Dalam sidang yang berlangsung di Jayapura, majelis hakim Pengadilan Militer III-19 meyakini seluruh dakwaan oditur terpenuhi. Karena itulah, hukuman yang dijatuhkan sesuai dengan pasal pembunuhan berencana,
“Mempidana para terkdakwa oleh karena itu, pidana pokok penjara selama seumur hidup, pidana tambahan dipecat dari dinas militer,” kata hakim ketua Kolonel (Chk) Rudy Dwi Prakamto yang memimpin sidang pada Rabu (15/2).
Secara rinci, putusan hakim memvonis Pratu Rahmat Amin Sese dan Pratu Rizky Oktaf Muliawan penjara seumur hidup dan dipecat dari kesatuan. Pratu Robertus Putra Clinsman divonis penjara 20 tahun dan dipecat dari kesatuan. Sedangkan Praka Pargo Rumbouw divonis penjara 15 tahun dan dipecat dari kesatuan.
Tiga Pasal Terpenuhi
Majelis hakim dalam putusannya menegaskan, keempat terdakwa memenuhi unsur tiga pasal yang disangkakan. Tiga pasal itu adalah Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, Pasal 406 KUHP tentang merusak dan menghancurkan barang orang lain, serta Pasal 181 KUHP tentang menguburkan jenazah untuk menyembunyikan kematian.
Hakim juga menyatakan, perbuatan empat anggota TNI ini melanggar Sapta Marga, sumpah prajurit dan delapan wajib prajurit TNI. Selain itu, merugikan nama baik institusi TNI di mata masyarakat Papua.
Kasus ini seluruhnya melibatkan enam anggota TNI dan empat warga sipil. Mayor Inf Helmanto Fransiskus Dakhi, yang memiliki pangkat tertinggi dalam kelompok terdakwa telah menerima vonis penjara seumur hidup pada 24 Januari 2023. Satu terdakwa anggota TNI meninggal dunia di tengah proses persidangan, sedangkan empat pelaku sipil masih dalam proses peradilan.
Mereka membunuh dan memutilasi empat warga Nduga, Papua pada 22 Agustus 2022. Keempat orang itu adalah Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Leman Nirigi, dan Atis Tini.
Putusan Hakim Diapresiasi
Gustav Kawer selaku kuasa hukum keluarga korban mengapresiasi putusan hakim ini. “Hakim mempertimbangkan soal filosofi rasa keadilan korban. Hakim mengatakan bahwa perbuatan terdakwa ini sangat sadis, melukai rasa keadilan korban, menganggu psikologi korban dan ini memperburuk citra tentara di mata masyarakat Nduga dan Papua,” ujarnya kepada VOA.
Gustav juga menyambut baik, semua pertimbangan yuridis majelis hakim yang akhirnya meyakini bahwa unsur pembunuhan berencana memang terbukti. Pelaku juga bersama-sama melakukan penembakan dan mutilasi.
Putusan yang berbeda bagi dua anggota TNI, juga bisa diterima karena memang peran masing-masing tidak sama dalam kasus ini.
Gustav menekankan, masih ada kemungkinan upaya banding dalam kasus ini. Mayor Inf Helmanto Fransiskus Dakhi sendiri telah mengajukan banding pada 30 Januari 2023 lalu.
“Kita harapkan majelis hakim tingkat banding dan kasasi, jika berlanjut sampai kasasi, mengambl keputusan yang sama, karena itu untuk rasa keadilan bagi korban. Kalau putusannya berbeda, saya pikir itu jadi lain, bahwa peradilan maupun negara tidak berpihak pada rasa keadilan bagi korban,” tegas Gustav.
Diharapkan Menjadi Yurisprudensi
Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay juga mengapresiasi putusan hakim pengadilan militer yang sesuai dengan keinginan keluarga korban dan setimpal dengan perbuatan para terdakwa.
“Saya juga sangat mengharapkan, agar putusan ini kemudian menjadi sebuah yurisprudensi yang wajib dilihat dan dipertimbangkan, dan selalu menjadi pijakan bagi hakim, baik di pengadilan militer maupun pengadilan negeri, apabila kasus tersebut melibatkan oknum anggota militer, agar bisa memberikan putusan yang serupa,” kata Gobay.
Sesuai dengan prinsip yudisial, kata Gobay, jika sudah ada yurisprudensi, maka pemeriksaan perkara yang serupa, baik di pengadlian militer maupun pengadilan sipil yang bersifat koneksitas, wajib memberikan keputusan serupa. Peran Mahkamah Agung dalam upaya ini sangat besar, karena semua lembaga peradilan berada di bawahnya.
“Ini mungkin sesuatu yang agak jauh dari ekspektasi, namun menurut saya ini bisa jadi terobosan,” tambahnya.
Upaya ini penting, karena di Papua dan Papua Barat masih banyak kasus yang melibatkan anggota TNI/Polri, baik yang sudah terjadi, sedang diproses maupun potensinya di masa depan. Karena itulah, penting bagi oditur militer di Pangdam Cenderawasih maupun Pangdam Kasuari untuk menempatkan putusan majelis hakim dalam kasus mutilasi ini, sebagai yurisprudensi.
“Ini semata-mata agar bisa memberikan keadilan bagi korban yang pernah ada atau yang berkaitan dengan kasus ini, maupun korban-korban yang akan bakal terjadi di kemudian hari,” ujar Gobay lagi.
Gobay mengingatkan, banyak kasus melibatkan anggota TNI/Polri belum selesai. Misalnya, penembakan yang menyebabkan terbunuhnya Pendeta Yeremia Zanambani pada 19 September 2020 di Kabupaten Intan Jaya. Meski tim independen pencari fakta sudah menyimpulkan dugaan adanya keterlibatan aparat keamanan, sampai saat ini tidak ada langkah maju dalam penanganannya. [ns/ab]
Forum