pada 1 Februari 2021.

Mempertahankan gencatan senjata dengan sebanyak mungkin kelompok sangat penting bagi pemerintahan militer, yang selama lebih dari dua tahun menghadapi perlawanan bersenjata nasional dari para penentang pengambilalihan kekuasaan pada 2021. Kekuatan pro-demokrasi mempunyai aliansi penting dengan, atau didukung beberapa kelompok pemberontak etnis. Militer telah melancarkan serangan di wilayah yang sudah lama berada di bawah kendali kelompok etnis minoritas.

BACA JUGA: Amnesty: Bom Besar Tak Terarah Kemungkinan Digunakan dalam Serangan di Myanmar

Untuk mengguncang dan memecah belah aliansi anti pemerintahan militer, penguasa militer juga telah melakukan serangkaian perundingan damai secara langsung dengan para pemimpin etnis minoritas sejak Mei tahun lalu, tetapi tidak banyak menunjukkan hasil.

Myanmar memiliki 21 organisasi etnis bersenjata dan sebagian dari kelompok terbesar dan terkuat, termasuk Tentara Kemerdekaan Kachin dan Tentara Negara Bagian Wa, tidak mendukung pakta gencatan senjata tersebut, yang mereka anggap kurang inklusif.

Perjanjian tersebut dipandang sebagai langkah untuk mengakhiri pemberontakan yang sudah berlangsung lama terhadap pemerintah, namun pemerintah selalu enggan mencapai penyelesaian politik komprehensif yang diinginkan sebagian besar kelompok tersebut.

Perebutan kekuasaan oleh militer melemahkan peluang proses perdamaian. [my/lt]