Paduan Suara Pihcintu Multicultural Suarakan Pesan Perdamaian

  • Josie Huang

Dari kiri: Rita Achiro, Ehklas Ahmed dan Judith Abdalla bernyanyi untuk paduan suara Pihcintu Multicultural (foto:dok).

Ketika gadis-gadis dalam paduan suara anak-anak Pihcintu Multicultural menyanyi tentang perdamaian, lagu-lagu itu memiliki makna bagi mereka. Banyak diantara anak-anak itu adalah pengungsi yang meninggalkan rumah mereka di Asia, Afrika dan Timur Tengah. Mereka menyelamatkan diri dari perang, penindasan dan kelaparan.

Dalam latihan paduan suara minggu ini, semua berjalan sebagaimana biasanya. Termasuk bermain-main, saling mengepang rambut dan mencoba kosmetik.

Tetapi Con Fullam, direktur paduan suara itu berusaha menarik perhatian mereka.

Anak-anak perempuan itu berbaris dua-dua dan menatap lurus kearah Direktur Fullam.

Lagu berjudul 'Bells of Freedom' ditulis Fullam dan Judith Abdalla, salah satu pendiri kelompok paduan suara anak 'Pihcinto Multicultural'.

Abdalla mengatakan, “Kami bernyanyi tentang perdamaian, tentang kebersamaan, menghentikan perang di tanah asal kami dan bernyanyi tentang kembali kesana dan mempertahankan bahasa dan keluarga kita.”

Abdalla lahir di Sudan dan tinggal sebentar di Mesir, sebelum hijrah ke Amerika. Ketika berumur 18 tahun, dia bersama perempuan-perempuan muda lain yang telah ikut paduan suara itu selama bertahun-tahun menjadi pembimbing kelompok paduan suara itu.

Bagi anggota paduan suara itu seperti Ehklas Ahmed, pesan paduan suara itu melegakan. Ia mengatakan di tempat asalnya, Darfur, saat ini terjadi genosida dan dengan menyanyi membuatnya merasa lebih baik karena ia putus asa dengan situasi itu.

Direktur Con Fullam berharap paduan suara itu akan membantu orang-orang muda ini menyuarakan isi hati mereka. Dia mulai merekrut penyanyi dari berbagai sekolah di Portland lebih dari enam tahun lalu. Ia mengatakan musik baginya telah menjadi obat penyembuh mujarab, jadi mengundang sebanyak-banyaknya warga komunitas pengungsi merupakan ide yang baik.

Biasanya, kelompok paduan suara itu beranggotakan 30 orang dari 14 negara, dari Irak hingga Kamboja. Fullam mengatakan paduan suara itu berubah menjadi paduan suara anak perempuan karena anak laki-laki tidak lagi datang berlatih.

Sementara nama paduan suara itu Pihcintu berarti “ketika dia bernyanyi, suaranya terdengar sampai jauh”. Pihcintu adalah istilah dalam bahasa Passamaquoddy, yaitu bahasa yang digunakan suku asli (Indian) Amerika di Maine.

Film dokumenter mengenai paduan suara itu dijadwalkan akan dirilis tahun depan. Hasil keuntungan dari paduan suara itu akan diberikan kepada lembaga-lembaga amal di negara asal anak-anak perempuan anggota paduan suara 'Pihcinto Multicultural' itu.