Napi Pengguna Narkoba Akan Dipindahkan ke Tempat Rehabilitasi

Para penghuni lembaga pemasyarakatan Tanjung Gusta, Medan, menyusul kerusuhan di tempat itu (12/7). (Foto: Dok)

Untuk mengurangi populasi yang berlebihan di penjara, pemerintah berencana memindahkan narapidana kasus penggunaan narkoba ke tempat rehabilitasi.
Menteri Hukum dan Hak asasi Manusia Amir Syamsudin mengatakan untuk mengatasi masalah kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan (lapas), perlu ada kebijakan agar narapidana dalam kasus penggunaan narkoba tidak perlu dipenjara.

“Kalau kita ingin petakan, separuh dari isi lapas itu terkait kasus narkoba. Saya tidak bisa bayangkan kalau pertumbuhan hunian lapas seperti sekarang dan terus bertumbuh, suatu saat napi narkoba itu menjadi mayoritas,” ujarnya di Jakarta, Rabu (24/7).

Amir mengatakan Kementeriannya mencatat dari total 117 ribu narapidana yang ada saat ini, 56 ribu atau lebih dari 60 persen diantaranya adalah narapidana kasus narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba). Kebanyakan dari narapidana kasus narkoba itu, menurut Amir, adalah pengguna yang seharusnya memang tidak perlu berada di lapas tapi cukup direhabilitasi saja.

Amir mengatakan Kementeriannya telah berkoordinasi dengan Kementrian Kesehatan dan Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk membahas pembentukan tim teknis program rehabilitasi pecandu narkoba guna mengurangi kelebihan kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan.

“Kita tahu bahwa fasilitas rumah sakit umum di seluruh Indonesia itu bisa digunakan juga peranannya untuk membuka sel-sel rehabilitasi,” ujarnya.

Amir menambahkan untuk mendukung rencana ini perlu adanya penegasan kriteria narapidana yang termasuk pengguna dan pecandu narkoba. Penilaian kriteria tersebut, menurut Amir, akan dilakukan oleh suatu lembaga penilai yang akan membantu hakim dalam menetapkan dan memutuskan kasus penggunaan narkoba.

Kerusuhan yang terjadi di Lapas Tanjung Gusta Medan, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu memunculkan kembali persoalan kelebihan kapasitas di penjara. Lapas Tanjung Gusta menampung 2.600 narapidana, padahal kapasitas layak dari LP ini hanyalah 1.054 orang. Kondisi ini merupakan hal yang umum di penjara-penjara di Indonesia.

Kriminolog Universitas Indonesia, Erlangga Masdiana mengatakan, langkah memilah narapidana mana yang perlu ditahan dan tidak memang menjadi solusi yang paling rasional untuk mengatasi masalah kelebihan hunian di lapas saat ini.

“Sekarang proses sistem peradilan pidana itu tidak berjalan seperti yang diharapkan. Sekarang orang ada satu kasus kecil saja sudah diselesaikan di kepolisian yang kemudian ke kejaksaan dan pengadilan. Ini berarti berapa banyak orang harus ditahan, sementara kapasitasnya terbatas. Kalau ini tidak dipilah-pilah, kelebihan kapasitas akan terus terjadi,” ujarnya.