Gunung Sumbing, dengan savana hijau berlatar belakang langit biru cerah nampak di kejauhan. Sejumlah orang tua, duduk mengobrol di teras rumah bermandi matahari untuk mengusir hawa dingin. Sementara warga lain beraktivitas seperti biasa, membuka warung, merawat tanaman di ladang, atau mengangkut rumput untuk ternak.
Itulah keseharian dusun kecil bernama Butuh, yang kini populer sebagai salah satu desa wisata ikonik di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
“Daya tarik utamanya menurut saya memang bentuk rumah penduduk, dengan latar belakang gunung Sumbing itu. Warganya, terutama yang sepuh masih sepenuhnya ramah seperti layaknya warga gunung. Selain itu, tentu hawa sejuk dan jalur berkelok menuju ke Butuh,” kata Ahmad Zurqani, salah satu pengunjung Butuh.
Komposisi rumah warga Butuh memang dipengaruhi oleh lansekap lereng Gunung Sumbing. Tanah datar yang terbatas, membuat warga membangun rumah berjajar dari bawah ke atas, di mana atap tetangga menjadi halaman depan rumah di belakangnya. Jurang menganga ada di kanan-kiri batas dusun, dan menghubungkan deretan rumah itu dengan ladang warga. Kondisi itu mirip dengan sejumlah desa di Nepal, dan karena itulah Butuh mendapat julukan Nepal van Java.
Jalur Pendakian Tua
Ada tiga jalur pendakian Sumbing paling tua, yaitu Garung di Wonosobo, Cepit di Temanggung dan Butuh di Magelang. Ketiganya sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda.
“Bulan Juni 2019, ada teman pendaki senior yang meng-upload video Butuh menggunakan drone. Video itu sangat populer, meski awalnya lebih banyak di akun-akun pendakian,” ujar Kepala Dusun Butuh, Lilik Setyawan kepada VOA.
Namun setidaknya, video itu membuat Butuh dikenal, tidak hanya oleh pendaki Sumbing, tetapi masyarakat secara luas. Bulan-bulan awal pandemi COVID-19 wisatawan tak bisa datang. Namun, setelah “terkurung” begitu lama akibat pembatasan, sekitar pertengahan 2020 masyarakat kian butuh hiburan. Wisata luar ruang lebih disarankan, sehingga Butuh memiliki momentum dan menjadi pilihan.
“Sekarang, kalau akhir pekan rata-rata pengunjung sekitar 1.000 sampai 1.500. Kalau pas ramai bisa sampai 2.000 orang. Dampak ekonominya cukup terasa, karena warga jadi bisa membuka warung kopi, menjadi pengantar wisatawan atau membuka home stay,” tambah Lilik.
Aktivitas pendakian membuka jalan Butuh sebagai desa wisata, dan dalam tiga tahun terakhir, sebaliknya pariwisata mendongkrak pendakian Sumbing melalui rute tua ini.
“Selama ini, mereka yang belum tahu di sini sebagai jalur pendakian gunung, jadi tahu karena viral. Otomatis aktivitas pendakian meningkat, setidaknya 25 persen,” ujar Lilik.
Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) kemudian dibentuk, dan Butuh dikelola sebagai desa wisata dengan lebih profesional. Anak-anak muda memegang peran dominan. Untungnya, mayoritas warga tetap bekerja sebagai petani, sehingga suasana desa relatif tidak berubah. Warga juga dipahamkan tentang konsekuensi sebagai desa wisata, di mana sehari-hari mereka harus menerima ratusan bahkan ribuan tamu. Sebuah proses yang diakui Lilik Setyawan, tidak mudah.
Termasuk yang tidak mudah adalah mempertahankan Butuh semaksimal mungkin seperti adanya. Sebagai desa wisata, pembangunan fisik saat itu terus dilakukan. Pemodal dari luar juga melirik, meski warga telah sepakat untuk mempertahankan kepemilikan tanah. Satu dua gerai kopi modern muncul di bagian bawah dusun, dan tidak bisa dicegah karena berbeda wilayah administrasi.
“Di sisi lain, kami juga sadar, karena wisatawan itu juga beragam, mungkin juga ada yang menginginkan untuk bisa ngopi di tempat yang tidak sekadarnya. Tetapi ini pekerjaan rumah bagi saya, dan juga warga, bagaimana caranya agar semua ini tidak kebablasan,” tambah Lilik.
