Mimpi Sejahtera dan Takdir Penambang Pasir

  • Nurhadi Sucahyo

Seorang penambang bisa memilih waktu kerja karena bisnis pasir di kawasan Merapi berlangsung 24 jam sehari. (Foto: VOA/Nurhadi)

Pencarian korban longsor di lokasi tambang di Magelang, Jawa Tengah, dihentikan oleh pemerintah setempat. Selain itu, aktivitas penambangan juga dilarang untuk sementara, sehingga ribuan pekerja terpaksa libur.

Kematian delapan penambang pasir di tebing sungai Bebeng, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah hari Senin (18/12), masih menjadi perbincangan hangat. Apalagi, kepolisian kini melarang aktivitas penambangan di tiga kecamatan seputar lereng Merapi, menyusul bencana itu. Rabu (20/12) siang, warga yang biasa bekerja di sektor ini, lebih banyak mengisi waktu sambil membincangkan nasib kawan-kawannya.

Para penambang pasir bercerita tentang musibah-musibah sebelumnya. Menurut penambang, kecelakaan terjadi begitu sering. Penandanya sangat mudah, jika ada truk melaju kencang ke arah hilir tanpa muatan pasir, maka bisa dipastikan yang diangkut adalah penambang yang cedera.

Kepada VOA, seorang sopir bercerita mengenai kernet truk yang meninggal karena kecelakaan ketika memuat pasir. Seorang penambang berkisah tentang tetangganya yang masih dalam proses penyembuhan sampai saat ini. Ada pula yang menyebut kawannya 'Raja Tebing', karena keberaniannya menambang di kawasan itu. Sayangnya, Raja Tebing pun belum lama ini jatuh dan mengalami patah tulang.

Darsiyo, salah seorang penambang pasir, mengaku mengenal beberapa korban yang meninggal Senin lalu. Mereka adalah tetangganya di desa di Magelang, sama-sama mengadu nasib sebagai penambang, dan tergabung dalam paguyuban. Kematian ini semakin menyesakkan, karena saat ini sulit mencari uang.

Musim hujan membuat permintaan pasir turun karena proyek yang melambat, dan bulan Desember kebanyakan proyek pemerintah telah selesai. Meski sepi, pendapatan penambang pasir jauh melebihi Upah Minimum Regional (UMR) kabupaten.

Seorang pekerja toko misalnya, rata-rata memperoleh pendapatan Rp 900 ribu sampai Rp 1 juta rupiah sebulan. Jumlah itu bisa diperoleh penambang pasir dalam empat hari, dengan hanya bekerja sekitar 6 jam per harinya.

“Kalau sopirnya baik hati kita bisa dibayar Rp 600 ribu sekali angkut, kalau nggak ya.. minimal Rp 500 ribu. Jadi, karena yang muat empat orang yang masing-masing dapat Rp 125 ribu. Itu bisa dua kali sehari, jadi totalnya Rp 250 ribu rata-rata,” tutur Darsiyo.

Ditutupnya kawasan penambangan memaksa warga bekerja di depo penjualan yang berada jauh di hilir. (Foto: VOA/Nurhadi)

Jumlah yang cukup besar itu pulalah yang membuat penambang rela mengambil risiko. Kawasan tambang pasir, sebenarnya adalah sungai yang berhulu di Merapi. Pasir yang dibawa dari puncak ketika hujan, tersedia melimpah, apalagi pasca letusan besar tahun 2010 lalu.

Namun kini, dengan ribuan truk yang mengangkutnya setiap hari, persediaan pasir itupun habis. Para penambang bahkan harus merubuhkan tebing-tebing setinggi 25 meter untuk diambil pasirnya.

Begitu berbahayanya penambangan ini, banyak penambang mencari lokasi di bagian hilir sungai. Bahkan, banyak pula yang membeli pasir dari kebun-kebun milik warga di sepanjang kiri-kanan aliran sungai itu.

Seorang penambang bercerita kepada VOA, istrinya tegas melarang dia menambang di kawasan hulu.

“Istri saya takut sekali kalau terjadi apa-apa, jadi dia mengancam ndak mau nerima uang belanja, kalau saya dapatnya dari nyari pasir di tebing-tebing itu,” ujarnya sambil tertawa.

