Yevgeny Prigozhin, kepala kelompok paramiliter Wagner yang didukung oleh pemerintah Rusia, dilaporkan telah menawarkan persenjataan kepada salah satu pihak yang berperang di Sudan, demikian menurut sejumlah media.
Sejak perang itu dimulai bulan April, beredar laporan yang belum terkonfirmasi dan pernyataan sejumlah sumber diplomatik kepada beberapa kantor berita yang menyatakan bahwa para petempur Wagner mendukung kelompok paramiliter Sudan yang dikenal dengan sebutan Rapid Support Forces (RSF), alias Pasukan Dukungan Cepat, dan memasok persenjataan kepada kelompok tersebut.
Cameron Hudson, mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS dan rekan senior di Center for Strategic and International Studies (CSIS), mengatakan kepada VOA bahwa Grup Wagner memasok sistem pertahanan udara portabel, roket dengan peluncur bahu, penghancur tank dan kendaraan lapis baja berat.
RSF membantah telah menerima bantuan senjata dari Rusia.
Meski demikian, seiring mengemukanya berita bahwa Grup Wagner memihak salah satu kubu, para pakar memperingatkan bahwa keterlibatan pihak luar hanya akan memperburuk konflik, mengingat buruknya rekam jejak Wagner dan catatan kekejamannya di Afrika.
Your browser doesn’t support HTML5
Dalam sebuah pengakuan yang langka terkait keterlibatan kelompok itu di Sudan, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan pada hari Selasa (25/4) bahwa keputusan untuk melibatkan Grup Wagner sepenuhnya ada di tangan para pemimpin di Afrika.
“Republik Afrika Tengah dan Mali dan Sudan, sejumlah negara lainnya, yang pemerintahan sahnya memilih menggunakan jasa [Grup Wagner] semacam ini, punya hak untuk melakukannya,” kata Lavrov pada sebuah konferensi pers di PBB.
Para pejabat tinggi AS terus mengutarakan keprihatinan mereka akan keterlibatan Grup Wagner di Sudan, yang terlibat dalam ekstraksi mineral.
Juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih John Kirby mengatakan bahwa keterlibatan kelompok itu berpotensi memicu konflik lebih jauh.
“Jelas kami tidak ingin melihat konflik ini semakin meluas atau melebar, dan tentu kami tidak mau melihat semakin banyak kekuatan bersenjata dilibatkan; hal itu hanya akan melanjutkan aksi kekerasan dan meningkatkan ketegangan,” ujarnya.
BACA JUGA: Perang Rusia di Ukraina Ungkap Risiko yang Disebabkan oleh Kelompok Militer SwastaPertempuran demi meraih kekuasaan itu diperebutkan oleh dua jenderal, Jenderal Abdel Fattah Burhan, kepala pasukan bersenjata, dan Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo, atau Hemedti, pemimpin kelompok paramiliter yang dikenal dengan sebutan RSF.
Hemedti mengunjungi Rusia tak lama setelah Moskow menginvasi Ukraina dan telah mencoba meraih dukungan Grup Wagner.
“Melalui kunjungan ini, kami harap dapat memajukan hubungan antara Sudan dan Rusia untuk memperluas kesempatan, dan memperkuat kerja sama yang ada di antara kami di berbagai bidang,” kata Dagalo dalam sebuah unggahan Twitter ketika mengunjungi Moskow.
Jacqueline Burns adalah pengamat kebijakan senior di RAND Corporation, kelompok riset kebijakan global. Ia mengatakan, dengan mendukung Hemedti, Rusia berusaha melindungi kepentingannya.
“Rusia dan Grup Wagner, mereka diuntungkan oleh konsesi tambang emas di Sudan dan penyelundupan emas ke luar negeri,” katanya kepada VOA. “Grup Wagner memihak sisi yang mereka rasa kemungkinan besar akan mampu terus melindungi kepentingan-kepentingan ini, khususnya menentang pemerintahan yang dipimpin warga sipil.”
Sejarah Grup Wagner di Sudan sendiri sudah dimulai sejak pemerintahan sebelumnya di bawah kepemimpinan Omar al-Bashir. Prigozhin memiliki hubungan dekat dengan sang pemimpin otoriter, yang memberi akses perusahaan-perusahaan yang berafiliasi dengan Wagner ke industri tambang emas.
BACA JUGA: Para Mantan Pejabat Sudan yang Ditahan, Termasuk Omar al-Bashir, Tinggalkan PenjaraSetelah tentara menggulingkan al-Bashir pada 2019 di tengah pemberontakan rakyat, Wagner terus menjalin hubungan dekat dengan militer Sudan, khususnya kelompok paramiliter RSF yang dipimpin Hemedti. Kelompok itu mereplika pola hubungan tersebut di negara-negara Afrika lainnya.
“Grup Wagner tampak berhubungan dengan negara-negara Afrika dalam suatu pola yang cukup bisa ditebak,” kata Ben Dalton, manajer program di New America’s Future Frontlines, sebuah kelompok riset yang berbasis di Washington.
“Biasanya hubungan itu dimulai dengan memelihara sejumlah elit, atau setidaknya sekelompok elit, kemudian itu dilanjutkan dengan sebuah kesepakatan teknis militer resmi antar negara. Hal ini bisa berupa Rusia akan memasok persenjataan dengan imbalan konsesi yang mengizinkan mereka melakukan kegiatan tambang atau ekstraksi sumber daya lainnya.” [rd/jm]