Kajian dan pengawasan Ombudsman terhadap 12 desa dan empat kelompok marginal di delapan propinsi, diketahui bahwa masyarakat di daerah tertinggal dan kelompok marginal (terpinggirkan) belum mendapat pelayanan publik yang maksimal. Sebagian daerah dimaksud adalah Desa Mawar Sari di Kalimantan Selatan, Desa Tedeng, di Maluku Utara dan Suku Tengger di Jawa Timur. Anggota Ombudsman Ahmad Suadi mengatakan pemerintah sedianya segera membuat standar minimal pelayanan publik secara nasional dan kelompok marginal.
"Standar minimal yang kami maksud adalah apa seharusnya yang diberikan pemerintah atau yang didapat oleh mereka terhadap pelayanan publik khususnya pelayanan publik dasar. Seperti KTP, KK, pendidikan dan kesehatan," jelas Ahmad Suadi di Jakarta, Kamis (12/12).
Sebagai gambaran, akses jalan menuju Desa Mawar Sari cukup sulit karena jalanan rusak, bolong dan berkontur miring. Warga harus berjalan kaki atau naik sepeda motor untuk beraktifitas karena ketiadaan transportasi umum. Sementara soal administrasi kependudukan, pemerintah desa hanya mengeluarkan surat pengantar untuk dijadikan rujukan ke tingkat kecamatan.
Kondisi yang tidak jauh berbeda juga dialami Suku Tengger yang tinggal di Desa Ngadas, Jawa Timur, yang jalannya masih rusak, tidak rata dan berlubang. Tenaga kesehatan di daerah ini juga masih kurang sehingga bidan yang bertugas harus siap sedia 24 jam. Di smaping itu, kecelakaan di daerah wisata ini juga terbilang tinggi, namun ambulan yang tersedia hanya satu.
Pemerintah Perlu Kebijakan Khusus Untuk Daerah Tertinggal dan Kelompok Marginal
Mencermati kondisi seperti itu, Suadi menambahkan pemerintah perlu penanganan khusus bagi daerah tertinggal dan kelompok marginal untuk menyamakan pelayanan publik dengan desa dan kelompok lainnya. Sebab, jika tidak, mereka akan tetap tertinggal dengan wilayah lain meskipun ada program dari pemerintah.
Misalnya dengan memberikan dana desa dalam jumlah yang sama antara desa tertinggal dan desa normal, maka hasilnya akan tetap menimbulkan kesenjangan. Bagi desa normal, dana desa yang mereka terima akan digunakan untuk pengembangan dan inovasi. Sementara bagi desa tertinggal yang infrastrukturnya belum bagus, maka akan digunakan untuk pembangunan.
Ahmadiyah Masih Alami Diskriminasi
Sekretaris Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Yendra Budiana juga menuturkan kelompok mereka masih mengalami diskriminasi dari pemerintah karena agama mereka. Beberapa kasus tersebut yang menimpa jemaat Ahmadiyah antara lain soal pengungsi Ahmadiyah di Lombok karena ada ancaman dari warga sipil dan masalah pencatatan pernikahan di Tasikmalaya, Jawa Barat.
"Ketiga adalah masalah untuk beribadah sesuai dengan UU Dasar kita. Bahwa hak untuk beribadah dilindungi UU. Masjid Ahmadiyah di Depok misalnya, sudah 8 tahun disegel Pemkot Depok karena alasan keyakinan yang berbeda.
Bappenas: Kebijakan Afirmasi Baru di Tingkat Perencanaan
Menanggapi hal tersebut, Deputi Bidang Pemantauan Bappenas, Taufik Hanafi menjelaskan pemerintah pusat telah mentransfer ke daerah sebesar Rp858 triliun dari dana APBN sebesar Rp2.500 triliun. Dana tersebut semestinya dapat dimanfaatkan untuk mengatasi persoalan di daerah tertinggal dan komunitas marginal.
"Di tingkat perencanaan itu sudah ada kebijakan-kebijakan yang memberikan afirmasi bagi kelompok-kelompok yang dijelaskan perlu mendapat perhatian yaitu di dalam perencanaan. Bahkan di level anggaran, itu di dalam DAK juga ada untuk afirmasi, DAK fisik maupun nonfisik yang memberikan pemihakan terhadap mereka," jelasnya.
Kendati demikian, Taufik mengapresiasi temuan Ombudsman tersebut dan akan menggunakan temuan tersebut untuk perbaikan kebijakan ke depan. [sm/em]