Deputi Pendanaan dan Investasi Otoritas Ibu Kota Nusantara (OIKN) Agung Wicaksono menegaskan, meskipun ada pernyataan dari Anies terkait pembangunan IKN, minat investor untuk menanamkan modalnya dalam mega proyek tersebut masih sangat tinggi.
“Kalau saya melihatnya sejauh ini minat (investor) tinggi-tinggi terus kok. Calon presiden menyebut begitu yang silakan. Namanya sedang pesta demokrasi, silakan saja,” ujar Agung di Jakarta pada akhir pekan lalu.
Keyakinan investor tersebut pun disampaikan oleh Direktur Utama PT Pakuwon Jati Alexander Stefanus Ridwan Suhendra. Sebagai investor domestik, ia cukup yakin dengan masa depan ibu kota baru ini.
“Saya sih tidak lihat ada (calon) presiden yang menolak. Kita lihat apakah masa depannya bagus atau tidak? Kalau saya lihat masa depannya bagus,” ungkap Ridwan.
Keyakinan tersebut, katanya, juga didasari dengan adanya UU IKN yang menjadikan pembangunannya tersebut sulit dibatalkan.
“UU-nya sudah ada. Jadi saya percaya bahwa di sana ada masa depan yang bagus. Jadi saya memikirkan itu aja, tidak usah memikirkan yang lain. Saya tidak memikirkan politik, yang penting masa depannya apakah bagus atau tidak,” tambahnya.
Ratusan LOI Sudah Masuk
Lebih jauh, Agung menjelaskan sampai saat ini setidaknya sudah ada 328 letter of interest (LOI). Dari jumlah tersebut, sebanyak 45 persen berasal dari investor asing yang sampai saat ini masih bermitra dengan investor domestik.
Investor asing tersebut, kata Agung, paling banyak berasal dari Singapura, Jepang, China, dan Malaysia. Sejumlah investor dari Korea Selatan, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, menurut Agung, juga tercatat menunjukkan minat mereka
BACA JUGA: Otorita IKN Jawab Soal Mengapa Investor Asing Tak Kunjung MasukMenurut rencana, peletakan batu pertama tahap ketiga IKN akan dilangsungkan pada 20-21 Desember dengan nilai investasi senilai Rp10 triliun. Pada tahap ketiga ini, fokus pembangunan adalah reboisasi area sumbu kebangsaan, properti, transportasi berbasis, listrik dan rumah sakit.
“Jadi hari ini sudah ada komitmen Rp36 triliun untuk pembangunan IKN yang berasal dari non-APBN. Sedangkan yang berasal dari anggaran negara di 2022 ada Rp5 triliun, dan di 2023 dari APBN mencapai Rp29 triliun, nah kalau dihitung menjadi sekitar Rp35 triliun,” jelasnya.
Komposisi pembiayaan pembangunan IKN yang seperti ini, kata Agung, membuktikan bawah IKN dibangun bukan hanya dari anggaran negara,, tapi juga dari partisipasi masyarakat dan pihak swasta, terutama para investor domestik yang menjadi investor pelopor.
Investor Masih Wait and See
Meskipun pihak Otorita IKN mengklaim bahwa minat investor terhadap pembangunan IKN masih tinggi, Ekonom CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira berpendapat para investor ini masih dalam tahap wait and see.
Menurutnya, meskipun ratusan LOI masuk, investasinya belum tentu terealisasi karena tahun politik merupakan salah satu pertimbangan kuat bagi investor.
Dari sisi kepastian hukum, katanya, UU IKN masih memiliki banyak celah yang bisa menyebabkan penundaan pembangunan.
“Kalau kita pelan-pelan membaca UU IKN, tidak ada ketentuan spesifik tahun berapa akan selesai IKN-nya, sehingga walaupun kemudian bukan dibatalkan tapi misalnya pembangunannya ditunda. Yang tadinya horizon-nya 20 tahun misalnya akan diselesaikan, tapi tidak menutup kemungkinan misalnya dukungan dari APBN sangat kecil sehingga penyelesaiannya misalnya butuh waktu 100 tahun dan itu tidak melanggar UU IKN," katanya.
BACA JUGA: Ibu Kota Nusantara: Merusak Hutan atau Memperbaiki Lingkungan?"Jadi UU IKN masih banyak celah yang bisa dimanfaatkan untuk menunda pembangunan IKN,” imbuh Bhima.
Bhima juga berpendapat bahwa pembatalan UU IKN sangat mungkin terjadi. Bhima mencontohkan bisa saja presiden dan wakil presiden terpilih menerbitkan peraturan pengganti undang-undang (Perpu) untuk membatalkan pembangunan mega proyek ini.
“Bisa (batal). Dia menganulir UU yang existing dengan kondisi adanya keterdesakan, yang mana itu bisa macam-macam. Sekarang kalau bikin Perppu IKN kemudian alasannya karena butuh biaya besar untuk mitigasi perubahan iklim boleh tidak? Boleh. Jika kondisi ekonomi memburuk misalnya untuk bantalan fiskal yang lebih besar boleh tidak? Boleh,” jelasnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Karena UU IKN tidak bersifat final, menurut Bhima, risiko investasi dalam pembangunan IKN ini di mata investor sangat tinggi.
“Itu ditunjukkan oleh Pak Jokowi juga dengan membuat Perppu Cipta Kerja, Perppu pada saat COVID-19 misalnya. Dua Perppu yang lahir di era Jokowi ini. Jadi artinya kenapa presiden ke depan tidak bisa melakukan hal yang sama?” jelasnya.
Terlepas dari siapapun yang terpilih pada 2024 mendatang, ada faktor lain yang membuat investor akan menimbang ulang untuk berinvestasi di IKN, yakni visi dan misi pembangunan dari ketiga pasangan capres dan cawapres. Bhima visi misi para calon pemimpin masih Jawa sentris. Sebagian besar pembangunan yang dilakukan oleh Jokowi pun, katanya, masih berpusat di pulau Jawa.
“Jadi investor akan secara rasional membandingkan, bagaimana arah pembangunan Indonesia ke depan? Kalau di luar Jawa fokusnya hilirisasi industri itu justru akan lebih menarik daripada pembangunan IKN. Sementara yang masih di Jawa tetap akan menetap, paling terjadi pergeseran dari Jawa Barat ke Jawa Tengah,” katanya.
“Terlepas dari risiko politik, kalau dilihat dari hitung-hitungan ekonominya, return on asset, return on investment itu masih banyak diragukan dari sisi investor,” pungkasnya. [gi/ab]