Livi Zheng, sutradara muda film Hollywood kelahiran Blitar Jawa Timur menyatakan, keberagaman etnis, adat dan budaya adalah contoh penerapan Pancasila yang merupakan kekuatan Indonesia. Karena itu ia akan terus mempromosikan Indonesia melalui film-film yang ia buat dan diedarkan ke seluruh dunia.
"Pancasila itu ideologi yang sangat bagus ya, saya selalu menerapkan dalam kehidupan keseharian saya dan juga di film-film saya. Karena Indonesia itu unik banget dan kaya banget ya. Saya rasa yang dimiliki Indonesia yaitu keberagaman itu tidak dimiliki oleh negara lain. Di Amerika saya sering sedih karena masih banyak orang belum tahu tentang Indonesia, kadang saya bertemu mereka yang tahu Bali tetapi mengira Indonesia berada di dalam negara Bali, misalnya seperti itu, kadang keliru dengan Malaysia," papar Livi.
Your browser doesn’t support HTML5
Livi Zheng telah memenangkan 26 medali untuk karate dan memproduksi sejumlah film di Hollywood maupun di Indonesia. Ia baru saja mendapatkan penghargaan dari Menteri Pemuda dan Olah Raga sebagai Duta Kemenpora dan Pemuda Hebat (Diaspora yang Mengguncang Dunia). Kecintaan pada budaya Indonesia mendorongnya untuk selalu memasukkan elemen budaya Indonesia kedalam film-filmnya.
"Saya selalu share (tentang Indonesia), baru-baru ini saya membuat film Amazing Blitar, disitu saya mengangkat keberagaman agama, kebegaraman grup etnis, dan juga keberagaman kebudayaan di Blitar. Film itu kami launching di Los Angeles bulan Mei 2018 lalu, kita mengadakan konser dan disitu kami juga bagi-bagi kopi dan snack Indonesia. Baru-baru ini saya juga membuat film (Beats Of Paradise) tentang Gamelan Bali," jelasnya.
Sementara itu, Marzuki Mohamad, musisi dan pendiri Jogja Hip Hop Foundation menyatakan ia lebih suka berkarya daripada sekedar membicarakan Pancasila. Di hadapan peserta Kongres Pancasila X ia menunjukkan sejumlah karya musik Hip Hop berbahasa Jawa yang ia mainkan di banyak negara serta video musik yang merefleksikan Pancasila.
"Kita pengin mengamplifikasi, kita tidak ngomong kebhinekaan di video itu, kita tidak ngomong Pancasila sama sekali di video itu bahwa kita sudah bersama berkarir di musik selama 20 tahun dan perbedaan agama, ras, suku sama sekali bukan masalah buat kita. Dan kita ingin mengajarkan kepada penggemar kita tentang nilai-nilai yang kita percaya. Ketika orang banyak bicara tentang intoleransi, pluralisme dan macam-macam ya kita hanya bisa ngasih contoh apa yang kita punya dan kita amplifikasi," jelasnya.
Obed Kresna Widya Pratisha, ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) UGM mengatakan generasi milenial kurang suka dengan jargon-jargon sehingga perlu contoh tindakan yang sesuai Pancasila. Selain itu, generasi milenial menghadapi tantangan globalisasi yang membawa pengaruh berupa nilai, agama maupun pengetahuan dari luar. Tantangan lainnya, menurut Obed, bagaimana mengangkat nilai-nilai lokal agar diminati generasi milenial.
"Kita semua ingin melihat praktek ber-Pancasila itu seperti apa. Ketika kita ber-Pencasila apa bedanya dengan tidak ber-Pancasila, dibuktikan bukan dengan slogan tetapi dengan aksi yang nyata. Misalnya soal kampus, kampus kita kampus Pancasila tetapi apakah kampus Pancasila itu mampu menghasilkan manusia-manusia yang merdeka, berkeadilan, ber-pengetahuan yang semua itu adalah cita-cita Pancasila. Globalisasi, ada nilai-nilai yang masuk entah itu teknologi, agama atau ideologi, itu menjadi tantangan tersendiri untuk kita," katanya.
Prof Djagal Wiseso Marsono, yang menjadi penyelenggara Kongres Pancasila X merasa perlu mengundang generasi milenial berbicara tentang Pancasila karena mereka generasi penerus bangsa.
Ia mengatakan, "Mengundang adik-adik yang milenial ini untuk meneruskan tongkat estafet bahwa ideologi negara itu harus dilanjutkan selama kita berkonsensus hidup berbangsa dan bernegara dibawah naunngan Indonesia. Saya rasa ini kita bica dengan frekuensi mereka sekarang. Mereka punya frekuensinya sendiri,, zamannya sendiri tetapi kontennya tetep, kita harus memahami bahwa Indonesia itu beragam tetapi tetap bersatu."
Kongres Panacasila X yang berlangsung dua hari membahas tema “Pancasila, Ideologi Pemersatu Bangsa dan Dunia”, dan menampilkan narasumber dari dalam dan luar negeri antara lain Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, pakar hukum Mahfud MD, Prof. David Linnan dari University of South Carolina dan Prof Robert William Hefner dari Universitas Boston. Menurut Hefner, Pancasila kini diadopsi oleh bangsa-bangsa di dunia.
"Apakah (Pancasila) ini relevan untuk dunia, iya, karena banyak negara saat ini sedang merevitalisasi agama yang selama ini dipisahkan dari kehidupan bernegara. Dalam hal ini Pancasila sudah dibuktikan sebagai payung moral, payung kultural yang telah dan harus diterapkan di Indonesia dan berhasil. Pancasila merupakan nilai yang kalau ditafsirkan secara benar jadi betul, ada keadilan sosial, ada ketuhanan yang maha esa, ada kebangsaan dan persatuan," jelasnya.
Menlu Retno Marsudi menunjukkan keberhasilan diplomasi Indonesia di luar negeri yang dilandasi nilai-nilai Pancasila telah berhasil membantu mewujudkan perdamaian dunia. Juga melalui Asian Games dimana Indonesia berhasil mendorong persatuan kontingen Korea Utara dan Selatan maupunmenghadirkan kontingen Palestina.
"Kontingen Palestina bukan hanya berasal dari West Bank (Tepi Barat) tetapi juga dari Gaza. Bahkan diaspora Palestina juga bergabung diantara mereka. Dengan gabungan ini berarti menumbuhkan rasa persatuan ini penting bagi perdamaian dan perjuangan mereka," ujarnya. [ms/em]