Tokoh pemuda suku Moskona di Bintuni, Papua Barat, Piter Masakoda sudah sekitar lima tahun menyaksikan sendiri bagaimana sawit menciptakan konflik di tanah kelahirannya.
“Perusahaan sawit, itu kan izinnya dari pusat, turun ke sini. Masyarakat pribumi, mungkin lewat satu dua orang, sudah izinkan masuk. Akhirnya di sini kelapa sawit mengancam wilayah adat. Menghilangkan banyak hak-hak masyarakat adat atas tanah mereka, hutan yang ada di sini,” paparnya.
Bagi suku Moskona, konflik dengan pemodal yang datang sudah menjadi perjuangan panjang. Hutan adat suku ini, kata Piter, dulu habis dibabat oleh perusahaan kayu yang menebang habis pohon merbau milik mereka. Hutan, tempat masyarakat adat mencari makan, kemudian habis dan ditinggalkan begitu saja. Perusahaan sawit kemudian datang sejak sekitar lima tahun yang lalu, dan konflik pun berlanjut.
“Kayu diambil habis. Jadi kalau masyarakat butuh untuk bangun rumah, tidak bisa, karena sudah habis,” ujarnya.
Sebagian masyarakat kemudian bekerja di perusahaan sawit. Namun, itu pun tidak menyelesaikan persoalan. Kata Piter, konflik kecil-kecil, misalnya terkait pembayaran, masih sering terjadi.
Perlawanan di Boven Digul
Bukan hanya suku Moskona di Bintuni, masyarakat adat Awyu di Kabupaten Boven Digoel, Papua pun saat ini sedang berjuang menolak perkebunan sawit. LBH Papua sebagai pembela hukum warga menyebut surat Kelayakan Lingkungan Hidup untuk membuka perkebunan sawit yang dikeluarkan pemerintah ternyata bermasalah. Padahal, izin tersebut dikeluarkan untuk lahan seluas 36.094,4 hektare.
Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay, menegaskan masyarakat bertekad tidak akan melepas hak.
“Klien kami sendiri memang punya sikap, tidak mau melepaskan tanah untuk kepentingan anak cucu karena tanah adat,” tegas Gobay.
Gobay juga menekankan, wilayah yang masuk dalam izinjelas berada di atas tanah adat. Agar izin atau SK Kelayakan Lingkungan dapat keluar, harus didahului konsultasi publik, sesuai undang-undang yang berlaku.
“Namun klien kami belum pernah mengikuti. Kampung klien kami, tidak pernah didatangi untuk konsultasi publik,”tegas Gobay.
Karena itu lah, masyarakat adat Awyu mempertanyakan bagaimana mungkin pemerintah mengeluarkan izin untuk perusahaan sawit tanpa proses yang benar. Apalagi, dalam UU 2/2021 tentang Otonomi Khusus Papua Pasal 43 Ayat 3, jelas diatur bahwa ada kewajiban bagi pemerintah memfasilitasi pertemuan antara perusahaan dan masyarakat.
“Jadi, ini menunjukkan fakta bahwa izin dikeluarkan oleh pemerintah secara sepihak, tanpa sepengetahuan masyarakat. Juga tanpa mengikuti mekanisme, yang ada dalam UU Otsus tadi,” kata Gobay.
Ada sejumlah pertimbangan mengapa masyarakat adat menolak sawit di kawasan tersebut. Pertama, perkebunan sawit akan merusak hutan tempat mereka mencari bahan makanan, termasuk sungai-sungai sumber air di dalamnya. Kedua, justru masyarakat adat memahami peran hutan dalam kehidupan, seperti paru-paru dunia, menjaga dan mempertahankan kesuburan tanah, tempat tinggal, sumber keragaman hayati, dan mencegah terjadinya bencana alam.
BACA JUGA: Perusahaan-perusahaan Internasional Berhenti Beli Sawit Indonesia“Atas dasar itu, apabila pada praktiknya masyarakat berjuang melindungi hutan, maka mereka sedang berjuang menyelamatkan segala macam manfaat hutan,” tambah Gobay.
Gobay mengingatkan membuka perkebunan sawit dengan merusak hutan akan menghilangkan peran hutan adat dalam menekan efek gas rumah kaca. Pada gilirannya, keputusan semacam itu juga tidak sejalan dengan semangat Indonesia melawan perubahan iklim. Padahal, Indonesia sudah berkomitmen untuk itu.
Hampir 20 Ribu Hektare
Pantauan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat di Papua terkait perubahan tutupan hutan telah menemukan praktik deforestasi dan penggundulan hutan yang diduga untuk usaha perkebunan kelapa sawit. Pada Januari hingga Februari 2023 saja, praktik ini terjadi di Kabupaten Sorong dan Kabupaten Teluk Bintuni dengan total hutan yang hilang sekitar 413 hektare.
