Sejumlah kasus mutilasi terjadi di Indonesia. Masyarakat pun mempertanyakan mengapa tindakan seperti itu bisa terjadi. Sejumlah pakar mencoba mencari tahu penyebabnya, termasuk menyusur masa lalu pelaku.
Seorang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), berinisial R, menjadi korban mutilasi, dan bagian-bagian tubuhnya dibuang di sejumlah lokasi terpisah. Masyarakat umum, tetangga, teman pelaku, teman korban, hingga komunitas kampus, memiliki pertanyaan yang sama: bagaimana mungkin tragedi keji ini bisa terjadi.
Pertanyaan yang sama masih menghantui rektor UMY, Prof Gunawan Budiyanto. “Bagi kami, kemarin peristiwa mutilasi itu seperti menyadarkan kita bersama, bahwa ternyata kampus itu harus lebih bisa memahami kondisi psikologis mahasiswa,” kata Gunawan, Senin (24/7).
Dalam beberapa waktu terakhir, masyarakat dikejutkan oleh sejumlah kasus mutilasi di berbagai kota. Pada Desember 2022, polisi di Bekasi menemukan potongan tubuh seorang perempuan yang dimutilasi pasangannya. Pembunuhan itu sendiri terjadi pada Mei 2019, dan sejak itu potongan tubuh korban disimpan pelaku.
Sementara pada Maret 2023, muncul kasus koper merah di mana tubuh korban yang sudah dimutilasi ditemukan di tepi jalan di Tangerang. Korban juga dibunuh pasangannya karena rasa tersinggung, dipotong dan dibuang dalam koper berwarna merah.
Hampir bersamaan, pada pertengahan Maret di Yogyakarta kasus mutilasi terjadi terhadap seorang perempuan yang dipotong menjadi 62 bagian kecil oleh seorang laki-laki.
Sementara pada Mei lalu, seorang pria tega memutilasi rekan kerjanya di sebuah toko mebel di Sukoharjo, Jawa Tengah, karena tidak dipinjami sepeda motor.
Mengapa Bisa Memutilasi?
Secara keilmuan, tidak ada jawaban pasti untuk kegelisahan publik khususnya di Yogyakarta saat ini. Dr.dr. Ronny Tri Wirasto, Sp.KJ, dosen dan psikiater dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyakat dan Keperawatan (FKKMK), Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menyebut, harus ada upaya mendalam untuk mencari titik terang.
“Ada wawancara dengan keluarga, orang terdekatnya, ada pemeriksaan dengan instrumen. Baru instrumen tadi dieksplorasi lagi dengan wawancara mendalam. Memisahkan antara berpikirnya, kemudian emosinya. Bagaimana koneksi pikiran, emosi dan bagaimana koneksi perilaku masa kecil dengan perilaku sekarang,” kata Ronny dalam perbincangan dengan VOA.
Namun, jawaban itu hanya muncul untuk kasus yang sudah ada. Belum ditemukan cara untuk mengetahui, apakah seseorang berpotensi melakukan tindakan kejam seperti mutilasi atau tidak dalam hidupnya.
Namun, dalam kasus terakhir di Yogyakarta, ada faktor tambahan yang layak mendapat perhatian. Pelaku dan korban dalam empat bulan terakhir saling kenal dalam satu grup di media sosial. Grup ini diduga terkait dengan aktivitas kekerasan berlebihan yang berujung pada kematian R. Setidaknya, masyarakat Indonesia kini menyadari bahwa di media sosial grup semacam itu benar ada, dan mungkin seseorang terdekat menjadi anggotanya.
“Grup itu adalah lingkungan dia. Dan lingkungan itulah yang mempengaruhi bagaimana dia harus berperilaku. Nah, ini yang kita bisa petik dari kejadian terakhir,” tandas Ronny.
Bagaimana Mutilasi Terjadi
Dua pelaku dalam kasus ini adalah W, warga Magelang yang kos di Yogya dan RD, warga Jakarta, dan korbannya adalah R, warga Bangka Belitung yang kuliah UMY. Ketiganya tergabung di salah satu grup di media Facebook.
Mereka bertiga bertemu di kos W pada 11 Juli 2023, dan menurut polisi melakukan aktivitas kekerasan tidak wajar, yang membuat R meninggal dunia.
