Mouhammad Noor (33) adalah satu dari ratusan pengungsi etnis Muslim-Rohingya yang berada di kamp penampungan yang ada di Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut). Pria asal Kota Maungdauw, negara bagian Rakhine, Myanmar itu telah berada di Indonesia lebih dari 10 tahun.
Noor masuk ke Indonesia melalui perairan Tanjung Balai (Sumut) pada tahun 2011. Kepada VOA, Noor menceritakan perjuangannya bertahan hidup, di negeri yang jauh dari tanah kelahiran, selama bertahun-tahun.
Pada tahun 2008, Noor memutuskan untuk meninggalkan Myanmar usai konflik yang terjadi di tanah kelahirannya itu. Kata Noor, laki-laki dewasa dari etnis Muslim-Rohingya di wilayahnya hidup dengan ketidaknyamanan dan penuh ketakutan. Hal tersebut yang membuat mereka memilih meninggalkan Myanmar.
“Itu di Myanmar sangat sulit, karena Muslim-Rohingya apalagi di provinsi kami seperti dikurung. Tidak bisa belajar melanjutkan pendidikan dari kabupaten satu ke kabupaten lainnya saja enggak bisa pergi. Tidak diizinkan pemerintah. Bagi kami hak asasi manusia (HAM) tidak ada di Myanmar karena itu kami meninggalkan," katanya kepada VOA, Selasa (22/6).
Your browser doesn’t support HTML5
"Apa pun sehari-hari kami itu seperti hidup dalam ketakutan, karena tentara bawa lori (mobil pengangkut barang) besar. Setelah itu seperti mau bawa kuli. Begitu saja bawa, habis itu tidak ada dipulangkan, para pria dewasa sangat bahaya untuk hidup di lingkungan tersebut,” lanjutnya.
Kemudian, Noor berangkat menuju Bangladesh untuk mencari kehidupan yang lebih tenang. Namun, faktanya tak sesuai harapan. Sekadar mendapatkan kartu identitas pun sulit. Ia kemudian mengadu nasib ke Malaysia, berharap pada saudara sesama etnis Rohingya yang sudah lebih dahulu berada di negeri jiran itu. Dari Bangladesh ia berangkat menuju Malaysia melalui jalur laut dengan menumpangi sebuah kapal kecil.
“Kami melakukan perjalanan tanpa makanan dan air. Tapi Tuhan berikan umur yang panjang dan hidup setelah itu saya tiba di Malaysia,” ungkapnya.
Setelah tiba di Malaysia tanpa memiliki dokumen yang resmi, Noor pun mencoba mendaftarkan dirinya ke UNHCR (Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi/United Nations High Commissioner for Refugees) agar mendapatkan status resmi sebagai pengungsi. Namun, apa yang diharapkan Noor tak berjalan dengan mulus.
“Dari tahun 2008 saya berusaha sampai 2010. Saya hidup dengan perjalanan di Malaysia, kerja tanpa dokumen dan tanpa dapat status (pengungsi). Lalu, pada tahun 2011 saya melihat tidak ada kesempatan untuk bangsa kami untuk mendapatkan pendidikan di Malaysia. Kami tidak mendapatkan apa-apa di Malaysia,” ujarnya.
Kemudian, Noor bersama belasan pengungsi etnis Muslim-Rohingya lainnya membuat rencana untuk meninggalkan Malaysia. Mereka memutuskan untuk pergi ke Australia agar mendapatkan suaka. Kata Noor, mereka harus masuk ke Indonesia terlebih dahulu untuk bisa menuju Australia.
Ditipu Agen, Banyak Pengungsi Terkatung
Lalu, mereka sepakat untuk menggunakan jasa seorang agen agar bisa membawanya ke Australia. Namun, lagi-lagi keberuntungan tak menyertai Noor beserta rombongan etnis Muslim-Rohingya lainnya.
“Tahun 2011 saya sampai di Indonesia di Tanjung Balai. Tapi kami ditipu agen dan uangnya diambilnya. Kami disuruh untuk menunggu di Kota Medan. Kami ada 11 orang, dan agennya bilang akan ada mobil yang menjemput kami. Kami dijanjikan akan dibawa ke Pulau Jawa dan akan diberangkatkan ke Australia melalui kapal. Tapi karena kami ditipu agen dan tidak memiliki dokumen lengkap kami ditahan pihak imigrasi di Medan,” ucapnya.
