OKI Sesalkan Penolakan Kantor Perwakilannya di Burma

  • Danielle Bernstein

Para biksu Burma melakukan unjuk rasa untuk memprotes rencana pendirian kantor perwakilan OKI di depan balai kota Rangoon (15/10)

Organisasi Kerjasama Islam mengatakan, keputusan Burma untuk menolak keberadaan perwakilannya di negara itu, merupakan langkah mundur yang tampaknya berlawanan dengan persetujuan sebelumnya yang dicapai OKI dengan para pejabat Burma.
Pekan ini, ribuan biksu Burma dan warga lainnya memrotes pembukaan kantor organisasi 57 negara itu, yang telah menyelidiki kekerasan komunal di negara bagian Rakhine.

OKI berkunjung ke Burma bulan lalu setelah pecah kerusuhan di Rakhine antara warga Rohingya, yang sebagian besar Muslim, dan penduduk setempat Rakhine, yang kebanyakan beragama Buddha.

Konflik itu membunuh ratusan warga dan menelantarkan puluhan ribu lainnya, memicu peringatan PBB akan terjadinya krisis kemanusiaan.

Maha Akeel, jurubicara OKI, mengatakan, kelompok itu masih belum menerima pemberitahuan resmi, bahwa izin untuk membuka kantor perwakilan OKI telah ditolak, tetapi pengumuman yang disampaikan Presiden Burma itu mengejutkan para pejabat OKI.

"Ini adalah langkah mundur, karena persetujuan tertulis telah ditandatangani untuk perizinan membuka sebuah kantor kemanusiaaan yang akan membantu semua komunitas yang hidup di wilayah Rakhine, bukan saja kaum Muslim," kata Akeel.

Organisasi-organisasi HAM internasional mengatakan, warga Rohingya telah lama mengalami diskriminasi yang sistematik dengan hak kewarganegaraan yang ditolak. Situasi tersebut menimbulkan krisis pengungsi yang terakumulasi, mengakibatkan PBB menyebut suku Rohingya sebagai salah satu etnis yang paling tertindas dan terpinggirkan di dunia.

Sekjen OKI, Ekmeleddin İhsanoğlu (foto: dok). OKI menyesalkan penolakan pemerintah Burma atas pendirian kantor OKI di sana.

Aye Win, juru bicara PBB di Burma memberitahu VOA lewat email bahwa "penduduk Rakhine menderita, dan mereka perlu mencari jalan untuk memajukan diri. Masyarakat banyak hanya ingin berusaha meringankan penderitaan orang-orang itu, terlepas dari agama atau ras mereka, dan bahwasanya pemberian bantuan kemanusiaan akan sia-sia jika terus berlangsung permusuhan."

Hun Aung Gyaw, aktivis politik organisasi independen “Misi Perdamaian di Tanah air” baru-baru ini berkunjung ke Burma, di mana dia diundang oleh pemerintah selama dua minggu dalam misi mencari fakta tentang perundingan perdamaian yang sedang berlangsung dengan beberapa kelompok etnis.

Meskipun pemerintah Burma terus melangsungkan perundingan perdamaian dengan beberapa kelompok etnis, tidak ada inisiatif serupa dengan komunitas Rohingya. Htun Aung Gyaw menandaskan, negara bagian Rakhine atau Arakan diduga akan menjadi uji coba lebih berat terhadap kemampuan pemerintah dalam mempertahan ketentraman.

Walaupun masyarakat internasional prihatin terhadap isyu Rohingya, kelompok oposisi politik Burma tampak bersatu mendukung posisi presiden mengenai Rohingya ini. Pemimpin oposisi dan Pemegang Hadiah Nobel Aung San Suu Kyi tidak mengambil posisi berkenaan isu tersebut.

Hingga 800 ribu penduduk Rohingya diduga hidup di sepanjang perbatasan Burma dengan Bangladesh. Masing-masing negara itu tidak mengakui mereka sebagai warga negara, dan dalam beberapa minggu belakangan ini, kelompok-kelompok bantuan memperingatkan bahwa banyak warga Rohingya dihadapkan pada pembatasan gerak di kedua sisi perbatasan.