Pakar: Trump Menang Bukan Karena Amerika Tak Siap Punya Presiden Perempuan

Calon presiden dari Partai Demokrat, Wakil Presiden Amerika Serikat Kamala Harris menyampaikan pidato dan mengakui kekalahan dalam Pemilu Amerika 2024 atas Presiden terpilih Donald Trump, di Howard University, Washington, D.C., 6 November 2024. (Kevin Lamarque/REUTERS)

Untuk kedua kalinya perempuan gagal menjadi orang nomor satu di Amerika. Namun beberapa pakar mengatakan kemenangan telak Trump dalam Pemilu Amerika Serikat 2024 bukan karena warga tak siap punya presiden perempuan, tetapi karena berkelindannya kekhawatiran akan ekonomi dan isu global.

Mantan Presiden Donald Trump diproyeksikan kembali terpilih sebagai presiden ke-47 Amerika Serikat setelah memenangkan telak pemilu presiden 5 November lalu. Tidak saja meraih suara elektoral terbanyak, yaitu 312 setelah ia memenangkan negara bagian Arizona, tetapi juga suara terbesar 50,3 persen. Hal ini menjadikan Trump sebagai pemimpin kedua Amerika Serikat yang meraih kembali kekuasaannya secara tidak berturut-turut setelah Grover Cleveland tahun 1890-an.

Setelah mengalahkan Hillary Clinton pada Pemilu Amerika 2016, Donald Trump kembali mengalahkan Kamala Harris, perempuan kedua yang dicalonkan Partai Demokrat sebagai capres mereka pada Pemilu Amerika 2024 ini.

Prof. Ani: Tidak Benar Warga Amerika Serikat Belum Siap Punya Presiden Perempuan

Prof. Ani Soetjipto, Guru Besar Ilmu Gender dan HAM dalam Hubungan Internasional di FISIP UI menolak asumsi bahwa kekalahan dua capres perempuan dalam pertarungan politik ini karena warga Amerika belum siap memiliki pemimpin perempuan, yang selama kampanye kerap mengedepankan isu-isu feminisme, tetapi lebih karena pemilih lebih mudah dirayu dengan isu besar yang disampaikan lewat jargon anti-demokratik yang usang.

Prof. Dr. Ani Soetjipto, Guru Besar Ilmu Gender dan HAM dalam Hubungan Internasional di FISIP UI. (Courtesy : Pribadi)

“Sudah menjadi fenomena global bahwa populisme memakai jargon-jargon anti-demokratik untuk memenangkan elektoral. Jadi isu-isu usang seperti rasisme, agama, politik identitas dll yang sudah ‘lewat,’ kini dipakai lagi untuk meraih dukungan publik. Ini hal yang paling gampang untuk meraih suara pemilih, dan Trump lebih suka menggunakan isu itu dibanding mengedukasi lewat kontestasi gagasan yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi; dan banyak pemilih tertarik,” sebutnya.

Prof. Ani Soetjipto lebih jauh menjelaskan saat hampir separuh pemilih – terutama kelompok milenial (kelahiran antara tahun 1980-1996) dan generasi Z (kelahiran antara tahun 1997-2012) – menilai bahwa isu-isu feminisme seperti hak reproduksi, keadilan ekonomi dan rasial, kesetaraan hukum dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan sudah selesai; meskipun bagi separuh pemilih lainnya, mereka masih harus berjuang keras untuk meraihnya.

“Bagi generasi milenial dan Z kelas menengah, soal-soal feminisme sudah selesai. Sudah banyak undang-undang yang profesif, lapangan pekerjaan dan pendidikan sudah sangat terbuka, ada kebebasan dalam hak reproduksi. Tapi bagi perempuan di lapisan terbawah, seperti kelompok perempuan kulit hitam, Hispanik, dan lainnya, akses untuk mendapat kesetaraan upah dan layanan kesehatan masih sulit,” jelas Prof. Ani.

BACA JUGA: Harris Tampil Bersama Biden, Pertama Kali Sejak Kalah Pemilu

“Isu gender saat ini tidak semata-mata berdiri sendiri, karena interseksi dengan kelas, ras, pendidikan, agama dan banyak lainnya. Lapisan diskriminasinya pun sangat banyak, dan ada hirarkinya pula. Bagi pemilih, mereka tidak hanya melihat gender capresnya,” tambahnya.

Prof. Janet: Pemilih Lebih Fokus pada Isu Ekonomi dan Imigrasi, Siapa Pun Presidennya

Berbicara pada Associated Press, pakar ilmu politik dan demokrasi di University of Colorado Boulder, Prof. Janet Donovan, mengatakan “bukti menunjukkan fakta bahwa pemilih kali ini lebih fokus pada isu ekonomi dan imigrasi – siapa pun presidennya.”

“Jadi pilpres kali ini merupakan jalan yang berat bagi Partai Demokrat, terlebih karena Presiden Joe Biden yang merupakan petahana, memiliki tingkat persetujuan atau dukungan yang rendah. Masyarakat menilai bahwa ekonomi saat ini tidak berjalan dengan baik. Jadi, ini akan selalu menjadi jalan yang sulit bagi Partai Demokrat. Dan ternyata publik lebih melihat ekonomi dan ketidaksenangan mereka terhadap kebijakan imigrasi dibandingkan isu-isu yang ingin dilihat oleh Demokrat," sebutnya.

BACA JUGA: Apa Faktor Kemenangan Donald Trump?

Merujuk pada sejumlah survei, Prof. Janet Donovan mengatakan ada pergeseran kuat ke kanan, terutama dalam isu ekonomi dan imigrasi.

“Dari beberapa exit poll dan survei data kemarin juga tampak adanya pemilih Partai Demokrat dalam jumlah yang signifikan, yang beralih mendukung usul Donald Trump untuk melakukan deportasi massal. Ini merupakan kebijakan imigrasi yang cukup jauh ke kanan. Sementara pada isu ekonomi, semakin banyak pemilih yang mendukung kebijakan proteksionisme, yang sebenarnya tidak bisa disebut sebagai isu kanan atau kiri, tetapi konsisten dengan apa yang dikampanyekan Donald Trump. Juga pada beberapa isu sosial, seperti hak-hak kelompok LGBTQ,” sebutnya.

Larry Sabato Tetap Yakin Faktor Gender Ikut Pengaruhi Pemilih

Larry Sabato

Namun Direktur Center for Politics di University of Virginia, Larry Sabato, mengakui bahwa lepas dari soal isu yang dikampanyekan, faktor gender memang ikut mempengaruhi keputusan pemilih.

“Siapa pun yang mengatakan bahwa tidak masalah Kamala adalah seorang perempuan, dan dia adalah ras campuran dan akan membuat sejarah dengan berbagai cara, telah membodohi diri mereka sendiri,” kata Larry.

Lebih dari 158 juta orang dari 245 juta warga yang berhak memilih, memberikan suara mereka. Ini berarti tingkat partisipasi pemilih mencapai 64,6 persen, sedikit lebih rendah dibanding pilres 2020 yang mencapai lebih dari 66 persen, tetapi tetap yang terbesar dalam sejarah. [em/jm]