Panitia Diskusi Soal Pemecatan Presiden Dapat Ancaman Pembunuhan

  • Fathiyah Wardah

Presiden Joko Widodo mengenakan masker wajah untuk mencegah penularan virus corona saat melantik Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin di Istana Merdeka di Jakarta, 30 April 2020. (Foto: AP)

Panitia dan pembicara diskusi bertajuk pemecatan presiden di tengah pandemi mendapat ancaman pembunuhan dan teror.

Ancaman dan teror itu diterima oleh M. Anugrah Perdana, panitia dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Profesor Ni'matul Huda.

Sepanjang Kamis (28/5) mlam hingga Jumat (29/5) dini hari, pintu rumah Profesor Ni'matul digedor-gedor orang tidak dikenal.

Anugrah juga mendapat telepon dari nomor-nomor yang tidak dikenal. Bahkan seseorang mengaku anggota sebuah organisasi massa mengancam akan membunuh dirinya dan keluarganya.

BACA JUGA: Berujung Ancaman Pembunuhan, Pemerintah Sayangkan Diskusi Soal Pemakzulan Gagal

Ancaman dan teror itu membuat diskusi yang sedianya dilangsungkan pada Jumat (29/5), kemudian dibatalkan.

Dalam diskusi virtual digelar Tempo pada Minggu (31/5), M. Anugrah Perdana, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, diskusi membahas pemecatan Presiden Joko Widodo di tengah pandemi Covid-19 merupakan bagian dari program kerja dari komunitas bernama Constitutional Law Society (CLS). Di komunitas ini Anugrah menjabat menteri diskusi dan kajian.

Presiden Joko Widodo mengenakan masker wajah saat mengunjungi stasiun MRT untuk melihat penanganan pandemi virus corona (Covid-19) di Jakarta, 26 Mei 2020. (Foto: Sigid Kurniawan/Pool/AFP)

Tema pemecatan presiden, lanjut Anugrah, diambil setelah pihak panitia menelusuri banyak kecenderungan di media sosial yang meminta pemerintahan sekarang mundur karena dianggap tidak cakap dalam menangani Covid-19. Tema ini pun menjadi bahan perdebatan internal di kalangan anggota Constitutional Law Society.

Karena menjadi perdebatan menarik di kalangan internal, menurut Anugrah, akhirnya muncul gagasan menjadi bahan dalam tema diskusi untuk kalangan publik. Tujuan diskusi itu untuk melihat apakah mungkin memberhentikan presiden karena tidak cakap dalam menangani Covid-19 berdasarkan hukum tata negara dan konstitusi.

"Arah diskusi kami itu untuk menjelaskan apa itu pemecatan presiden dilihat sejarah ketatnegaraan, pemberhentian presiden dalam konstitusi itu seperti apa, syarat-syaratnya, mekansimenya itu seperti apa. Jadi hanya sebatas itu saja," kata Anugrah.

BACA JUGA: Jokowi Tetap Genjot Proyek Strategis Nasional di Tengah Pandemi

Acara diskusi itu dikemas dalam nama "Diskusi dan Silaturahmi Bersama Negarawan (Dilawan)."

Panitia kemudian menyebarluaskan poster diskusi bertajuk "Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi."

Anugrah tidak menyangka acara diskusi bakal digelar tersebut langsung viral dan bahkan sampai disebut sebagai sebuah gerakan makar. Sehabis itu, sehari sebelum diskusi dilangsungkan, tepatnya pada Kamis, 28 Mei, Anugrah mengaku sering ditelepon nomor tidak dikenal dan diajak bertemu oleh orang-orang misterius.

Kampus Universitas Gadjah Mada. (Foto: Humas UGM)

Anugrah menyimpan semua nomor menelepon dan mengajak ketemuan dirinya dalam bentuk tangkapan layar (screenshot). Dalam pesan ponsel itu, Anugrah mengatakan, pihak-pihak tersebut mulai mengancam orang tuanya.

"Saya mulai mendapat ancaman pembunuhan dari seseorang yang mengaku dari satu ormas di Indonesia yang mengatakan, 'Kalau misalkan ayah saya tidak mendidik saya dengan baik, maka saya sekeluarga akan dibunuh,'" tutur Anugrah.

Selain itu juga dia mulai mengalami sejumblah kejadian janggal, termasuk peretasan nomor ponsel.

"Mulai dari nomor saya yang diretas untuk menghubungi ojek online tiga yang mengantarkan makanan sama yang mengantarkan mobil untuk mengantar saya ke tempat tujuan itu satu," kata Anugrah.

Dia merasa heran padahal dirinya sudah mengganti nomor lama dengan nomor baru.

Fasilitasi Kegiatan Mahasiswa

Dekan Fakultas Hukum UGM Sigit Riyanto mengakui baru mengetahui ada rencana diskusi bertajuk pemecatan presiden yangitu setelah kabarnya muncul dalam berita-berita media. Dia mendengar hal itu sehari sebelum pelaksanaan kegiatan itu.

Namun Sigit berpendapat tidak ada yang salah dengan diskusi CLS itu yang melibatkan salah satu mahasiswanya. Bahkan, ujarnya, pihak kampus memfasilitasi semua kegiatan mahasiswa.

Para petugas keamanan berjaga di dekat mobil kepresidenan yang membawa Presiden Joko Widodo usai membagikan bantuan kepada warga yang terdampak Covid-19, di Jakarta, 18 Mei 2020. (Foto: Adek Berry/AFP)

Sigit menjelaskan sebagai lembaga pendidikan tinggi, pihak kampus harus memfasilitasi dan memberikan iklim belajar yang kondusif, sehingga membuat mahasiswa nyaman dan kreatif.

"Saya senang. Saya mendukung saja selama (kegiatan mahasiswa itu) tidak ada sesuatu yang mengkhawatirkan secara hukum, tidak mengganggu ketertiban umum, tidak melanggar kesusilaan, kenapa tidak? Kebijakan fakultas seperti itu," ujar Sigit.

Di fakultasnya, imbuh Sigit, ada setidaknya 500 kegiatan mahasiswa akademik dan nonakademik untuk tingkat S1 setiap tahunnya.

Diskusi Tak Dilarang

Menanggapi ancaman pembunuhan dan teror terhadap Profesor Ni'matul Huda, Guru Besar Hukum Tata Negara dari (UII) Yogyakarta -- salah satu calon pembicara dalam diskusi tentang pemecatan presiden tersebut -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan diskusi semacam itu merupakan kajian ilmiah dan tidak dapat dilarang.

Menko Polhukam Mahfud Md saat menyampaikan pesan soal Covid-19 melalui konferensi video, Selasa, 31 Maret 2020. (Foto: VOA/Sasmito)

Mahfud meminta Profesor Ni'matul Huda dan M. Anugrah Perdana, untuk melapor ke polisi supaya kasus teror dan ancaman mereka terima bisa diusut.

"Saya katakan kepada aparat, ngapain takut, biar aja suruh diskusi. Kalau ada makar malah akan ketahuan di situ. Wong syarat-syarat untuk menjatuhkan presiden itu sudah ada aturannya, baik menurut Undang-Undang Dasar maupun menurut undang-undang," tutur Mahfud.

Mahfud menegaskan aparat tidak perlu takut dengan diskusi yang bersifat ilmiah seperti itu. [fw/em]