Organisasi Internasional Himbau Penghentian Sunat pada Perempuan

  • Lisa Schlein
    Wita Sholhead

Warga berkumpul menyaksikan upacara sunat seorang remaja perempuan dari suku Sebei di Uganda (foto: dok.)

Penyunatan dinilai tidak bermanfaat bagi kesehatan anak perempuan dan mengakibatkan berbagai komplikasi fisik dan psikologis.

Diperkirakan antara 100 sampai 140 juta anak perempuan dan perempuan di seluruh dunia saat ini menghadapi akibat sampingan penyunatan, di mana bagian luar organ kemaluan perempuan dipotong sebagian atau seluruhnya.

Penyunatan itu banyak dilakukan pada anak perempuan dari usia bayi sampai 15 tahun. Kelompok-kelompok advokasi setuju bahwa penyunatan tidak bermanfaat bagi kesehatan anak perempuan dan perempuan dan dapat mengakibatkan perdarahan hebat serta berbagai komplikasi fisik dan psikologis. Praktik sunat ini masih terus dilakukan hingga saat ini, terutama di 28 negara Afrika.

Direktur Komite Antar-Afrika mengenai Praktik-praktik Tradisional yang Berdampak pada Kesehatan Perempuan dan Anak-anak, Berhane-Ras-Work, menyebut penyunatan pada perempuan sebagai praktik penyiksaan. Ia mengatakan praktik itu terus dilakukan karena berakar dalam tradisi. Sistem patriakhal ini, ujarnya, dianut oleh masyarakat dan bahkan oleh kelompok perempuan, meskipun mereka harus merasakan sakit dan menderita.

Ras-Work mengatakan, “Sistem patriakhal itu menciptakan cara-cara kekuasaan untuk membuat perempuan tunduk, untuk memanipulasi perempuan, dan membuat perempuan menjadi isteri yang tunduk pada suami. Perempuan bersedia untuk disunat agar dapat diperisteri, tetap perawan sebelum menikah, setia kepada suami, dan agar dapat diterima oleh masyarakat.”

Organisasi Internasional Urusan Migrasi mengatakan penyunatan pada perempuan merebak dengan adanya migrasi global. Organisasi itu melaporkan praktik itu sekarang dilakukan dalam banyak komunitas imigran di negara-negara Eropa, Amerika Utara, Australia, dan Selandia Baru. Tetapi, upaya untuk menghilangkan praktik ini sedang giat dilakukan.

Miriam, seorang mantan juru sunat perempuan di Senegal selatan menunjukkan alat yang digunakannya dalam penyunatan.

Dua puluh negara Afrika sekarang punya undang-undang yang menentang penyunatan pada perempuan. Data statistik menunjukkan penurunan lebih dari 50 persen praktik itu di delapan negara.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) berkampanye untuk menghentikan praktik penyunatan itu. Elise Johansen, dokter pada Bagian Penelitian Kesehatan Reproduksi WHO, mengatakan petugas-petugas kesehatan di banyak negara Afrika dan Barat melaksanakan prosedur ini.

Ia mengatakan, "Masalah ini lebih serius daripada yang kami perkirakan, karena tahun lalu Asosiasi Dokter Anak Amerika mengkampanyekan agar para petugas kesehatan menjangkau masyarakat dan menawarkan melakukan irisan kecil yang bersifat ritual sebagai pengganti praktik penyunatan. WHO dan badan-badan PBB lain serta organisasi-organisasi professional dan LSM menyerang anjuran itu dan asosiasi menarik dengan cepat usulan itu.”

Dokter Johansen mengatakan kadang-kadang, saran diberikan untuk memungkinkan beberapa jenis intervensi medis yang diyakini merupakan bentuk pengurangan rasa sakit yang dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan budaya.

Tetapi, ia mencatat hal ini belum terbukti berhasil. Sebaliknya, ia mengatakan WHO dan mitra-mitranya khawatir prosedur ini justru akan menggalakkan dan melanjutkan praktik penyunatan pada perempuan.