Putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Pemilu dan Peraturan Mahkamah Agung. Peneliti senior di Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Lili Romli tegas mengatakan penghentian tahapan pemilu yang berdampak penundaan pemungutan suara tidak bisa dibenarkan.
“Di Konstutusi, di pasal 22 E dinyatakan bahwa pemilu itu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Di UU Pemilu, di pasal 167 dikatakan bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Jadi sudah jelas sekali,” kata Lili dalam diskusi yang diselenggarakan BRIN, Selasa (7/3).
“Kata-kata penundaan juga tidak ada di UU Pemilu. Di bab 16 dijelaskan tentang Pemilu Lanjutan dan Pemilu Susulan. Jadi istilah penundaan itu tidak ada, dan memang tidak diatur tentang penundaan,” tambahnya lagi.
Menurut undang-undang, penyelenggaran Pemilu Lanjutan atau Pemilu Susulan memang dimungkinkan. Namun, itu hanya untuk sebagian kecil wilayah, dan karena alasan yang sangat beralasan seperti gangguan keamanan atau bencana alam.
Lili justru khawatir langkah Partai Prima ini memiliki benang merah dengan sejumlah pernyataan politisi seperti Ketua MPR Bambang Susatyo, Wakil Ketua DPD La Nyalla Mattalitti dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muhamad Mardiono. Mereka pernah getol menyuarakan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Sementara Jokowi sendiri dalam berbagai kesempatan, baik langsung maupun melalui pembantu terdekatnya, menolak wacana ini.
“Putusan hakim PN Jakarta Pusat itu bukan berada di dalam ruang yang hampa, ruang yang kosong. Nyambung gitu loh,” ujar Lili.
BACA JUGA: Akademisi Hingga Wapres Soroti Putusan PN Jakarta Pusat untuk Tunda PemiluYang dia sebut menyambung adalah karena setelah pernyataan-pernyataan para politisi itu, kini hakim memutuskan sesuatu yang senada.
“Meskipun sekarang belum inkrah, ini seperti ada by design, sengaja. Karena kalau kita mengacu pada UU kan sudah jelas,” tambahnya.
Putusan Pengadilan
Sebelumnya, pada sidang yang diselenggarakan pada Kamis (2/3), hakim PN Jakarta Pusat telah mengeluarkan putusan atas gugatan berkas perkara 757/Pdt.G/2022 yang dilayangkan Partai Prima. Secara rinci disebutkan, dalam pokok perkara, pertama hakim menerima gugatan penggugat untuk seluruhnya. Kedua, menyatakan penggugat adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh tergugat, yang dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Ketiga, menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Keempat, menghukum tergugat membayar ganti rugi materiil sebesar Rp500 juta kepada penggugat. Kelima, menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang dua tahun, empat bulan dan tujuh hari.
Keenam, menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta (uitvoerbaar bij voorraad). Ketujuh, menetapkan biaya perkara dibebankan kepada tergugat sebesar Rp410.000.
Amar putusan kelima itulah, yang menyebabkan pemilu terancam ditunda, karena KPU harus mengulangi seluruh proses tahapan pemilu. Padahal, saat ini tahapan-tahapan terus berjalan dan pemilu akan siap dilaksanakan pada Februari 2024 nanti.
Tak Mungkin Mengulang Tahapan
Kritik kencang juga disampaikan Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi( Perludem), Titi Anggraini.
Putusan PN Jakarta Pusat yang memerintahkan penghentian tahapan pemilu yang sudah berlangsung dan memulai tahapan baru, berdampak pada seluruh proses yang ada. Jika dihitung, sesuai dengan putusan hakim, maka pemungutan suara untuk memilih presiden dan wakil presiden, baru bisa dilaksanakan pada November 2024, atau mundur sembilan bulan dari jadwal semula.
“Kalau di bulan November 2024, maka kita akan melampaui yang sangat mendasar, adalah pelantikan, pengucapan sumpah janji presiden dan wakil presiden,” kata Titi.
BACA JUGA: Komisi Yudisial Akan Panggil Hakim Terkait Keputusan Penundaan PemiluSelanjutnya, Titi mengatakan, “Pasal 7 Undang-Undang Dasar kita, konstitusi kita, konvensi ketatanegaraan kita, setiap tanggal 20 Oktober dalam siklus lima tahunan, sudah harus dilakukan pengucapan sumpah atau janji calon presiden atau calon wakil presiden terpilih.”
