Organisasi penyedia terbesar perawatan anti-retroviral HIV/AIDS di Myanmar itu telah menutup klinik di seluruh negeri atas perintah pemerintah setempat.
RANGOON —
Seorang pekerja sosial dari Mandalay yang bernama Casper menderita HIV-positif selama lebih 10 tahun , dan membantu orang dengan HIV untuk tes dan mendapatkan penyuluhan.
Ia pergi ke klinik Doctors Without Borders (Dokter Tanpa Batas) di Rangoon sekali sebulan untuk menerima obat guna keselamatan nyawanya, yang tidak bisa disediakan oleh pemerintah.
Pada Sabtu (1/3), ia diberitahu bahwa tidak bisa lagi melanjutkan perawatan, setelah Doctors Without Borders diperintahkan untuk menghentikan kegiatannya.
Organisasi penyedia terbesar perawatan anti-retroviral HIV/AIDS di Myanmar itu telah menutup klinik di seluruh negeri untuk pertama kalinya sejak berdiri di sana dan menerima perintah dari pemerintah setempat untuk menghentikan seluruh kegiatannya.
Casper mengatakan, jika tidak ada perawatan dari Doctors Without Borders, maka warga akan tergantung pada program pemerintah, dan akan banyak orang yang sakit dan menderita.
Doctors Without Borders mengatakan dalam pernyataannya Jumat, mereka sangat terkejut dengan perintah itu, dan keputusan itu akan memiliki dampak buruk bagi 30.000 pasien HIV dan 3.000 pasien tuberkulosis yang sedang mereka rawat.
Organisasi ini bekerja di sejumlah kawasan konflik di seluruh negeri, namun dituduh mengutamakan kelompok Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine, sebuah kelompok minoritas yang dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk hidup di kamp, dimana gerak gerik mereka dibatasi.
Juru bicara Pemerintah Ye Htut mengatakan kepada wartwan bahwa organisasi itu diperintahkan untuk menghentikan kegiatannya, dan ia menuduh organisasi itu telah melakukan perawatan terhadap korban di lokasi kekerasan tempat terjadinya pembantaian pada Januari, yang disangkal oleh pemerintah.
Namun setelah tekanan dari pihak Internasional, pemerintah Myanmar tampaknya melunak. Ye Htut mengatakan pemerintah tidak membuat larangan untuk semua kawasan di Myanmar, dan hanya menerapkannya di negara bagian Rakhine bagi Doctors Without Borders.
Walaupun larangan ini dibatasi hanya di negara bagian Rakhine, ribuan pasien yang hidup dalam kondisi kritis harus bertahan tanpa perawatan dasar yang disediakan organisasi amal kesehatan setiap harinya.
Menurut UNAIDS, terdapat lebih dari 90.000 orang yang hidup dengan HIV di Myanmar tidak memiliki akses terhadap obat anti-retroviral yang diperlukan mereka.
Walaupun dana sejumlah $160 juta telah dianggarkan untuk memperbaiki akses tahun lalu untuk perawatan HIV, tuberkulosis dan malaria, pemerintah belum sanggup mengakomodasi pasien baru untuk pengobatan anti-retroviral ini. (VOA/Gabrielle Paluch)
Ia pergi ke klinik Doctors Without Borders (Dokter Tanpa Batas) di Rangoon sekali sebulan untuk menerima obat guna keselamatan nyawanya, yang tidak bisa disediakan oleh pemerintah.
Pada Sabtu (1/3), ia diberitahu bahwa tidak bisa lagi melanjutkan perawatan, setelah Doctors Without Borders diperintahkan untuk menghentikan kegiatannya.
Organisasi penyedia terbesar perawatan anti-retroviral HIV/AIDS di Myanmar itu telah menutup klinik di seluruh negeri untuk pertama kalinya sejak berdiri di sana dan menerima perintah dari pemerintah setempat untuk menghentikan seluruh kegiatannya.
Casper mengatakan, jika tidak ada perawatan dari Doctors Without Borders, maka warga akan tergantung pada program pemerintah, dan akan banyak orang yang sakit dan menderita.
Doctors Without Borders mengatakan dalam pernyataannya Jumat, mereka sangat terkejut dengan perintah itu, dan keputusan itu akan memiliki dampak buruk bagi 30.000 pasien HIV dan 3.000 pasien tuberkulosis yang sedang mereka rawat.
Organisasi ini bekerja di sejumlah kawasan konflik di seluruh negeri, namun dituduh mengutamakan kelompok Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine, sebuah kelompok minoritas yang dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk hidup di kamp, dimana gerak gerik mereka dibatasi.
Juru bicara Pemerintah Ye Htut mengatakan kepada wartwan bahwa organisasi itu diperintahkan untuk menghentikan kegiatannya, dan ia menuduh organisasi itu telah melakukan perawatan terhadap korban di lokasi kekerasan tempat terjadinya pembantaian pada Januari, yang disangkal oleh pemerintah.
Namun setelah tekanan dari pihak Internasional, pemerintah Myanmar tampaknya melunak. Ye Htut mengatakan pemerintah tidak membuat larangan untuk semua kawasan di Myanmar, dan hanya menerapkannya di negara bagian Rakhine bagi Doctors Without Borders.
Walaupun larangan ini dibatasi hanya di negara bagian Rakhine, ribuan pasien yang hidup dalam kondisi kritis harus bertahan tanpa perawatan dasar yang disediakan organisasi amal kesehatan setiap harinya.
Menurut UNAIDS, terdapat lebih dari 90.000 orang yang hidup dengan HIV di Myanmar tidak memiliki akses terhadap obat anti-retroviral yang diperlukan mereka.
Walaupun dana sejumlah $160 juta telah dianggarkan untuk memperbaiki akses tahun lalu untuk perawatan HIV, tuberkulosis dan malaria, pemerintah belum sanggup mengakomodasi pasien baru untuk pengobatan anti-retroviral ini. (VOA/Gabrielle Paluch)