Namun, setidaknya dari pernyataan Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda DIY, Kombes FX Endriadi, sampai saat ini tidak ada kejelasan soal aktivitas itu.
“Karena mereka ini tergabung dalam sebuah komunitas yang memiilki aktivitas tidak wajar, mereka melakukan kegiatan berupa kekerasan satu sama lain. Dan ini terjadi berlebihan, sehingga mengakibatkan korban meningal dunia,” kata Endriadi dalam penjelasan terkait kasus ini di Yogyakarta.
Setelah melihat korban meninggal dunia, para pelaku panik, lanjut Endriadi. Karena itulah, mereka ingin menghilangkan jejak kejahatan dengan cara memutilasi. Bagian-bagian tubuh korban dipisahkan dan dibuang di lokasi berbeda. “Untuk menghilangkan jejaknya terhadap pergelangan tangan dan pergelangan kaki, itu direbus untuk menghilangkan sidik jarinya,” jelas Endriadi.
R sendiri dilaporkan hilang pada 11 Juli, atau pada hari pertemuannya dengan RD dan W. Sehari setelah itu warga salah satu desa di Sleman, Yogyakarta menemukan potongan tubuh manusia di sungai. Dalam beberapa hari selanjutnya, potongan-potongan tubuh lain ditemukan, setidaknya di lima titik berbeda.
Polisi bergerak cepat, dan pada 18 Juli 2023, mereka sudah menangkap pelaku yang melarikan diri ke Bogor, Jawa Barat.
Karena terpotong menjadi banyak bagian, kepastian identitas korban mutilasi masih menunggu hasil tes DNA yang dilakukan. Meskipun, dari ciri-ciri dan barang yang dikenakan, sejauh ini seluruh kesimpulan menyepakati bahwa korban adalah benar-benar R, mahasiswa asal Bangka Belitung. Begitu pula pernyataan resmi kepolisian yang menguatkan hal itu.
“Kami masih nunggu tes DNA dari pihak kepolisian, karena kami sangat percaya pada kinerja Standard Operating Procedur yang dimiliki oleh kepolisian,” kata Rektor UMY, Gunawan Budiyanto.
Kekerasan Melebihi Batas
Mutilasi adalah tindakan lebih jauh dari kekerasan. Karena itu, untuk memahami mengapa seseorang bisa melakukan mutilasi, alasan tindakan kekerasan harus dimengerti.
Secara umum, alasan tindakan kekerasan bisa dimulai dari diri pelaku sendiri. Tindakan yang dia lakukan, kata Ronny, kemungkinan berkaitan dengan perilaku yang sering dia terima terkait dengan kehidupan di masa kecil, trauma masa lalu, dan perjalanan hidupnya.
Faktor kedua adalah adanya dorongan yang membuat pelaku melakukan kekerasan. Dalam kasus mutilasi di Yogyakarta, dorongan itu bisa saja kompleks.
Sedangkan faktor lain yang bisa berperan, adalah hilangnya rem dalam mempertimbangan tindakan, misalnya pengaruh alkohol atau narkoba. Adanya impuls yang meledak-ledak dari dalam diri pelaku juga berpengaruh.
Your browser doesn’t support HTML5
Mutilasi sulit terjadi karena dorongan sesaat saja, meskipun, lanjut Ronny, dalam literatur ada yang disebut sebagai accute insanity atau kegilaan sesaat. Alasannya, jika ditelaah lebih dalam, pasti ada penyebab lain dari pelaku, sehingga dia kehilangan rasa kemanusiaan, ketika memotong-motong tubuh manusia lain.
Meski masyarakat tidak bisa memperkirakan, apakah seseorang berpotensi melakukan tindakan kekerasan atau tidak, tetapi setidaknya ada empat hal yang bisa diperhatikan dari kecenderungan ini. Menurut Ronny, pertama yang harus dilihat adalah cara berpikir seseorang, jika berpikir impulsif maka dia berpotensi. Kedua, adalah emosional dalam mensikapi sesuatu. Ciri ketiga adalah perilaku sehari hari, di mana seseorang mulai sensitif dan menunjukkan perilaku keras. Sedangkan keempat adalah bagaimana dia merespons lingkungannya.
Ronny dengan tegas menyatakan, tidak ada satu ciri khusus yang bisa dilihat dari seseorang yang berpotensi melakukan mutilasi. [ns/ab]