Panglima TNI Jendral Andika Perkasa mengatakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XXV/MPRS/1966 (Tap MPRS 25) tidak melarang keturunan anggota PKI untuk mendaftar TNI. Karena itu, ia meminta panitia penerimaan prajurit TNI tidak mendiskriminasi keturunan anggota PKI. Menurutnya, TAP MPRS 25 hanya berisi pembubaran PKI dan larangan penyebaran ajaran komunisme.
"TAP MPRS 25 itu menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang. Tidak ada kata underbow segala macam. Menyatakan komunisme Leninisme Marxisme sebagai ajaran terlarang. Itu isinya," jelas Andika dalam video melalui akun YouTube Jenderal TNI Andika Perkasa, Rabu (30/3/2022).
Andika meminta panitia penerimaan prajurit TNI patuh terhadap peraturan perundang-undangan dan tidak membuat aturan sendiri. Selain itu, ia meminta panitia memastikan dasar hukumnya jika membuat larangan dalam penerimaan anggota TNI.
Bedjo Untung Apresiasi Pernyataan Panglima TNI
Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP 65), Bedjo Untung mengatakan pernyataan Panglima TNI terkait ini menghibur korban dan keluarga korban peristiwa 1965. Kendati, ia mengkritik penggunaan istilah keturunan atau anak cucu anggota PKI. Ia beralasan tidak semua korban peristiwa 1965 merupakan keturunan PKI.
Bedjo Untung"Dengan adanya pernyataan Panglima TNI, saya mengucapkan terima kasih dan memberikan rasa hormat kepada Panglima," tutur Bedjo Untung kepada VOA, Jumat (1/4/2022).
BACA JUGA: AS-Indonesia Siap Integrasikan Latihan Militer Bersama, Terutama di Laut China SelatanBedjo menyebut anggota PKI dan korban peristiwa 1965 belum pernah diadili pengadilan sehingga tidak diketahui bersalah atau tidak. Karena itu, ia mendorong peristiwa ini diproses secara hukum melalui Pengadilan HAM Adhoc sesuai rekomendasi Komnas HAM. Ini supaya ada kepastian hukum bagi anggota PKI dan korban peristiwa 1965.
"Jadi saya pertanyakan karena ini belum ada keputusan pengadilan dan sepihak dari tentara, serta negara," imbuhnya.
Puji Panglima TNI, Setara Institute Juga Minta TNI Kaji Keluhan Kelompok Penghayat
Wakil Ketua Badan Pengurus Setara Institute Bonar Tigor Naipospos juga mengapresiasi pernyataan Panglima TNI. Menurutnya, peristiwa 1965 sudah terjadi lebih dari 50 tahun sehingga keturunan PKI dan simpatisannya kini merupakan generasi ketiga dan keempat. Karena itu, tidak masuk akal jika para keturunan yang menanggung beban masa lalu tersebut.
"Adalah tindakan yang irasional dan di luar perikemanusiaan apabila mereka tetap menanggung "dosa turunan" dan diperlakukan tidak setara sebagai warganegara," tulis Bonar dalam rilis yang diterima VOA, Jumat (1/4/2022).
BACA JUGA: Menghindarkan Indonesia dari Republik 'Berasa' KerajaanSetara Institute juga meminta perhatian Panglima TNI terkait keluhan dari kelompok penghayat yang ingin menjadi prajurit TNI. Dalam catatan Setara Institute, kelompok penghayat juga mengalami hambatan dan diskriminasi ketika hendak melakukan pendaftaran melalui formulir online. Dikarenakan di formulir tersebut tidak ada kolom agama dan keyakinan untuk penghayat.
"Sehingga kalaupun mereka bersikeras ingin menjadi prajurit TNI, mereka harus memilih agama dan keyakinan lain. Padahal di institusi pemerintah lain dan dan juga kepolisian hambatan semacam itu tidak ditemukan."
Bonar juga menilai ketiadaan kolom untuk kelompok penghayat dalam formulir online untuk menjadi prajurit TNI bertentangan dengan UUD Adminduk No. 24 Tahun 2013. Keputusan Mahkamah Konstitusi November 2017 menyatakan warganegara berhak untuk mengisi kolom agama dan KTP sesuai dengan kepercayaan masing-masing. [sm/em]