Kepala Fujiama terkulai di lengan Nurjannah Husein, pemilik rumah singgah Yayasan Rumah Kita di Banda Aceh. Napas remaja berusia 16 tahun itu tersengal-sengal. Nurjannah memandu Fuji - demikian dia kerap disapa - yang dengan susah payah melantunkan ayat demi ayat Al Fatihah. Suaranya yang kian lirih terhenti tepat ketika Nurjannah mendekap Fuji lebih erat. Dia tersadar bahwa remaja penderita leukemia itu telah berpulang.
Semasa hidupnya, tidak mudah bagi Fujiama menjangkau layanan kesehatan untuk mendapatkan obat penyakit yang dideritanya tersebut. Dari rumahnya di Kuta Cane, Aceh Tenggara, dia harus terlebih dahulu menempuh perjalanan lebih dari 12 jam untuk mencapai Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin, di Banda Aceh.
Rumah sakit yang berjarak 562 kilometer dari rumahnya ini merupakan satu-satunya pusat rujukan penyakit kanker anak di Provinsi Serambi Makkah itu. Biaya transportasi untuk berobat pun tidak ringan bagi ayah Fuji yang bekerja sebagai pegawai negeri.
Setahun setelah Fujiama meninggal dunia, tepatnya pada September 2018, Nuu – sapaan akrab perempuan berusia 50 tahun itu – bercerita bahwa pemuda itu menderita leukemia jenis Chronic Myeloid Leukemia (CML). Menurutnya, jenis leukemia yang diderita Fuji selama 2 tahun ini dapat diobatidengan obat minum.
“Sebenarnya (CML) bisa diobati dengan obat oral saja, tetapi jarak antara rumah dan rumah sakit cukup jauh, sehingga pengobatan sempat terputus,” ujar Nuu kepada VOA dalam wawancara via telepon. Fuji adalah salah satu pasien kanker anak yang sempat tinggal di rumah singgah Rumah Kita dari Yayasan Darah untuk Aceh, selama menjalani pengobatan.
Karena akses rumah sakit yang sulit, perawatan kanker yang semestinya didapatkan Fuji terhenti. Akibat pengobatan terputus, level leukemia yang awalnya CML berkembang menjadi Acute Myeloid Leukemia (AML) atau leukemia myeloid akut. Pada tahap ini, sel kanker menjadi lebih agresif. Kemoterapi pun tak mampu menyelamatkan nyawa Fuji.
Akses Berobat
Kasus yang dialami Fuji ini menjadi salah satu contoh masalah yang kerap dihadapi pasien kanker anak di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada dasarnya, penderita kanker harus mendapatkan pengobatan rutin dalam jangka waktu tertentu. Hal itu untuk memastikan penyakitnya sembuh tuntas dan mencegah penyebaran sel kanker.
"Di Aceh trend kanker anak meningkat sekali. Kebanyakan (kasusnya) Leukemia. Kemampuan bertahan (pasien) rendah. Kondisi ekonomi dan knowledge orangtua sangat berpengaruh pada tuntasnya pengobatan," tutur Nuu.
BACA JUGA: Kelangsungan Hidup Pasien Kanker MeningkatSarana dan prasarana kesehatan yang minim, terbatasnya jumlah tenaga medis, dan kurangnya pengetahuan mengenai deteksi dini kanker menyebabkan tingkat harapan hidup pasien kanker anak di negara berkembang lebih rendah dibandingkan dengan negara maju.
Berdasarkan data Badan Kesehatan Perserikatan Bangsa Bangsa (World Health Organization/WHO), seperti dikutip oleh Komite Penanggulangan Kanker Nasional (KPKN), sebanyak 300 ribu anak terdiagnosis penyakit mematikan ini, setiap tahunnya. Di negara berkembang yang penghasilan per kapitanya rendah, hanya 20 persen anak mendapatkan pengobatan. Persentase ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan kesempatan berobat yang didapatkan oleh anak-anak yang tinggal di negara-negara maju. Di negara maju, 80 persen anak penderita kanker mendapatkan pengobatan.
