Tiga belas pakar dari berbagai bidang ilmu di Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jawa Tengah, merekomendasikan pemerintah untuk segera membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Tanah Air. PLTN dipilih karena nuklir dikategorikan sebagai sumber energi terbersih dari yang paling bersih. Rekomendasi itu diberikan menyusul penghelatan KTT Iklim atau COP26 di Glasgow, Skotlandia, yang menegaskan komitmen dunia akan penggunaan energi bersih.
Riyatun, salah satu pakar itu, memastikan kajian terkait pembangunan PLTN telah dibaca dan dikaji ulang oleh banyak pakar di berbagai perguruan tinggi, dan juga peneliti. Ia memaparkan kajian itu dalam diskusi dan diseminasi yang diselenggarakan Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Universitas Gadjah Mada (UGM) dan ThorCon Power, Rabu (10/11), di Yogyakarta.
“Kami dengan tegas mengatakan bahwa nuklir ini sebagai solusi energi ramah lingkungan berkelanjutan, untuk mengejar Indonesia sejahtera dan rendah karbon pada tahun 2050. Kami tidak takut untuk di-bully, karena kajian yang kami lakukan itu memang kajian akademik,” kata Riyatun.
Diklaim Sumber Energi Bersih
Menurut Riyatun, ada dua aspek yang digunakan dalam penyediaan energi saat ini. Aspek itu adalah pertimbangan terkait dengan biaya, keberlanjutan dan skala penyediaan yang besar. Sedangkan aspek lainnya dampak minimal bagi lingkungan dan ekosistem terkait sumber energi yang dipilih.
Dari sisi penurunan emisi karbon, menurut penelitian, hanya pembangkit listrik bertenaga air dan nuklir yang menghasilkan penurunan emisi secara signifikan untuk setiap penambangan kapasitas terpasang. Batu bara, gas, bahkan sinar matahari dan angin, tidak termasuk dalam sumber energi listrik yang memenuhi kriteria ini.
“Kami berharap bahwa potensi dari energi nuklir yang ternyata luar biasa ini, dilirik pemerhati untuk disejajarkan dengan sumber energi baru terbarukan lainnya. Di Indonesia, energi nuklir ini merupakan energi baru, di luar negeri bukan energi baru lagi,” tambahnya.
Di samping itu, ada enam hal yang harus dikaji terkait energi hijau atau ramah lingkungan. Pertama, kata Riyatun, harus bebas emisi dengan tidak menghasilkan kardon dioksida (CO2) dan metana (CH4). Kedua, jejaknya di lingkungan yang harus seminimal mungkin dalam merusak lansekap alam. Faktor ekosistem menjadi faktor ketiga, diikuti dengan limbah, jaminan ketersediaan sumber daya dan kemampuannya diterapkan tanpa membutuhkan subsidi.
BACA JUGA: DPR akan Dorong Pemanfaatan Teknologi Nuklir untuk Pembangkitan ListrikPara pakar ini menyebut, bahkan sumber energi bersih yang sudah populer, tidak mampu memenuhi enam unsur itu. Angin misalnya, akan mengalami penurunan potensi di musim dingin, sebagaimana terjadi di negara-negara Eropa. Selain itu turbinnya juga sering menjadi ancaman bagi burung. Pembangkit listrik tenaga surya membutuhkan kawasan luas untuk mencapai kapasitas yang diinginkan. Dalam beberapa kasus, burung banyak ditemukan mati menabrak panel ini karena dari udara jajaran panel itu dianggap seperti permukaan air.
Karena itulah, kajian ini merekomendasikan nuklir sebagai sumber energi. Lokasinya juga tidak tergantung pada sumber daya yang ada karena bisa dibangun di mana saja. Indonesia juga sudah memiliki reaktor kecil, misalnya Reaktor Kartini di Yogyakarta.
“Keunggulan Indonesia, reaktornya dipelihara. Negara lain belajar ke Indonesia untuk mengoperasikannya. Tetapi kita malah belum berani membuka PLTN yang sebenarnya,” tambah Riyatun.
Anggota tim kajian yang lain, Irwan Trinugroho, mengatakan kajian ini sudah dilakukan sejak Maret 2021 dan draft finalnya selesai pada Agustus.
Irwan juga menegaskan, dalam skala global tren batu bara sudah akan berakhir. Kebijakan Amerika Serikat misalnya, sejak terpilihnya Joe Biden, telah kembali mengarah ke perubahan iklim.
“Sekarang susah bagi perusahaan pertambangan yang masih mengandalkan fossil fuel, batu bara terutama, untuk mendapatkan pendanaan dari perbankan internasional. Ini jadi perhatian banyak pihak. Empat tahun ke depan isu perubahan iklim akan menjadi kajian lagi,” kata Irwan.