Selanjutnya, Noor bersama rombongannya ditahan pihak imigrasi karena masuk ke Indonesia tanpa dilengkapi dengan dokumen resmi. Noor pun ditempatkan di Rumah Detensi Imigrasi Belawan selama setahun. Pada tahun berikutnya, setelah mendapatkan status sebagai pengungsi dirinya kemudian dipindahkan ke kamp pengungsian yang ada di Medan.
“UNHCR dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (International Organization for Migration/IOM) lalu membantu kami. Mereka bilang saya jangan melarikan diri lagi karena perjalanan sangat bahaya. Mereka akan cari solusi yang baik untuk saya,” tuturnya.
Kini, Noor menata hidup dengan tanpa kepastian masa depan bersama ratusan penyintas konflik kekerasan terhadap manusia dari negara lain di kamp pengungsian. Pasalnya, sejak tahun 2011 sampai sekarang Noor belum mendapatkan kepastian terkait masa depannya untuk diberangkatkan ke negara tujuan demi mendapatkan suaka.
“Mungkin bisa dibayangkan hidup saya bagaimana. Setiap tahun menunggu, kalau bertanya alasannya negara tujuan belum ada terima. Sampai sekarang menunggu untuk suaka itu,” katanya.
Noor pun berharap agar dirinya bisa mendapatkan kehidupan seperti layaknya manusia normal pada umumnya. Pasalnya, selama bertahun-tahun Noor telah merasakan kenestapaan dengan menyandang status sebagai pengungsi tanpa kepastian masa depan.
“Selama hampir 11 tahun saya menunggu di sini saya tidak pernah melanggar hukum. Itu pun saya belum dapat hak tersebut. Saya juga seorang manusia,” ungkapnya.
Tahun lalu Noor sempat mendapat kabar baik untuk diberangkatkan ke Kanada. Namun, sampai saat ini harapan itu kembali menggantung tanpa kepastian. Noor pun berharap agar segera diberangkatkan ke negara ketiga.
“Saya mungkin bisa kembali ke negara asal tapi karena di sana hidup tidak aman jadi ingin mencari kehidupan yang layak dan baik,” pungkasnya.
Indonesia Belum Ratifikasi Konvensi Tahun 1951
Indonesia saat ini masih belum meratifikasi Konvensi Pengungsi Tahun 1951, tetapi tetap menjadi salah satu tujuan favorit pengungsi.
Diwawancarai secara terpisah, Kepala Misi Organisasi Migrasi Internasional IOM Untuk Indonesia, Louis Hoffmann, memuji langkah pemerintah serta masyarakat Indonesia yang memberikan bantuan dan pertolongan dengan tangan terbuka terhadap para pengungsi terutama etnis Muslim-Rohingya. Meskipun Indonesia belum meratifikasi konvensi soal pengungsi.
"Jadi saya pikir sudah ada pola yang sangat jelas dari pemerintah (Indonesia) memberikan bantuan penyelamatan hidup atas dasar perhatian kemanusiaan. Itu adalah tradisi yang sangat kuat di sini, bahkan tanpa tanda tangan formal konvensi pengungsi," katanya kepada VOA.
Sedangkan, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Sumut, Imam Suyudi, mengatakan jumlah pengungsi yang berada di Kota Medan mencapai 1.795 orang yang berasal dari berbagai negara. Ribuan pengungsi itu telah ditempatkan di 18 tempat penampungan yang tersebar di Kota Medan.
“1.795 orang yang terdiri dari laki-laki 1.078 dan perempuan 717. Mereka terdiri dari kebangsaan Bangladesh, India, Malaysia, Myanmar, Pantai Gading, Thailand, Turki, Sri Lanka, Somalia, Kuwait, Irak, Iran, Palestina, dan Ethiopia,” kata Imam kepada VOA, Senin (21/6).
Imam melanjutkan, seluruh pengungsi itu telah mendapatkan status sebagai pencari suaka. Kemenkumham Sumut kerap melakukan pengawasan secara rutin terhadap ribuan pengungsi tersebut.
BACA JUGA: 81 Pengungsi Etnis Muslim-Rohingya Tiba di Medan“Kami melakukan upaya pengawasan bagi mereka. Pengawasan secara rutin untuk memastikan mereka tidak melakukan upaya pelanggaran selama berada di kamp penampungan masing-masing,” pungkas Imam.
Berdasarkan data dari UNHCR, jumlah pengungsi etnis Muslim-Rohingya yang berada di Medan saat ini berjumlah 354 orang yang tersebar di beberapa lokasi penampungan. Dari sekitar 14.000an pengungsi yang berada di Indonesia saat ini, pengungsi Rohingya adalah kelompok terbesar kedua setelah Afghanistan. [aa/em]