Berdasarkan studi Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) tahun 2020 tentang Perilaku Morokok pada Masa Pandemi COVID-19, setengah dari jumlah orang yang menjadi responden, atau 50,2 persen, mengaku tetap merokok dan 15,2 persen mengaku merokok lebih banyak.
Studi itu melibatkan 621 responden dari 25 provinsi di Indonesia.
Ketua Bidang Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat Komnas PT, Rita Damayanti mengungkapkan meskipun pendapatan rumah tangga cenderung menurun dalam masa pandemi COVID-19, intensitas belanja rokok tetap tinggi. Ia mengatakan, ini disebabkan oleh mudahnya akses dan besarnya variasi pilihan rokok yang dijual di pasaran. Sekitar seperempat perokok juga beralih ke produk rokok yang lebih murah selama pandemi, katanya.
“Kenapa mereka terus merokok? Ya ini ketika COVID ekonomi terkena sehingga stres, banyak keluarga yang stres, itu harus diakui karena penghasilannya dikurangi atau berhenti, diberhentikan. Sehingga rokok menjadi jalan keluar melepas stres tapi ini bukan penyelesaian masalah,” jelas Rita Damayanti dalam webinar kesehatan bertema Rokok dan Pandemi COVID-19, Kamis (24/3).
Menurut Rita, untuk mengurangi prevalensi merokok di Indonesia pihaknya merekomendasikan pembatasan akses terhadap rokok dengan pendekatan fiskal dan non-fiskal. Pendekatan fiskal berupa kenaikan cukai untuk mendorong kenaikan harga rokok dan simplifikasi golongan cukai untuk mengurangi variasi harga rokok yang dijual di pasaran, sehingga mengurangi kemungkinan perokok beralih ke jenis rokok yang harganya lebih murah.
“Titiknya kalau penelitian itu kan 50 ribu baru orang berpikir untuk beli rokok, nah ini belum sampai. Ini bagaimana caranya supaya paling tidak rokok itu mahal. Rokok ini sekarang belum mahal, belum lagi ada pilihan rokok yang lebih murah, belum lagi ada keteng mengeteng,”jelas Rita.
BACA JUGA: Anak dan Rokok, Pekerjaan Rumah yang Tak Pernah SelesaiPendekatan non-fiskal dilakukan dengan pembatasan iklan rokok, perluasan kawasan tanpa rokok, pelarangan penjualan rokok ketengan (eceran per batang), edukasi komprehensif terhadap bahaya merokok, serta perbaikan dan perluasan layanan unit berhenti merokok pada fasilitas kesehatan pertama.
Risiko Tinggi COVID-19
Dokter Feni Fitriani Taufik dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia mengingatkan orang yang merokok memiliki risiko terkena COVID-19 sebanyak 2,25 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Perokok dengan penyakit penyerta seperti jantung, hipertensi, diabetes berisiko mengalami gejala COVID berat dan menghadapi risiko kematian.
“Dari seribu pasien yang dirawat, 12,4 persen adalah perokok dan akhirnya perjalanannya kalau tidak meninggal dunia, masuk ke ICU dan menggunakan ventilasi mekanis,” kata Feni Fitriani mengutip laporan Organisasi Kesehatan Dunia WHO.
Menurut Fitriani merokok meningkatkan regulasi reseptor angiotensin converting enzyme-2 (ACE 2). ACE 2 adalah protein yang ada di permukaan paru, saluran nafas, jantung, ginjal dan saluran cerna.
“Pada infeksi COVID itu jadi tempat menempelnya virus sebelum masuk ke dalam tubuh. Ternyata kebiasaan merokok itu meningkatkan jumlah reseptor ACE 2 tersebut,”jelas Fitriani. Menurutnya, perokok dapat melindungi diri dari bahay COVID-19 dengan segera berhenti merokok.
Layanan Berhenti Merokok
Pelaksana Tugas (PLT) Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan, Elvieda Sariwati, mengatakan pandemi COVID-19 menjadi waktu yang tepat untuk berhenti merokok. Pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 menargetkan penurunan persentase prevalensi merokok usia 10 hingga 18 tahun dari 9,1 persen pada tahun 2018 menjadi 8,7 persen pada tahun 2024.
BACA JUGA: Aktivitas Daring Naikkan Paparan Iklan Rokok ke Anak dan Remaja“Kementerian Kesehatan sudah melakukan beberapa upaya untuk mencapai target tersebut antara lain adalah dengan melakukan menyediakan layanan konsultasi untuk berhenti merokok secara nasional melalui telepon tidak berbayar atau bebas pulsa di 0800 177 6565,kemudian mengembangkan layanan berhenti merokok di fasilitas tingkat kesehatan tingkat pertama, di puskesmas maupun fasyankes (fasilitas pelayanan kesehatan) primer lainnya,” jelas Elvide Sariwati.
Kementerian Kesehatan RI menyebutkan tembakau membunuh lebih dari 8 juta orang di seluruh dunia tiap tahunnya. Lebih dari 7 juta kematian ini diakibatkan oleh penggunaan langsung tembakau dan sekitar 1,2 juta diakibatkan paparan asap rokok orang lain.
Berdasarkan laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) tahun 2019, Asean Region, Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok terbanyak di Asean, yakni 65,19 juta orang. Epidemi konsumsi produk tembakau terutama rokok menjadi masalah kesehatan yang sangat memprihatinkan.
Merokok tidak hanya berdampak buruk pada orang yang merokok, tetapi pada mereka yang terpapat asap rokok. Kebiasaan mereka juga menularkan gaya hidup tidak sehat kepada mayarakat rentan seperti anak-anak dan mereka yang kurang berpendidikan. Merokok diketahui menjadi faktor risiko berbagai infeksi saluran pernapasan dan meningkatkan tingkat keparahan penyakit saluran pernapasan. [yl/ab]