Moratorium dua tahun atas pembakaran hutan di Indonesia, yang seharusnya dimulai awal tahun ini, masih ditangguhkan. Larangan itu merupakan bagian dari kesepakatan senilai satu miliar dolar dengan Norwegia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang dianggap sebagian ilmuwan sebagai penyebab utama pemanasan global.
Indonesia adalah penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia. Deforestasi - sebagian besar karena pembakaran hutan untuk dijadikan pertanian kelapa sawit dan pertambangan, yang saat ini terjadi pada tingkat 100 juta hektar per tahun - menyebabkan 50 persen emisi gas rumah kaca di negara itu.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah berjanji untuk mengurangi emisi karbon dioksida sebanyak 26 persen pada tahun 2020. Moratorium dua tahun atas pembukaan lahan baru, yang seharusnya dimulai bulan Januari, merupakan bagian penting dari inisiatif lingkungan Indonesia dan bagian dari kesepakatan senilai satu miliar dolar dengan Norwegia untuk melindungi hutan dan mengurangi emisi.
Tetapi larangan itu telah ditangguhkan dan gugus tugas yang bertanggung jawab mengembangkan moratorium itu sedang berupaya mencari jalan untuk memperoleh manfaat lingkungan tanpa merugikan ekonomi.
Nur Masripatin adalah direktur Pusat Standardisasi dan Lingkungan Hidup pada Kementrian Kehutanan. Dia mengatakan penghentian pembangunan di seluruh wilayah pedesaan di Indonesia, tidak menguntungkan secara ekonomis. Ia mengatakan,"Jika negara Anda, 70 persen daratannya adalah hutan dan populasinya terus berkembang, apakah realistis bahwa di masa depan, 30 tahun di mendatang, Anda mengharapkan hutan Anda masih sebanyak 70 persen?".
Gugus tugas tersebut sedang menguraikan definisi yang katanya akan membantu menggambarkan bidang-bidang apa saja yang akan terkena dampak larangan tersebut.
Pembicara kampanye Green Peace, Yuyun Idradi, skeptis bahwa moratorium itu, jika akhirnya diberlakukan, akan memiliki dampak lingkungan. Ia mengatakan larangan tersebut hanya akan mencakup izin-izin lahan baru, bukan yang sudah ada, dan bahwa sebagian besar area yang dicakup sudah ditetapkan sebagai hutan lindung. Dia mengatakan seluruh proses tersebut tertunda karena lobi perusahaan. "Negosiasi sedang diakhiri dan tidak ada informasi sama sekali sampai sekarang dan kita tidak tahu bagaimana rancangan baru itu dan kapan akan ditandatangani." Ujar Idradi
Robert Daniel dari Unit Perubahan Iklim di Kedutaan Besar Inggris di Jakarta mengatakan, jika larangan tersebut diberlakukan, hal itu tidak akan mengurangi emisi gas rumah kaca jangka pendek secara signifikan. Ia mengatakan,"Apa yang Anda bicarakan adalah perubahan iklim. Sangat sedikit hutan yang akan terlindungi dari moratorium itu. Tapi bukan itu intinya. Seperti yang kami katakan sebelumnya, ini adalah sebuah proses. Ini adalah langkah untuk mengurangi deforestasi. "
Dia mengatakan proses tersebut melibatkan bisnis-bisnis agar melihat keuntungan ekonomi dari praktek-praktek pembangunan berkelanjutan itu. Daniel mengatakan penanaman kembali pepohonan di area penebangan, meningkatkan produktivitas perkebunan kelapa sawit yang ada untuk memenuhi meningkatnya permintaan dan pengembangan energi panas bumi, akan membawa manfaat ekonomi dan mengurangi emisi dalam jangka panjang.
Masripatin dari Kementrian Kehutanan juga melihat moratorium itu sebagai bagian dari proses jangka panjang dalam mengelola sumber-sumber daya alamnya. Lebih lanjut ia mengatakan,"Kita tidak akan melihat dampak langsung dari moratorium ini. Sangat penting bagi kita untuk meluangkan waktu untuk meninjau bagaimana kita mengelola sumber daya hutan kita di masa lalu dan apa yang akan dibutuhkan di masa depan."
Dia mengatakan lebih baik menunda pemberlakuan moratorium itu supaya bisa mengembangkan rencana yang efektif daripada membuat keputusan yang akan merugikan ekonomi dan dibatalkan di pengadilan.