Ketika para menteri luar negeri ASEAN bertemu di Malaysia pekan ini, mereka diharapkan mengambil sikap tegas menuju perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan.
Menurut dokumen yang diperoleh VOA menjelang pertemuan, para menteri akan mengambil sikap untuk menetapkan "kebebasan bernavigasi, perdagangan maritim yang legal dan tanpa hambatan."
Para menteri juga berupaya menetapkan "Deklarasi Perilaku," yang akan mengatur penggunaan kode etik, aturan yang akan menempatkan mekanisme untuk menghindari konflik di laut yang menjadi sengketa, menurut rancangan pernyataan tersebut, yang diharapkan akan dibaca oleh ketua pada akhir pertemuan yang menurut rencana akan diadakan 6 Agustus.
Mereka juga akan mengungkapkan keprihatinan atas reklamasi tanah Cina dan pembangunan di Laut China Selatan dan akan mencoba untuk menghalangi tindakan sepihak atau penggunaan kekuatan yang bisa mengganggu stabilitas wilayah.
Semangat 'Bertetangga yang Baik'
Dalam pertemuan sebelumnya di bulan Juli, kelompok kerja dari ASEAN dan China sepakat untuk menyelesaikan masalah maritim "dalam semangat bertetangga yang baik" dan sesuai dengan hukum maritim internasional.
Dalam pertemuan itu, negara-negara ASEAN dan China berupaya membangun titik kontak bagi komunikasi darurat antara pejabat senior, yang dapat membantu mencegah eskalasi konflik. Namun, rancangan dokumen mencatat "melebarnya celah" antara jalur diplomatik dan ketegangan yang tumbuh di lapangan.
Masing-masing pihak telah sepakat untuk menahan diri untuk menghindari meningkatnya perselisihan, dengan menahan diri untuk tidak mengisi pulau tak berpenghuni dan daerah lainnya di wilayah yang diperebutkan. Kedua belah pihak juga memastikan agar isu Laut China Selatan tidak melukai hubungan kerjasama antara negara-negara ASEAN dengan China.
Menurut kerangka umum rancangan untuk Kode Etik (COC), yang diusulkan oleh Thailand, tujuan utama dari COC adalah "mempromosikan saling percaya dan keyakinan, mencegah dan menangani apabila terjadi insiden, tanpa mengurangi klaim. Ini juga membantu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penyelesaian damai sengketa, sesuai dengan hukum internasional, termasuk Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut."
"COC ini tidak dimaksudkan untuk menjadi instrumen untuk menyelesaikan sengketa," demikian disebutkan dalam kerangka rancangan tersebut. "Melainkan harus berfungsi sebagai kerangka berbasis aturan mengandung seperangkat norma, aturan dan prosedur yang memandu perilaku para pihak di Laut China Selatan."
Perlu Aturan
Shihoko Goto dari Wilson Center di Washington, mengatakan bahwa pencapaian konsensus dalam menetapkan aturan ini penting dalam pembicaraan mendatang, terutama mengingat upaya baru pembangunan oleh China di wilayah yang dipersengketakan.
"Jelas ada pemahaman yang jelas di antara semua pihak yang terlibat bahwa dalam situasi aturan yang tidak jelas, ditambah dengan adanya ketegangan, harus segera dapat diatasi," katanya. "Namun pertemuan Tianjin menunjukkan betapa sulitnya untuk mencapai tujuan yang sama."
"Salah satu langkah maju yang positif dalam pertemuan terbaru Tianjin adalah mendirikan saluran hotline untuk para menteri dalam menangani keadaan darurat," kata Goto. "Tapi kesulitan yang terus berlangsung dalam membangun COC mungkin telah benar-benar melebarkan kesenjangan antara negara-negara yang terlibat dan memperparah ketegangan."
AS, sementara itu, juga ingin melihat tercapainya kesepakatan, katanya.
"Mengingat bahwa banyak negara ASEAN yang tertarik untuk mencapai solusi segera dengan tujuan membangun hubungan baik dengan China, kepentingan AS juga akan tertarikmenjadi bagian dari upaya internasional dalam mencapai konsensus, dan menjadi bagian dari upaya mematuhi standar global, " kata Goto.
"Satu pertanyaan adalah bagaimana Filipina akan memasuki proses arbitrasi melawan China di Den Haag, yang mungkin akan bertentangan dengan hubungan lebih lanjut dengan China," katanya. "Keduanya bisa terjadi."
Peran Kamboja
Kamboja, anggota ASEAN dengan ikatan yang kuat dengan China, dapat berperan besar dalam pembicaraan mendatang, kata Goto.
"Ini akan menguji kemahiran pemerintah Kamboja dalam berdiplomasi," katanya.
Perdana Menteri Hun Sen mengatakan dalam pidato pada hari Senin bahwa Kamboja masih tertarik untuk menjadi mediator sengketa tersebut. Kamboja secara tidak adil telah diserang setelah menjadi tuan rumah dalam pembicaraan ASEAN-China di Phnom Penh pada 2012, katanya. Kritik pada saat itu mengatakan Kamboja telah memihak kepentingan China, melanggar suara terpadu ASEAN tanpa hasil.
"Saya hanya perlu ASEAN dan China terus bernegosiasi dan melaksanakan Deklarasi Perilaku untuk Laut China Selatan dan melangkah ke arah Kode Etik, sementara juga mendorong negara-negara yang bersangkutan untuk berunding," kata Hun Sen.
Achmad Rizal Purnama, dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington, mengatakan Kode Etik akan membantu membangun kepercayaan antara China dan ASEAN, tetapi masih harus dilihat bagaimana Kode Etik tersebut akan mengelola situasi di laut dalam hal navigasi kapal, potensi insiden militer dan hal-hal lain.
Dibutuhkan waktu yang lama untuk merumuskan 'Kode Etik ini, namun, menurutnya, "Secara realistis, Kode Etik ini tidak akan diberlakukan tahun ini."