Penetapan 1 Syawal, yang menandai perayaan hari raya Idulfitri tahun ini kemungkinan akan berbeda antara Muhammadiyah dan pemerintah. Terkait ini, Muhammadiyah meminta pemerintah bersikap netral pada semua organisasi keagamaan.
Sejak sebelum bulan Ramadan, Muhammadiyah telah menetapkan 1 Syawal akan jatuh pada 21 April 2023. Ketetapan ini dapat dihitung, sebagaimana penentuan waktu dan kalender, karena baik matahari, bulan maupun bumi bergerak konstan. Sementara pemerintah akan menetapkan jatuhnya Idulfitri, berdasar pengamatan visual.
Karena berpotensi terjadi perbedaan, Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nasir meminta pemerintah bersikap netral.
“Soal penentuan awal Ramadan, Syawal, Dzulhijjah dalam pandangan keagamaan kami, dan saya yakin dalam pandangan keagamaan pada umumnya, itu wilayah ijtihad. Yang seluruh muslim atau golongan muslim bahkan negara belum bisa bersepakat soal metode. Di saat seperti ini mestinya, negara Itu netral. Karena ini soal ijtihad,” kata Haedar dalam penjelasan resmi organisasi itu di Yogyakarta, Selasa (18/4) petang.
Ijtihad, yang disebut Haedar, kurang lebih bermakna upaya sungguh-sungguh dalam merumuskan hukum keagamaan. Dalam soal-soal terkait ini, pemerintah sebaiknya tidak menerapkan satu hukum, dan menyerahkan kepada masing-masing organisasi keagamaan. Misalnya, terkait Idulfitri, ranah pemerintah adalah menetapkan hari libur.
“Yang ber- Idul Fitri 21 April atau 22 April, semuanya difasilitasi. Wah itu elok banget nanti,” ujarnya.
Muhammadiyah juga menyayangkan polemik yang sempat terjadi, misalnya di kota Pekalongan dan kabupaten Sukabumi, di mana warga Muhammadiyah tidak diperbolehkan menggunakan fasilitas umum, berupa lapangan di kompleks kantor kepala daerah. Polemik ini sudah diselesaikan, dan Haedar meminta silang pendapat terutama di media sosial disudahi.
Muhammadiyah juga mengusulkan adanya kalender global Islam, agar persoalan semacam ini dapat dihindari di masa depan.
Penggunaan Metode Hisab
Metode Muhammadiyah dalam penentuan kalender disebut sebagai hisab. Para pakar setuju, bahwa metode ini bahkan dapat menghitung hingga 100 tahun ke depan, karena pergerakan bulan, matahari dan bumi dapat dihitung dengan tepat.
Ketua PP Muhammadiyah, Prof Syamsul Anwar menjelaskan, pemakaian metode hisab adalah pemanfaatan teknologi yang memudahkan. “Salah satu yang memberi kemudahan pada hidup kita, adalah kemajuan ilmu dan teknologi. Kita pun memanfaatkan kemudahan yang diberikan oleh pengetahuan, kita cukup melakukan perhitungan,” ujarnya dalam pertemuan yang sama.
Selain itu, Muhammadiyah juga menentukan bahwa ketinggian bulan berapapun di atas nol derajat, dianggap sebagai masuknya bulan baru. “Kenapa nol derajat? Itu adalah karena kita ada di kawasan yang berada di bagian zona timur bumi. Kita GMT+7, artinya kita tujuh jam mendahului GMT. Kalau kita terlalu tinggi, berarti kita akan terlambat memasuki bulan baru itu,” tegasnya.
Muhammadiyah mendasarkan penetapan 1 Syawal pada 21 April, berdasar perhitungan hisab hakiki wujudal hilal. Perhitungan ini merupakan kriteria penentuan awal bulan baru Hijriyah, termasuk bulan-bulan ibadah seperti Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah.
Melalui metode ini, Muhammadiyah juga sudah mengetahui bahwa pada Kamis (20/4) akan terjadi gerhana matahari. “Saat terbenam matahari, bulan berada di atas ufuk dengan ketinggian 1 derajat, 47 menit 58 detik,” rinci Syamsul terkait posisi bulan pada 20 April 2023 petang.
Pemerintah Gaungkan Toleransi
Sebelumnya, pada Minggu (16/4) Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas meminta pemerintah daerah mengakomodir penggunaan fasilitas umum untuk kegiatan keagamaan, termasuk salat Idulfitri pada 21 April 2023.
“Saya mengimbau kepada seluruh umat Islam, untuk menghormati perbedaan pendapat hukum. Apabila di kalangan masyarakat terjadi perbedaan penyelenggaraan salat Idulfitri, hendaknya hal tersebut direspons dan disikapi secara bijak, dengan saling menghormati pilihan pendapat keagamaan masing-masing individu,” kata Yaqut dalam pernyataan tertulis, Minggu (16/4).
Seluruh kepala daerah juga diminta untuk mengabulkan permohonan penggunaan fasilitas umum, seperti lapangan, untuk penyelenggaraan shalat Idul Fitri, sekalipun diselenggarkaan pada hari yang berbeda dengan keputusan pemerintah.
Pemerintah sendiri baru akan menggelar sidang isbat pada 20 April 2023 petang untuk menetapkan 1 Syawal. Sidang ini melibatkan Komisi VIII DPR, pimpinan ormas-ormas Islam, duta besar negara sahabat, serta Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama. Sidang yang bertujuan untuk melihat penampakan bulan pada hari Kamis petang inilah, yang membuka kemungkinan perbedaan jatuhnya 1 Syawal 1444 H.
Your browser doesn’t support HTML5
Sementara dalam cuitan di akun resminya pada Selasa (18/4), Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Moh Mahfud MD juga bersuara sama. “Pemerintah mengimbau, fasilitas publik seperti lapangan yang dikelola Pemda, agar dibuka dan diizinkan untuk tempat shalat Idulfitri, jika ada ormas atau kelompok masyarakat yang ingin menggunakannya. Pemda diminta untuk mengakomodasi. Kita harus membangun kerukunan meski berbeda waktu hari raya,” tegas Mahfud.
Masyarakat Makin Dewasa
Dalam kesempatan berbeda, Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Prof Al Makin meyakini, masyarakat sudah lebih dewasa dalam menghadapi perbedaan.
“Ada perbedaan Idulfitri itu sudah biasa. Beruntung tahun ini mulai puasanya kan juga bersama-sama, kadang kadang kan juga beda. Artinya, masyarakat kita secara positif itu juga bertambah dewasa, menurut saya,” ujar Al Makin ketika diminta berkomentar terkait hal ini.
Dia juga meyakini, masyarakat semakin bisa bersikap biasa dalam menghadapi perbedaan. “Jadi indeks pluralisme, toleransi, kesadaran perbedaan, menurut saya itu sudah jauh lebih tinggi di masyarkaat kita saat ini. Dan kita syukuri juga, pemerintahan saat ini sangat mendorong ke arah sana,” tambah Al Makin. [ns/ab]