LSM: Modus Baru Perdagangan Satwa Liar Marak

  • Fathiyah Wardah

Populasi satwa liar terancam kepunahan karena perdagangan gelap. (Foto: VOA)

Lembaga Advokasi Satwa mengatakan perdagangan satwa melalui Internet serta komunitas-komunitas yang mengklaim pencinta satwa marak.
Ketua Lembaga Advokasi Satwa Irma Hermawati di Jakarta, Rabu (18/7) mengatakan perdagangan satwa melalui Internet yang marak menyebabkan para pelaku sulit ditangkap tangan karena biasanya mereka menggunakan kurir atau menggungkan jasa pengiriman dalam menjalankan bisnisnya.

Bahkan saat ini, menurut Irma, ada modus baru dalam penjualan satwa liar yakni melalui komunitas-komunitas yang menamakan diri sebagai pencinta satwa. Komunitas-komunitas ini diduga melakukan perdagangan satwa liar yang harusnya dilindungi.

Menurut Irma, terus meningkatnya perdagangan satwa liar dikarenakan selama ini para pelaku perdagangan satwa liar hanya dikenakan hukuman penjara dan denda yang tidak maksimal dan ini menyebabkan tidak adanya efek jera.

Padahal berdasarkan Undang-undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem menyatakan penjualan bagian-bagian tubuh dari satwa dilindungi secara ilegal bisa dikenakan penjara paling lama lima tahun dan denda Rp 50 juta hingga 100 juta.

“Pidana yang dijatuhkan untuk perdagangan satwa itu sangat kecil sekali, rata-rata hanya Rp 2 juta-Rp 3 juta, dan ancaman hukumannya hanya paling setahun atau setahun setengah. Itu artinya penegakan hukumnya belum bisa memberikan efek jera kepada para pelaku. Yang menarik tren terbaru selain perdagangan daring, itu adalah munculnya komunitas-komunitas yang menamakan pencita satwa yang kami duga didalamnya ada perdagangan-perdagangan jenis satwa yang dilindungi,” ujar Irma.

Ia menambahkan perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar Indonesia. Untuk itu dia meminta sejumlah kementerian seperti Kementerian Kehutanan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika serius menangani masalah perdagangan satwa liar itu.

Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika Gatot Dewa Broto mengungkapkan meskipun saat ini banyak perdagangan satwa liar melalui Internet tetapi pihaknya kata Gatot belum bisa melakukan pemblokiran karena dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tidak ada pasal yang melarang soal itu.

“Sebenarnya ada option lain, tahun depan UU ITE itu akan direvisi. Seandainya ada keprihatinan dari sejumlah masyarakat, LSM, lembaga advokasi dan berbagai pihak, mumpung akan ada revisi sampaikan kepada DPRsupaya masalah ini bisa juga dituangkan di dalam revisi UU ITE sendiri,” kata Gatot.

Baru-baru ini pihak kepolisian berhasil menangkap pelaku perdagangan satwa liar di kawasan, Cimanggis, Depok, Jawa Barat.

“Ada 14 harimau kemudian satu singa, tapir, kepala harimau, empat kepala rusa, semua bentuk awetan,” ungkap anggota Unit I Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Mabes Polri AKBP Sugeng Irianto.

Sugeng menambahkan pihaknya akan terus meningkatkan penjagaan di pos-pos di pelabuhan dan bandara terkait mencegah adanya perdagangan satwa ini.

Berdasarkan data dari Wildlife Conservation Society Indonesia Program menyatakan satwa liar yang banyak diperjualbelikan secara ilegal dalam keadaan hidup diantaranya kura-kura, kukang Jawa dan Sumatera, berbagai jenis burung dan ular piton.

Berbeda dengan satwa hidup yang diburu untuk dipelihara, bagian-bagian dari satwa mati yang banyak diburu untuk berbagai keperluan hiasan diantaranya awetan kering harimau sumatera, awetan kering beruang, trenggiling beku untuk ekspor, tanduk dan kepala rusa, gading dan gigi gajah dan awetan kering cendrawasih.

Berdasarkan data International Union for Conservation Nature pada 2003 menyatakan satwa liar Indonesia yang terancam punah adalah 147 jenis mamalia, 114 jenis burung, 28 jenis reptil, 91 jenis ikan dan 28 jenis hewan tanpa tulang belakang (invertebrate).