Belajar dari Nglanggeran
Butuh bisa belajar dari Nglanggeran di Gunungkidul, Yogyakarta, yang menerima Best Tourism Village 2021 dari Organisasi Pariwisata PBB (UNWTO). Desa ini telah meniti jalan panjang untuk tetap bertahan dan menjadi yang terbaik.
Menurut Sugeng Handoko, pelopor dan pengelola desa wisata Nglanggeran, mereka bisa bertahan karena ada niat dan keinginan kuat menjaga dan melestarikan alam dan budaya desa.
“Jadi, ada konservasi alam, kemudian konservasi budaya. Nah pariwisata itu menjadi dampak ikutan, yang akhirnya ketika melakukan itu, masyarakat merasa nyaman,. Akhirnya, wisatawan pun juga akan nyaman untuk berkegiatan di tempat kita,” ujarnya kepada VOA.
Nglanggeran tidak menempatkan pariwisata sebagai kegiatan utama. Semangat masyarakat desa, adalah melestarikan alam dan budaya. Prinsip mereka, wisatawan dari kota datang karena merindukan suasana asli desa. Jika desa berubah, wisatawan tak akan lagi datang.
Resep kedua Nglanggeran adalah menjaga keharmonisan warga, termasuk terkait manfaat ekonomi yang diperoleh dari kegiatan wisata, dengan distribusi yang baik dan transparan. Sedangkan kunci ketiga, adalah berjejaring dan berkolaborasi dengan berbagai pihak
BACA JUGA: Desa Wisata Nglanggeran: Jalan Panjang Meraih Penghargaan UNWTOTidak semua desa yang memiliki potensi, bisa menjadi desa wisata. Sugeng meyakini, yang paling penting adalah kemauan masyarakat. Kemauan itu mendorong warga desa menggali potensi yang ada, dan kemudian meningkatkan kapasitas mereka sendiri.
“Dulu dikenal dengan 3A, yaitu atraksi, aksesibilitas dan amenitas. Tetapi desa wisata itu ada dua tambahan, yaitu akomodasi berupa home stay dan ancillary atau fasilitas pendukung.
Namun, menjadi desa wisata juga punya resiko. Sugeng menyebut, dampak negatif yang mungki muncul adalah perubahan budaya dan karakter masyarakat desa sendiri, akibat persinggungan dengan wisatawan yang sangat beragam.
Namun, ada juga potensi positif yang layak dicermati dan dimaksimalkan dampaknya. Dalam proses persinggungan itu, sebenarnya wisatawan dan warga saling belajar. Dalam kasus Nglanggeran, wisatawan belajar bagaimana anak-anak sekolah sudah mampu bermain gamelan dan melestarikan budayanya. Sementara bagi anak-anak desa, kehadiran wisatawan adalah ruang belajar melihat dunia. Ini terjadi, terutama dalam program live in siswa sekolah perkotaan di Nglanggeran.
“Kami bersyukur ada motivasi adik-adik kami di desa kami untuk bisa berpendidikan tinggi. Anak-anak kota terkesan melihat anak-anak kecil desa pandai gamelan, sementara, anak-anak kita terobsesi karena teman seusia mereka sudah sangat pandai berbahasa Inggris,” ujar Sugeng memberi contoh.
Sugeng berpesan kepada desa wisata lain, untuk tetap menjadi desa yang sederhana, menjaga kearifan lokal, tetap hidup bergotong-royong, melestarikan alam dan budaya. Semua itu tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan pariwisata, karena justru kehidupan seperti itulah yang menghidupkan sektor pariwisata.
Mampu Cegah Urbanisasi
Peneliti Pusat Studi Pariwisata, Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Destha Titi Raharjana mengakui eksistensi desa wisata terus bergeliat seiring berbagai program pemerintah menjadikan pariwisata sebagai salah satu sektor unggulan di perdesaan.
“Bisnis pariwisata yang dijalankan di perdesaan, dipercaya mampu menekan urbanisasi sekaligus membuka peluang kerja bagi warga desa. Pariwisata hadir sebagai “bonus” karena yang sejatinya dikemas dan ditawarkan bagi wisatawan atau guest adalah pengalaman unik berinteraksi dengan warga setempat sebagai host,” ujarnya ketika dihubungi VOA.