“Berdasarkan catatan akhir tahun Yayasan Pusaka Bentala Rakyat 2023, terpantau deforestasi di Papua pada 2022 seluas 19.426 hektare, seluruhnya berasal dari aktivitas bisnis pembalakan kayu dan perkebunan kelapa sawit,” kata direktur yayasan ini, Franky Samperante dalam pernyataan resmi.
Franky juga mengatakan deforestasi di Papua berpotensi bertambah luas seiring adanya rencana pemberian izin baru, perluasan areal usaha perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri, penegakan hukum yang lemah dan kebijakan pengembangan daerah otonomi baru.
Pemerintah: Peran Sawit Positif
Namun, suara pemerintah justru berlawanan dengan pendapat masyarakat adat di Papua. Ketika melantik pengurus baru Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) di Jakarta, Rabu (12/4), Wakil Presiden Ma’ruf Amin justru menyebut sawit berkontribusi positif.
“Kontribusi kebun sawit nasional, ternyata cukup besar dalam pengendalian perubahan iklim,” tegasnya.
Amin juga mengatakan, berdasarkan perhitungan tutupan kebun sawit nasional seluas 16,38 juta hektare, berkontribusi pada penyerapan 2,2 miliar ton CO2 setiap tahun.
“Selain itu, program biodiesel B30 untuk mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil telah mengurangi emisi gas rumah kaca sekitar 29,5 juta ton setara CO2, di tahun 2022,” tambahnya.
Karena meyakini peran positif sawit dalam perubahan iklim itu, Wapres bahkan meminta Gapki menjadi ujung tombak dalam menghadapi tantangan global, khususnya kampanye negatif kelapa sawit Indonesia. Wapres mengingatkan, sejak menjadi produsen utama sawit pada 2006, tantangan Indonesia memang terus berkembang.
“Produksi CPO Indonesia yang sangat besar, telah memunculkan kampanye negatif yang menuduh kelapa sawit sebagai penyebab terjadinya perubahan iklim,” kata dia.
Sawit dinilai berperan karena dianggap merusak lingkungan, merusak hutan, menyerap air, menyebabkan pemanasan global, dan merusak lahan gambut. Karena itu lah, Wapres minta semua pihak berperan dalam menangkal kampanye negatif itu. Indonesia, kata dia, harus dapat mengomunikasikan informasi dan kebijakan secara efektif, dan membuktikan bahwa pengembangan industri sawit nasional, memperhatikan prinsip keberlanjutan dan ramah lingkungan.
Sektor sawit bahkan diminta turut berperan dalam menurunkan emisi Indonesia sesuai target yang sudah disepakati. Untuk menekan kampanye buruk itu, pemerintah telah menetapkan Peraturan Presiden 44/2020 tentang sistem sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan Indonesia. Wapres menyebut ini merupakan salah satu instrumen kebijakan dalam mendorong praktik keberlanjutan di industri kelapa sawit.
BACA JUGA: Transaksi Politisi dan Penjahat Lingkungan akan Meningkat Jelang PemiluBisnis Sawit Cerah
Indonesia sendiri tidak mungkin mengerem ekspansi sawit karena meyakini komoditas ini akan berperan besar dalam ekonomi ke depan. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo misalnya, mengatakan sawit tetap akan ada hari ini, esok dan masa depan, dan menjadi kekuatan bangsa.
“Pertumbuhan ekspor perkebunan di pertanian itu, dari 15 persen di 2020 sekarang naik 38 persen. Nilainya Rp648 triliun kurang lebih. Tentu saja, ini sebagian besar karena sawit,” tegasnya.
Kementeriannya bersama GAPKI, bahkan akan merancang pertumbuhan sektor perkebunan, khususnya sawit, hingga mampu menembus nilai bisnis Rp1.000 triliun.
Sementara Ketua Umum GAPKI Eddy Martono memastikan pihaknya bersama pemerintah berkerja sama penuh.
“Kita bersama-sama pemerintah untuk melawan kampanye negatif, termasuk bersama Kementerian Luar Negeri, duta besar negara sahabat, utamanya pasar kita,” kata Eddy.
Your browser doesn’t support HTML5
Eddy mengakui ada pengurangan penyerapan sawit Indonesia, tetapi ia meyakini ke depan akan kembali naik. Saat ini, sudah 50 persen anggota GAPKI yang mengimplementasikan sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan. Tahun depan, ditargetkan seluruh anggota organisasi ini akan tunduk untuk mempraktikkan budidaya sawit berkelanjutan yang ramah lingkungan. [ns/ab]