Padahal, data 2018 dari pangkalan data online kanker, Globocan, menunjukkan persentase kasus kanker anak di sejumlah negara berpenghasilan rendah mencapai 4 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan persentase kasus di negara yang masyarakatnya berpenghasilan tinggi, yaitu 1 persen.
Jumlah Dokter Spesialis Kanker Anak Minim
Bagaimana di Indonesia? Saat pemerintah Indonesia tengah berkutat dengan upaya menurunkan angka stunting atau kerdil akibat gizi buruk, kanker anak mulai membutuhkan perhatian serius. Tidak saja karena jumlah penderita cenderung bertambah, tetapi juga kompleksitas penanganan.
Data tentang jumlah pasien kanker anak secara nasional belum ada. Namun, Dr. Endang Windiastuti SpA(K), anggota Komite Penanggulangan Kanker Nasional (KPKN) memperkirakan, sekitar 20 ribu anak menjalani pengobatan kanker setiap tahunnya. Jumlah anak yang tertangani secara medis tersebut, menurutnya,cenderung meningkat setiap tahunnya.
Dr. Endang menjelaskan, hal itu terjadi seiring dengan keberadaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang membuka akses kesehatan lebih luas untuk masyarakat. BPJS Kesehatan membantu masyarakat dalam mengakses informasi rujukan perawatan. Selain itu, imbuhnya, BPJS Kesehatan pun memberikan keringanan pembiayaan pengobatan kanker. Misalnya, biaya pemeriksaan laboratorium dan kemoterapi.
“Sebetulnya mungkin lebih banyak lagi. Ada juga yang tidak ke dokter, kan? Ada juga yang mungkin jauh dari fasilitas kesehatan. Lalu ada juga orangnya tidak mengerti (informasi penyakit kanker),” kata dr. Endang, yang juga Spesialis Anak dari Divisi Hematologi Onkologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit CiptoMangunkusumo (RSCM).
Dia mencontohkan RSCM, yang menjadi pusat rujukan kanker nasional, menangani 100 pasien baru kanker anak per tahun.
Sayangnya, indikasi penambahan jumlah pasien kanker anak tidak dibarengi dengan penambahan jumlah tenaga medis dan fasilitas perawatan lainnya. Menurut dr. Endang, dari sekitar 3.000 dokter spesialis anak di Indonesia, hanya ada 60 dokter yang khusus menjadi konsultanhematologi-onkologi anak. Hal itu karena tidak semua ahli medis berminat mengambil spesialisasi tersebut.
“Kami tidak bisa memaksakan ‘kamu harus sekolah ini’, tetapi kami optimistis, mudah-mudahan, kalau kasusnya makin banyak, orang akan belajar tentang kasus ini,” katanya.
Tak hanya jumlahnya yang terbatas, dokter-dokter spesialis kanker anak itu pun tidak tersebar merata. Sebagian besar dari mereka praktik di kota-kota besar di Jawa, Bali dan Sumatra.
BACA JUGA: Ombudsman Dorong Pemerintah Buat Standar Minimal Pelayanan PublikDr. Endang menjelaskan komite yang berada di bawah Kementerian Kesehatan itu, sudah mengimbau beberapa rumah sakit pemerintah di daerah untuk mengirimkan tenaga medis untuk mengikuti pelatihan sub spesialis kanker anak di beberapa pusat pelatihan, seperti di Jakarta dan Surabaya.
"Sekarang sudah terpenuhi. Meskipun (daerah) seperti Jambi, Bengkulu, dan Papua, sumber daya manusianya sedikit untuk kami panggil sekolah," ujar dr. Endang.
“Bukannya kanker (anak) ini tidak jadi perhatian, tetapi kami sendiri juga terus mencari (jalan) supaya sub-spesialis ini harus tetap jalan,” katanya. [gregorius giovanni/esterina rassi/dw]