Netanyahu Hadapi Tekanan Akhiri Perang Gaza Usai Sinwar Tewas

Sebuah tank Israel bermanuver di dekat perbatasan Israel-Gaza, di tengah konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan Hamas, seperti yang terlihat dari Israel, 15 Oktober 2024. (Foto: Amir Cohen/REUTERS)

Beberapa sekutu politik garis keras Netanyahu, termasuk Menteri Keuangannya Bezalel Smotrich, mengatakan Israel tidak boleh berhenti sebelum Hamas "menyerah sepenuhnya".

Pembunuhan pemimpin Hamas Yahya Sinwar, musuh yang selalu dicari Israel, dipuji sebagai kemenangan bagi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Namun, rakyat Israel yang semakin lelah setelah setahun berperang semakin menekan ia untuk segera mengakhiri konflik, dan menyelamatkan sandera yang masih tertawan di Gaza.

Netanyahu menggambarkan kematian Sinwar sebagai "awal dari akhir" konflik, yang juga meluas hingga ke Lebanon dan Yaman. Menurut Netanyahu, perang akan segera berakhir jika Hamas menyerahkan senjata, dan memulangkan 101 sandera Israel, dan warga asing yang masih ditahan di Gaza.

Kematian Sinwar menambah daftar panjang pemimpin militan Palestina dan Lebanon yang dibunuh Israel dalam beberapa bulan terakhir. Kekhawatiran bahwa kesepakatan akan menguntungkan arsitek serangan 7 Oktober yang dipimpin Hamas terhadap Israel itu kini sirna.

"Saya pikir apa yang kita miliki sekarang adalah kesempatan untuk menggunakan momen ini di Gaza untuk menutup garis depan di Gaza," kata Shira Efron, Direktur Senior Riset Kebijakan di Yayasan Diane dan Guilford Glazer yang pro-Israel.

Warga Palestina berduka atas orang-orang terkasih yang terbunuh dalam serangan Israel, di Deir Al-Balah di Jalur Gaza bagian tengah. (Foto: Reuters)

"Maksud saya, Anda perlu ingat bahwa ini masuk ke dalam masyarakat Israel, mereka telah membalas dendam terhadap sang dalang, Sinwar," katanya.

Tanggapan Hamas atas kematian pemimpin mereka masih belum jelas. Sinwar, yang terluka parah, terekam oleh drone Israel di sebuah bangunan yang hancur di Gaza sebelum jasadnya dibawa ke Israel untuk diidentifikasi.

Wakil Kepala Hamas, Khalil Al-Hayya, pada Jumat (18/10) mengatakan sandera Israel tidak akan dikembalikan sampai "agresi" Israel berakhir, dan pasukannya ditarik.

Beberapa sekutu politik garis keras Netanyahu, termasuk Menteri Keuangannya Bezalel Smotrich, mengatakan Israel tidak boleh berhenti sebelum Hamas "menyerah sepenuhnya".

Namun, Gedung Putih menyebut kematian itu mendorong adanya potensi "titik balik" dalam perang, bahkan para pendukung kebijakan keras Israel mengakui adanya potensi konflik diakhiri.

BACA JUGA: Warga Gaza Puji Akhir Hidup Yahya Sinwar: Tetap Lempar Tongkat ke Drone Israel

"Saya pikir Netanyahu mengatakan hal yang benar tadi malam. Berikan kami para sandera dan - ketika semua orang, para sandera, kembali - kami akan pergi," kata Erez Goldman, seorang warga Yerusalem, saat ia mencerna berita tersebut keesokan harinya.

Mayoritas opini publik Israel, termasuk Netanyahu, yakin bahwa perdamaian hanya dapat dicapai jika mereka berhasil mengalahkan musuh, meskipun harus mengorbankan hubungan dengan sekutu.

Banyak orang melihat kematian Sinwar sebagai pembenaran bagi keputusan Israel yang menolak tekanan internasional pada awal tahun ini untuk tidak mengirim pasukan darat ke Rafah, yang saat itu menjadi tempat perlindungan bagi lebih dari satu juta pengungsi Palestina akibat pertempuran.

"Ini adalah hal pertama yang terlintas dalam pikiran ketika Sinwar dibawa keluar di Rafah," kata seorang pejabat senior pada Jumat.

Netanyahu mengabaikan tekanan dari keluarga sandera dan pemimpin dunia selama berbulan-bulan, termasuk Presiden Amerika Serikat Joe Biden, agar mencapai kesepakatan gencatan senjata di Gaza. Pada Jumat, seruan untuk gencatan senjata semakin meningkat.

Seorang anak Palestina mengumpulkan tepung yang tumpah dari tanah di lokasi serangan udara Israel yang menghantam tenda-tenda pengungsi dua hari sebelumnya di halaman Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa di Deir al-Balah di Jalur Gaza tengah pada 16 Oktober 2024. (Foto: AFP)

Keberuntungan politik Netanyahu, yang berada di titik terendah pada tahun lalu setelah hari paling berdarah dalam sejarah Israel, kembali bangkit kembali sejak saat itu, terutama karena keberhasilan ia membunuh sejumlah pemimpin.

Mohammed Deif, komandan militer Hamas yang telah lama menjabat, tewas di Gaza pada Juli dan pada bulan yang sama, pemimpin politik gerakan tersebut Ismail Haniyeh dibunuh di Teheran.

Dua bulan kemudian pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah, tewas di Beirut, salah satu dari serangkaian pemimpin dari kelompok yang didukung Iran yang tewas dalam gelombang serangan udara Israel.

Masuknya Sinwar ke dalam daftar tersebut bisa memberikan Netanyahu potensi "jalan keluar" dari Gaza, menurut Carmiel Arbit, peneliti senior nonresiden di Atlantic Council.

BACA JUGA: Militer Israel: Sinwar Tewas dalam Baku Tembak Saat Dilacak Drone 

"Namun kematian Sinwar saja tidak menjamin keadaan yang diperlukan bagi Netanyahu untuk menyatakan berakhirnya perang seperti yang diharapkan banyak orang," katanya.

Keluarga sandera merasa bahwa ini adalah saat yang tepat untuk berdamai setelah perundingan gencatan senjata menemui jalan buntu beberapa minggu lalu. "Ini adalah kesempatan yang mungkin tidak akan kita dapatkan lagi," kata Daniel Lifshitz, yang kakeknya Oded Lifshitz masih ditahan di Gaza.

Banyak hal akan bergantung pada siapa yang akan menggantikan Sinwar kelak.

Israel menyatakan perlunya mempertahankan kendali keamanan atas Gaza setelah perang berakhir. Namun, mereka belum memberikan rincian spesifik tentang cara mengelola wilayah tersebut, selain menolak partisipasi Hamas atau Otoritas Palestina. [ah/ft]