Titi mengingatkan, perintah hakim terkait penghentian tahapan pemilu membawa konsekuensi besar. Salah satunya adalah soal masa jabatan presiden dan wakil presiden, serta anggota DPR. Jika seluruh proses mundur, ketentuan undang-undang yang mengatur semua itu tidak akan terpenuhi lagi.
Pemilu, sesuai konstitusi harus diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.
“Pasal 22 E ayat 1 konstitusi mensyaratkan pemilu dalam satu paket, periodic and genuine election,” ujarnya.
Sebuah pemilu yang reguler satu paket dengan pemilu yang memenuhi unsur langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Tidak boleh satu sisi menutupi sisi yang lain. Semangat untuk menghadirkan pemilu yang bersih tidak boleh mengorbankan waktu pelaksanaan yang diatur rinci oleh undang-undang.
“Saya selalu menyatakan, kita harus punya pemilu yang bersih dan juga tepat waktu. Pemilu yang tidak boleh curang, tapi juga harus tepat waktu,” tambah Titi.
Batal Demi Hukum
Peneliti di Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Universitas Islam Indonesia (UII) Yuniar Riza Hakiki dalam pernyataannya menyebut seharusnya putusan hakim PN Jakarta Pusat terkait kasus ini batal demi hukum.
“Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt Pst yang dibangun atas cacat logika hukum, yakni kekeliruan kompetensi pengadilan negeri dalam memeriksa perkara kepemiluan, dan menyebabkan kerugian yang berdampak secara luas bahkan inkonstitusional, maka hakikatnya putusan tersebut batal demi hukum atau never existed,” kata Yuniar.
Karena itulah, PSHK UII merekomendasi kepada KPU untuk tidak perlu melaksanakan putusan terkait penundaan tahapan pemilu dan mengupayakan banding. Komisi Yudisial diminta untuk memeriksa majelis hakim yang memutus perkara ini.
Rekomendasi ketiga, Badan Pengawasan Mahkamah Agung diminta mengawasi dan memperingatkan hakim-hakim di lingkungan MA agar taat kompetensi absolut dan relatif. Rekomendasi keempat diberikan kepada Presiden, agar mengawal pemilu sesuai amanat konstitusi, yaitu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Terakhir, PSHK UII mengajak masyarakat memantau dan mengawal pemilu agar tetap dilaksanakan pada 2024
Di kesempatan terpisah, dosen Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum UGM, Dr Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu, pun menilai putusan berupa penundaan Pemilu 2024 keliru.
“Dalam konteks pemilu, seharusnya gugatan yang terkait dengan pemilu harus diselesaikan dalam prosedur yang ditetapkan dalam penyelesaian pelanggaran, sengketa proses, sengketa hasil dan pidana pemilu. Tidak boleh masuk ke pengadilan umum atau peradilan lainnya,” kata dia, Selasa (7/3).
Andi juga mengatakan, “Putusan ini berpotensi melanggar konstitusi sebab dalam Pasal 22E UUD 1945 dinyatakan secara tegas bahwa pemilu harus dilakukan lima tahun sekali.”
Penundaan Pemilu Ditolak
Dalam berbagai survei yang dilakukan setidaknya setahun terakhir, mayoritas responden selalu menolak ide penundaan pemilu.
Survei lembaga Indikator misalnya menunjukkan 67,2 persen responden meminta pemilu tetap diadakan pada 2024. Sementara Litbang Kompas mencatat 62,3 persen responden ingin pemilu pada 2024. Survei yang dilakukan LSI mendata 64,1 persen rakyat bersuara sama.
Your browser doesn’t support HTML5
Begitupun lembaga Y-Publica yang bahkan mengklaim 81,5 persen masyarakat ingin Pemilu 2024 berjalan sesuai jadwal. Rilis lembaga Indonesia Political Opinion (IPO) menyebut, angka penolakan publik terhadap wacana penundaan Pemilu mencapai 77 persen. Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) mengungkap ide penundaan Pemilu 2024 ditolak oleh 78,9 persen.
Sedangkan lembaga Algoritma yang mempublikasikan survei pada Januari 2023 mengatakan, 76,9 persen responden mereka tidak suka rencana penundaan pemilu, dan 65,8 persen tidak suka perpanjangan masa jabatan presiden. [ns/ab]