Tanggal 30 Juli lalu diperingati sebagai Hari Anti-Perdagangan Manusia Sedunia. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, sejumlah badan dunia kali ini memperingatkan potensi memburuknya perdagangan manusia di tengah terus meluasnya perebakan virus corona. Laporan Tahunan tentang Perdagangan Manusia yang dikeluarkan Departemen Luar Negeri Amerika mencatat sedikitnya 25 juta orang menjadi korban kejahatan ini.
Kelompok Koordinasi Antar-Lembaga Menentang Perdagangan Orang (ICAT), salah satu platform antar-badan utama PBB yang terdiri dari 26 entitas dan organisasi internasional, menggarisbawahi pentingnya upaya global untuk menanggapi krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya ini, sambil sekaligus mengembangkan tanggapan terkoordinasi untuk mencegah terjadinya perdagangan manusia dan melindungi para penyintas.
Your browser doesn’t support HTML5
Di Indonesia, kasus anak buah kapal ABK Indonesia yang meninggal, dilarung di laut dan bahkan hilang baru-baru ini merupakan salah satu tamparan paling keras. Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mencatat sejak 22 November 2019 hingga 19 Juli 2020 sudah 11 ABK Indonesia yang bekerja di kapal ikan berbendera China yang meninggal dan 2 lainnya hilang. DFW secara blak-blakan menyebut indikasi perdagangan dan penyelundupan manusia dalam kasus itu.
Diwawancarai melalui telepon, Sabtu (2/8) malam, Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan sektor perikanan, perkebunan kelapa sawit dan rumah tangga memang merupakan sektor paling rentan terjadinya perdagangan manusia.
“Tiga sektor ini paling rentan dalam perdagangan manusia atau perbudakan modern di Indonesia karena ini adalah pekerjaan yang paling diminati pekerja migran kita. Lebih dari 60 persen tindak pidana perdagangan orang memboncengi perekrutan pekerja migran kita. Kasus ABK Indonesia kemarin membuka kotak pandora tentang realitas pekerja migran di sektor perikanan yang ternyata tidak kalah mengerikan dengan kerentanan pekerja rumah tangga.”
Aturan Hukum Tidak Membumi
Menurut Wahyu, sebenarnya Indonesia sudah memiliki aturan hukum yang cukup untuk melindungi warga, khususnya para pekerja migran, dari perdagangan orang, tetapi tidak semua aturan hukum itu diimplementasikan di lapangan.
“Kita sudah memiliki UU No.18/Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran dan UU No.21/Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Kita juga sudah meratifikasi Konvensi Perlindungan Pekerja Migran, menjadi bagian dari Protokol Palermo [suatu konvensi melawan kejahatan transnasional terorganisir.red] dan banyak lainnya. Tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana mengejawantahkan semua instrumen itu dalam kebijakan di tingkat operasional. Jujur saja, tidak jarang kita mendapati kebijakan yang justru bertolak belakang atau bahkan aturan hukum yang seakan 'berjarak' dengan kondisi sehari-hari di lapangan,” papar Wahyu.
BACA JUGA: Berbagai Modus Sebabkan Maraknya Perdagangan Orang di NTTHal senada disampaikan Kepala Misi Organisasi Migrasi Internasional IOM Louis Hoffmann yang diwawancarai usai konferensi pers virtual di Jakarta pekan lalu.
“Untuk dapat mencapai target menekan angka perdagangan orang, kemitraan dengan semua pihak merupakan suatu keniscayaan. Ini mencakup kerjasama erat dengan aparat penegak hukum, sektor swasta, serikat buruh, badan yang melakukan rekrutmen tenaga kerja hingga badan yang mengawasi pengiriman tenaga kerja,” ujarnya. “Jika sebelum pandemi, kerjasama ini sudah dilakukan, maka kini harus lebih ditingkatkan lagi,” tegasnya.
Pelatihan Bagi Supir Truk dan Awak Pesawat
Di Amerika, sejak tahun 2010 ada pelatihan khusus bagi para supir truk untuk mengenali tanda-tanda korban perdagangan manusia, cara yang aman untuk berkomunikasi dengan korban, dan nomor telepon yang dapat memberi tanggapan cepat. Latihan dan komunikasi intensif semakin ditingkatkan pada masa pandemi ini karena para supir truk adalah satu-satunya yang tetap diizinkan melakukan perjalanan darat antar negara bagian dan bahkan antar negara, ketika berbagai kebijakan pembatasan terkait Covid-19 diberlakukan. “Truckers Against Trafficking” tetap bergerak dan bahkan memperluas cakupan mereka hingga ke Kanada.
Awal Juli lalu Organisasi Maskapai Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) juga mengambil langkah penting untuk mencegah perdagangan manusia dengan memberikan pelatihan online yang lebih khusus bagi para awak pesawat terbang. Bekerjasama dengan Komisioner Tinggi Urusan Hak Asasi Manusia (OHCHR), pelatihan online ini mengajarkan teknik mengenali dan membantu korban perdagangan manusia.
Menurut Wahyu, kedua hal ini sebenarnya dapat ditiru karena sejauh ini upaya mencegah dan menyelamatkan korban perdagangan manusia di lapangan, baru sebatas komitmen beberapa kelompok hotel untuk memperhatikan dengan seksama potensi pelacuran anak. “Itu pun baru dilakukan oleh kelompok hotel multinasional. Padahal seringkali kejahatan ini terjadi di tingkat lokal, di hotel-hotel kecil,” ujar Wahyu.
Ditambahkannya, “sudah saatnya Indonesia mengikuti jejak negara-negara lain, dan juga seruan PBB, untuk senantiasa mengaitkan isu HAM dan bisnis. Tetapi tidak semata-mata pada isu HAM seperti penggusuran atau tindakan kekerasan, tetapi juga soal perdagangan manusia dan perbudakan modern. Bagaimana dunia bisnis sedianya memastikan bahwa produk yang dihasilkan bukan merupakan hasil perdagangan manusia.”
Pandemi Perburuk Upaya Pemberantasan
Pandemi virus corona telah menghambat upaya mengidentifikasi, mencegah dan memberantas perdagangan manusia karena sebagian besar sumber daya penegakan hukum dan anggaran dialihkan untuk menangani perebakan Covid-19. Namun sebagaimana ditegaskan ICAT, kerja sama erat dan komprehensif semua pihak, saling berbagi informasi dan pengalaman, hingga penetapan prioritas yang jelas tetap sangat membantu untuk memberantas perbudakan modern ini.
ICAT mencatat 49 persen korban perdagangan manusia adalah perempuan, sementara 23 persen lainnya adalah anak perempuan. Perdagangan manusia mencakup eksploitasi seksual, kerja paksa, memaksa untuk mengemis, kawin paksa, dan perdagangan anak-anak untuk menjadi tentara anak atau jual-beli organ tubuh.
Eksploitasi seksual merupakan target perdagangan manusia yang paling umum terjadi (59 persen), disusul kerja paksa (34 persen). Kebanyakan korban perdagangan manusia terjadi di dalam perbatasan negara yang bersangkutan, sementara mereka yang diperdagangkan ke luar negeri umumnya dipindahkan ke negara yang lebih kaya. [em/jm]