Kesejahteraan dan Kecelakaan Kerja

Pendapatan yang besar ternyata tidak selalu berarti peningkatan kesejahteraan. Martanto, seorang mantan penambang pasir bercerita kepada VOA, dulu ketika menambang dalam setengah hari dia bisa mengumpulkan Rp 350 ribu.

Herannya, kata Martanto, uang itu nyaris lenyap tanpa bekas selama bertahun-tahun menambang. Dia menduga, karena mudah diperoleh, para penambang cenderung membelanjakan uang sembarangan untuk konsumsi.

“Saya akhirnya berhenti. Cari pekerjaan lain, dan kelihatannya kok lebih cocok dan tenang daripada menambang pasir,” ujar Martanto yang kini berdagang burung merpati.

Kondisi yang sama masih dilihat Martanto pada tetangga-tetangganya yang berprofesi sebagai penambang pasir. Biasanya, yang dilakukan setelah memperoleh pendapatan cukup adalah mengambil kredit barang, terutama sepeda motor keluaran baru. Jarang yang memperhatikan pendidikan anak, seperti Martanto sendiri yang berhenti sekolah setelah lulus SMP.

Wakil Ketua DPRD Kabupaten Magelang, Yogyo Susaptoyono menyebut, kawasan sekitar Merapi memang memperoleh berkah dari melimpahnya pasir. Tidak hanya dari Magelang, penambang juga datang dari kabupaten-kabupaten sekitarnya. Namun Yogyo mengakui, sebagai kawasan kerja, area tersebut mengandung resiko besar yang tidak disadari para penambang.

Yogyo mencatat angka kecelakaan kerja cukup tinggi di kawasan Merapi. Karena itulah, Yogyo mendesak peran lebih besar dari pemerintah daerah dan paguyuban penambang pasir untuk menekan angka kecelakaan kerja itu.

“Pola-pola penambangan yang tidak memperhatikan alam, tidak memperhatikan kelestarian lingkungan, akan berimbas pada keselamatan mereka sendiri. Kita tidak bisa menutup mata, memang inilah mata pencaharian mereka. Keberkahan dari Gunung Merapi ini memang menghasilkan untuk mereka, tetapi pola pengamanan diri, bekerja hati-hati itu perlu ditekankan dengan sosialisasi yang lebih sering kepada para penambang,” tukas Yogyo.

Yogyo menyambut baik keputusan aparat keamanan yang menutup kegiatan penambangan untuk sementara. Di hari-hari setelah bencana tragis ini, seluruh pihak diharapkan mampu berkoordinasi lebih baik dan menetapkan sistem kerja lebih baik, termasuk mengatur kawasan dengan lebih ketat.

Your browser doesn’t support HTML5

Mimpi Sejahtera dan Takdir Penambang Pasir

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah, Ismail Al Habib melihat bencana Senin lalu sebagai kombinasi berbagai faktor. Selain cara kerja penambang yang kurang memperhatikan kondisi alam, musim penghujan juga mempengaruhi struktur tebing. Lebih jauh dari itu, kata Ismail, Merapi sebaiknya tidak dipandang dari sudut pandang ekonomi saja.

Fungsi konservasi kawasan itu, baik untuk wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta, harus memperoleh perhatian lebih besar. Ismail mendesak pemerintah memanfaatkan penghentian penambangan kali ini, untuk melihat kembali berbagai hal yang mungkin tersisihkan dalam pengelolaan kawasan Merapi.

“Dalam moratorium seperti saat ini, perlu dilakukan penertiban untuk ijin tambangnya, kemudian pasca tambang, proses reklamasinya, ini mesti ditertibkan agar potensi bencana yang kedepannya berpotensi mengganggu bisa dikurangi. Kemudian yang terkait fungsinya, misalnya sebagai wilayah konservasi maupun tangkapan air, sebisa mungkin tidak dijadikan sebagai kawasan tambang,” kata Ismail.

Ismail juga mengingatkan pemerintah sudah menetapkan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) di kawasan itu. Aktivitas penambangan harusnya hanya bisa dilakukan di luar area TNGM. Dia meminta pemerintah memperketat pengawasan, meninjau kembali semua ijin usaha pertambangan , dan mendidik masyarakat setempat tentang fungsi kawasan Merapi dalam kaitannya upaya pelestarian lingkungan. [ns/ii]