Ombudsman hari Selasa (9/6) merilis hasil kajian sidang yang dilakukan secara virtual di lingkungan Mahkamah Agung dan pengadilan negeri. Peradilan secara virtual ini dilakukan karena wabah virus corona yang masih membekap Indonesia. Kajian itu menyimpulkan sidang pengadilan yang digelar secara virtual berpotensi menimbulkan maladministrasi karena ada sejumlah gangguan selama pelaksanaan sidang tersebut.
Dalam jumpa pers secara virtual di kantornya di Jakarta, Selasa (9/6), Kepala Keasistenan I Ombudsman Nugroho Adrianto menjelaskan kajian tersebut dilakukan selama 5-15 Mei di 16 pengadilan negeri, yakni Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Depok, Bogor, Cibinong, Bekasi, Tangerang, Serang, Medan, Batam, Jambi, Surabaya, Denpasar, Banjarmasin, Kupang, dan Manokwari.
Kajian tersebut dilakukan melalui wawancara dengan sejumlah pihak terkait dan meninjau langsung pelaksanaan sidang secara virtual di 16 pengadilan negeri itu.
BACA JUGA: Perbaiki Layanan Aduan Perempuan dan Anak Selama PandemiDari hasil kajian itu, lanjut Nugroho, terdapat sejumlah kendala dalam pelaksanaan sidang secara virtual. Keluhan pertama adalah kualitas Internet yang kurang baik sehingga menyebabkan proses sidang berjalan tidak sebagaimana mestinya.
Di samping itu kurang memadainya peralatan pendukung untuk pelaksanaan sidang secara virtual. Layar monitor, mikrofon, proyektor, kamera, dan pengeras suaranya belum tersedia di semua ruang sidang.
Kemudian hanya satu layar yang tersedia dalam ruang sidang sehingga penasihat hukum dan jaksa kadang tidak dapat melihat pihak lain dengan jelas. Lalu penasihat hukum harus duduk bersebelahan dengan jaksa dan saksi agar dapat bergiliran menggunakan mikrofon dan terekam kamera.
BACA JUGA: Potret Perampasan Lahan di Tengah PandemiMasalah lainnya adalah keterbatasan sumber daya manusia di bidang teknologi informasi. Tidak semua pengadilan negeri, kejaksaan negeri, dan lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan memiliki staf teknologi informasi. "Sehingga bila terjadi kendala teknis di tengah persidangan, maka kemudian yang terjadi adalah kesulitan untuk mengatasi, sementara proses persidangan berjalan terus. Yang berikutnya adalah keterbatasan penguasaan teknologi oleh sebagian hakim," kata Nugroho.
Sebagian Pengadilan Tak Libatkan Penasehat Hukum dan Lapas/Rutan
Persoalan lain adalah beberapa pengadilan negeri hanya berkoordinasi dengan kejaksaan tanpa melibatkan penasihat hukum dan pihak lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan. Alhasil, penasihat hukum tidak mendapatkan informasi mengenai proses persidangan yang akan dilakukan.
Selain itu, dalam sidang secara virtual, penasihat hukum tidak bisa berada di dekat terdakwa karena terdakwa harus tetap berada di lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan. Sehingga mengurangi kualitas pendampingan terhadap terdakwa.
Durasi Sidang Lewat Zoom Terbatas
Ganjalan lainnya adalah proses sidang di daerah kerap terputus karena menggunakan aplikasi Zoom yang gratis dan waktunya memang dibatasi selama 40 menit.
"Para penasihat hukum tidak dapat memastikan saksi maupun terdakwa tidak dalam posisi tekanan atau berdusta ketika memberikan keterangan pada saat persidangan. Karena persidangan secara virtual ini membuat para pihak bebas berada di manapun, tidak di dalam satu ruangan sidang. Sehingga para penasihat hukum meragukan kebebasan saksi ketika memberikan keterangan," ujar Nugroho.
Muhammad Pramulya Kurniawan, Keasistenan Analisis Pencegahan Maladministrasi menilai ada potensi maldministrasi dalam pelaksanaan sidang secara virtual, yakni penundaan sidang berlarut-larut dan secara kelembagaan tidak kompeten karena tidak siap.
Ombudsman Akan Sampaikan Masukan pada Mahkamah Agung
Dengan adanya potensi maladministrasi tersebut, anggota Ombudsman Adrianus Meliala meminta Mahkamah Agung segera memperbaiki diri. Ombudsman memberikan sejumlah saran perbaikan kepada Ketua Mahkamah Agung, yakni agar Mahkamah Agung menyusun peraturan tentang persidangan secara virtual untuk memperkuat dasar hukum penyelenggaraan proses sidang secara virtual tersebut.
Ombudsman juga menyarankan penyusunan regulasi mengenai standarisasi saranan dan prasarana untuk melakukan sidang secara virtual pada pengadilan negeri. Tenaga teknologi informasi di pengadilan negeri juga harus ditambah.
Selain itu, Ombudsman menyarankan Ketua Mahkamah Agung membentuk tim khusus untuk mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan sidang secara virtual serta penerapan protokol pencegahan Covid-19 di pengadilan negeri.
Pengadilan Negeri Siap Memperbaiki Diri
Adrianus mengakui sebelum menggelar jumpa pers sudah mengadakan pertemuan dengan perwakilan dari 16 pengadilan negeri yang dikaji serta dari Mahkamah Agung. Dia menangkap kesan mereka akan memperbaiki diri. "Kami bersyukur karena terdapat satu sikap yang menerima, sikap yang mau memperbaiki diri, dan memang pada saat ini sedang ada usaha-usaha ke arah itu dari pihak Mahkamah Agung," kata Adrianus.
BACA JUGA: Selama Pandemi, Ombudsman RI Paling Banyak Terima Aduan Soal BansosAdrianus menambahkan salah satu upaya perbaikan itu adalah Mahkamah Agung akan menggelontorkan dana sebesar Rp 172,8 miliar untuk penambahan bandwith di semua pengadilan, agar proses persidangan secara virtual tidak terganggu oleh lemahnya sinyal Internet.
Jubir MA : Sidang Virtual Jadi Alternatif Terbaik Saat Pandemi
Juru Bicara Mahkamah Agung yang juga Ketua Muda Kamar Pengawasan MA Andi Samsan Nganro mengatakan “sidang online” di tengah wabah pandemi corona merupakan alternatif terbaik untuk melayani pencari keadilan. Apalagi sidang semacam ini juga sudah sering dipraktikkan dan bahkan menjadi kebijakan Mahkamah Agung dalam memanfaatkan teknologi informasi.
Dia membantah jika persidangan perkara pidana dilakukan secara elektronik rentan terjadi sejumlah pelanggaran seperti mal praktik perkara dan persidangan. [fw/em]