Memiliki Momentum Tepat
Kepala PSLH UGM, Pramono Hadi, menyebut diskusi terkait PLTN ini memiliki momen yang pas karena pertemuan COP26 baru saja digelar. Dunia telah berkomitmen untuk mengerem pemanasan global, salah satunya melalui penerapan ekonomi hijau.
“Bagaimana transformasi antara energi PLTU yang selama ini berbasis pada batu bara untuk dikonversi menjadi energi yang lebih ramah lingkungan,” kata Pramono.
Dalam konteks lingkungan, kata dia, kajian ini akan membantu kesiapan Indonesia ke depan. Pramono juga menilai, selama ini pemerintah terkesan ragu-ragu. Padahal jika memang penggunaan bahan bakar berbasis fosil dihentikan, harus ada solusi yang menyertainya.
“Memang tenaga bayu, surya, itu sekarang sudah diupayakan. Tetapi nampaknya tidak akan cukup untuk mengejar kebutuhan energi di Indonesia,” papar Pramono.
BACA JUGA: Energi Nasional di Persimpangan Jalan: Nuklir vs EBTPramono mengingatkan, ke depan Indonesia akan memerlukan energi dalam jumlah luar biasa ketika memasuki era negara industri. Undang-Undang yang saat ini mengatur sektor ini, dia nilai masih sangat kaku. Akademisi harus turun tangan berkolaborasi dengan DPR agar perbaikan bisa dilakukan lebih cepat.
“Pemerintah tentu harus dibantu, agar inisiasinya bukan datang dari akademisi semata, tetapi dari semua stakeholder yang mempunyai kepentingan,” tandasnya.
Sektor Swasta Mendukung
Bob Sulaiman Efendi Chief Operating Officer ThorCon Power dalam diskusi ini menyebut kajian tersebut telah membuktikan keamanan nuklir untuk PLTN.
“Perlu dipertimbangkan pembangunan PLTN pertama di Indonesia dengan regulasi yang menjamin kepastian bagi investor maupun pemerintah sendiri,” ujarnya.
Dia juga menilai ada sejumlah fakta yang mengemuka dari kajian ini. Di antaranya adalah bahwa nuklir merupakan teknologi pembangkit yang paling aman dengan tingkat kematian terendah.
“Nuklir juga energi rendah karbon yang telah terbukti menjadi solusi saat ini atau masa depan terhadap perubahan iklim, karena memberikan kontribusi terhadap bauran energi nomor dua terbesar di dunia setelah hydro. Dan telah menghilangkan energi gas rumah kaca lebih dari 70 giga ton selama lebih dari 50 tahun,” paparnya lagi.
Your browser doesn’t support HTML5
Sulaiman juga menyebut, hanya nuklir yang dapat menggantikan bahan bakar fosil, khususnya batu bara, dengan kemampuan dan keekonomian yang sama.
PLTN Pertama pada 2045
Indonesia sendiri telah memiliki rencana membangun PLTN, setidaknya pada 2045. Rencana itu masuk dalam peta jalan (road map) menuju nol emisi, yang disinggung Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam sebuah diskusi pada Oktober.
"Transformasi menuju net zero emissions menjadi komitmen bersama kita paling lambat 2060,” kata Arifin.
Ada lima prinsip ditetapkan untuk mencapai target nol emisi, yaitu peningkatan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), pengurangan energi fosil, kendaraan listrik di sektor transportasi, peningkatan pemanfaatan listrik pada rumah tangga dan industri, dan pemanfaatan Carbon Capture and Storage (CCS).
“Kita juga mempertimbangkan penggunaan energi nuklir yang direncanakan dimulai tahun 2045 dengan kapasitas 35 Giga Watts sampai dengan 2060,” papar Arifin dalam pernyataan resmi kementerian.
Kementerian ESDM juga menyebut, pada akhir Mei 2021, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (P3GL) Badan Litbang ESDM telah menyelesaikan survei pendahuluan geologi kelautan pada calon tapak PLTN di pesisir pantai Provinsi Kalimantan Barat
Survei geologi kelautan pada studi tapak di Kalimantan Barat ini merupakan bagian dari fase pertama pra-proyek pembangunan PLTN.
Indonesia sendiri sudah merencanakan pembangunan PLTN di Muria, Jawa Tengah, sejak 1986. Rencana itu tidak terwujud dengan mudah karena terjadi penolakan dari masyarakat. Sepuluh tahun kemudian, studi baru dilakukan kembali, tetapi terganjal krisis ekonomi pada 1997.
Pemerintah pun kembali menunda proses pembangunan, dan wacana kembali mengemuka pada 2008. Demo penentangan kembali dilakukan selama bertahun-tahun, hingga Muria gagal menjadi lokasi pembangunan PLTN. Pemerintah mengalihkan rencananya ke Bangka atau Kalimantan Barat, sebagai lokasi baru. [ns/ah]