Jajak pendapat menunjukkan pemilihan presiden Amerika Serikat berlangsung ketat, tetapi Donald Trump memperoleh dukungan luas dan dengan mudah mengalahkan Wakil Presiden Kamala Harris pada 5 November lalu.
“(Para pemilih) berasal dari berbagai kalangan: serikat pekerja, nonserikat pekerja, Afrika-Amerika, Hispanik-Amerika, Asia-Amerika, Arab-Amerika, Muslim-Amerika. Semuanya ada,” ujar Trump.
Trump, yang telah divonis bersalah atas 34 dakwaan pidana karena memalsukan catatan bisnisnya, menjadi calon presiden pertama dari Partai Republik yang memenangkan suara terbanyak, atau popular vote, dalam 20 tahun terakhir.
Samuel Abrams, dosen politik dan ilmu sosial di Sarah Lawrence College di New York, mengatakan, “Mengapa kandidat tertentu kebal dari skandal, tapi yang lainnya tidak? Saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Mengapa rekam jejak Donald Trump, misalnya, yang terkait perselingkuhan dan beberapa kasus kriminal, tidak melekat pada dirinya.”
Apa yang melekat adalah pesan berulang yang telah disampaikan Trump kepada para pemilih AS selama bertahun-tahun.
“…dan itu adalah, ‘Saya mendengar Anda’. Saya memahami perjuangan Anda. Saya mengerti bahwa segala sesuatunya tidak berjalan sebaik yang semestinya, dan saya ingin membantu Anda. Saya ingin membuatnya lebih mudah. [...] Pers dan media kerap membahas berbagai hal gila yang ia lontarkan. Namun, pada akhirnya, ini merupakan sebuah pesan lantang yang mengedepankan Amerika,” lanjut Abrams.
Sering kali, kampanye Trump menarget para pemilihnya melalui podcast (siniar) dan media sosial, yang menarik perhatian jutaan audiens.
“Mereka menarget para pemuda. Mereka menarget orang-orang yang belum memilih. Mereka menarget orang-orang yang terkena dampak inflasi selama beberapa tahun terakhir, dan itu membuahkan hasil,” jelas Thom Reilly, dosen di School of Public Affairs di Arizona State University.
Harris hanya memiliki sisa waktu sekitar 100 hari untuk berkampanye setelah Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengundurkan diri dari pilpres pada Juli lalu. Keterbatasan waktu itu mengurangi kansnya, tambah Reilly.
“Banyak kritik yang dilontarkan kepada Biden, bahwa ia seharusnya mundur, dan mundur lebih dini. Tetapi, jika ia mundur lebih awal—30, 60, atau 90 hari lebih awal—saat itu masih digelar pemilihan pendahuluan (untuk menentukan capres resmi yang diusung partai). Dan Harris mungkin tidak akan terpilih sebagai capres.”
Harris juga terganjal oleh kedekatannya dengan Biden yang tidak populer di mata warga Amerika Serikat.
Menurut Reilly, “Jelas bahwa publik Amerika menginginkan perubahan dan, bagi banyak orang, mereka melihat ini sebagai sebuah kelanjutan, yang baik atau buruk, dari pemerintahan Biden.”
Analis lain mengatakan Harris terlalu fokus pada hak-hak aborsi, tapi tidak pada isu ekonomi.
“Hanya kurang dari 1% pemilih Amerika yang berurusan dengan isu aborsi, baik secara langsung maupun tidak langsung. (Namun) semua pemilih berurusan dengan inflasi, harga BBM, biaya listrik di rumah, dan pendapatan yang menurun,” ungkap ahli strategi politik Partai Republik Jason Cabel Roe.
Sulit untuk bisa menghitung seberapa besar dampak identitas Harris sebagai perempuan kulit berwarna menghambat peluangnya menjadi presiden.
“Saya rasa, selama ini, (kalahnya Harris) tidak benar-benar berkaitan dengan ras dan etnisitas atau gender. [...] Dibandingkan Harris, pesan yang disampaikan Trump benar-benar lebih beresonansi bagi begitu banyak pemilih di seluruh Amerika Serikat,” pungkas Abrams.
Pesan itulah yang mengantar Trump menuju kemenangannya dalam pilpres Amerika Serikat pada tahun ini. [br/ns]
Forum