Destha mencatat, ada sejumlah faktor yang bakal memperkuat popularitas desa wisata. Pertama, perlunya pengelola wisata memastikan produk wisatanya memiliki karakter atau DNA yang kuat untuk menjadi identitas yang membedakan dengan desa lainnya.
“Dalam bahasa marketing, sebuah desa wisata harus mampu memiliki USP atau unique selling proposition. Untuk itu, pengembangan desa wisata orientasinya harus condong pada pelibatan dan penguatan interaksi wisatawan dalam kehidupan masyarakat setempat,” tambahnya.
Dia menekankan, USP atau harus dikemas dalam paket wisata, bukan dalam pembelian tiket. Sederhananya, wisata di desa itu sejatinya tidak menjual tiket, namun yang ditawarkan adalah paket wisata.
“Daya tarik di desa itu adalah aktivitas, bukan semata objek wisata. Oleh sebab, desa wisata tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan home stay. Tantangan bagi desa-desa wisata saat ini untuk mengemas dan menguatkan identitasnya melalui kemasan paket wisata yang berkualitas,” ujar pakar dari Desa Wisata Institute ini.
Faktor kedua adalah ketersediaan sumber daya manusia pengelola desa wisata yang kompeten dan inovatif. Seorang local champion atau tokoh penggerak utama di desa setempat memegang peranan penting.
Kebangkitan pariwisata di desa pasca pandemi COVID-19 sangat menjanjikan, dan berpotensi menjadi tulang punggung kebangkitan ekonomi desa. Destha merinci, ada empat kunci penting agar desa wisata untuk mampu bertahan dan berkelanjutan.
Pertama, memiliki konsep yang jelas tentang orientasi pengembangan wisata desa yang sesungguhnya. Kedua, memiliki supporting dari pihak internal dan eksternal dalam pengembangannya. Ketiga, pihak pengelola mampu mengelola wisata secara yang transparan dan inklusif. Keempat, pengelola paham dan mampu menerapkan prinsip pembangunan wisata berkelanjutan.
Namun, ada juga resiko ketika desa berkembang tanpa konsep yang jelas sebagai dampai pengembangan wisata.
“Saya sependapat, ada risiko jika perkembangan wisata di wilayah perdesaan tidak terkendali. Ancaman alih fungsi lahan pertanian menjadi ruang yang digunakan untuk usaha wisata di pihak lain justru menjadikan ciri khas pertaniannya hilang,” kata Destha memberi contoh.
Ada juga risiko., jika wisata yang dikembangkan di desa-desa tidak dibingkai dalam perencanaan atau master plan pariwisata desa.
“Tata ruang perdesaan yang berubah tentu akan menanggalkan karakter kedesaannya. Ruh pedesaannya akan hilang jika banyak terjadi perubahan hanya demi tontonan wisatawan semata,” tegasnya.
BACA JUGA: Pesona Wisata Bali Tercoreng Masalah Sampah
Perhatian Khusus Kemenparekraf
Desa wisata diyakini pemerintah menjadi bagian penting kebangkitan ekonomi saat ini.
“Kita harus perkuat ketahanan sosial, ekonomi, budaya masyarakat, dan itu ada di desa wisata,” kata Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno.
Sandi menyampaikan itu ketika membuka rangkaian program pelatihan bagi pelaku pariwisata, sebagai bagian dari Kampanye Sadar Wisata 5.0 di Kawasan Borobudur-Yogyakarta-Prambanan (BYP). Pelatihan tahap pertama untuk pelaku wisata di kawawan BYP berlangsung 12-18 September 2022.
Dia juga menyebut, upaya pengembangan desa wisata dapat dilakukan melalui konsep 3C, yaitu commitment (komitmen), competence (kompetensi), dan champion (juara). Ketiganya diyakini mampu menghadirkan desa wisata yang berkualitas dan berkelanjutan.
Kemenparekraf mencatat, kunjungan ke desa wisata naik 30-35 persen saat ini. Sandi sendiri kini sedang berkeliling ke 50 desa wisata di berbagai daerah, yang sebelumnya masuk dalam nominasi Anugerah Desa Wisata Indonesia. Program Kemenparekraf itu mencatatkan 1.831 desa wisata memiliki potensi menjadi besar untuk menarik minat wisatawan. [ns/ah]