Parlemen Irak Loloskan RUU yang Mengkriminalisasi Hubungan Sejenis

Para peserta pawai membawa bendera pelangi dalam pawai hak-hak LGBTQ tahunan di Warsawa, Polandia, 17 Juni 2023. (Foto: Czarek Sokolowski/AP Photo)

Parlemen Irak pada Sabtu (27/4) mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) yang mengkriminalisasi hubungan sesama jenis dengan ancaman hukuman penjara hingga 15 tahun. Kelompok hak-hak asasi manusia (HAM) mengutuk langkah itu sebagai “serangan terhadap hak asasi manusia.”

Orang-orang transgender akan dijatuhi hukuman tiga tahun penjara berdasarkan amandemen undang-undang anti-prostitusi 1988, yang disetujui dalam sidang yang dihadiri oleh 170 dari 329 anggota parlemen.

Rancangan undang-undang sebelumnya telah mengusulkan hukuman mati bagi hubungan sesama jenis, yang menurut para aktivis dianggap sebagai eskalasi yang berbahaya.

Menurut dokumen yang dilihat oleh AFP, amandemen baru itua memungkinkan pengadilan untuk menghukum orang yang melakukan hubungan sesama jenis antara 10 hingga 15 tahun penjara. Kaum gay dan transgender di Irak sudah sering menghadapi serangan dan diskriminasi.

Mereka juga menetapkan hukuman penjara minimal tujuh tahun karena “mempromosikan” hubungan sesama jenis dan hukuman berkisar antara satu hingga tiga tahun bagi laki-laki yang “sengaja” bertingkah seperti perempuan.

Undang-undang yang diamandemen tersebut menyatakan "perubahan jenis kelamin biologis berdasarkan keinginan dan kecenderungan pribadi" sebagai kejahatan dan menghukum orang transgender dan dokter yang melakukan operasi ganti kelamindengan hukuman hingga tiga tahun penjara.

Homoseksualitas merupakan hal yang tabu dalam masyarakat konservatif Irak, tetapi sebelumnya belum ada undang-undang yang secara eksplisit menghukum hubungan sesama jenis.

Anggota komunitas LGBTQ Irak kerap dituntut secara pidana karena sodomi atau berdasarkan klausul moralitas dan anti-prostitusi yang tidak jelas dalam hukum pidana Irak.

“Irak telah secara efektif menyusun undang-undang mengenai diskriminasi dan kekerasan yang dialami anggota komunitas LGBTI dengan impunitas mutlak selama bertahun-tahun,” kata peneliti Amnesty International di Irak, Razaw Salihy.

“Amandemen mengenai hak-hak LGBTI merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan membahayakan warga Irak yang hidupnya diburu setiap hari,” tambah Salihy.

Amandemen tersebut juga melarang organisasi yang “mempromosikan” homoseksualitas dan menghukum “tukar istri” dengan hukuman penjara 10 hingga 15 tahun.

“Undang-undang tersebut berfungsi sebagai tindakan pencegahan untuk melindungi masyarakat dari tindakan semacam itu,” kata anggota parlemen Raed al-Maliki, yang mengajukan amandemen tersebut, kepada AFP.

Dia mengatakan pengesahan amandemen baru itu ditunda sampai setelah kunjungan Perdana Menteri Irak Mohamed Shia al-Sudani ke Amerika Serikat (AS) awal bulan ini.

Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Matt Miller, mengatakan pada Sabtu (27/4) bahwa Departemen Luar Negeri AS “sangat prihatin” terhadap undang-undang tersebut.

Miller menambahkan bahwa undang-undang tersebut mengancam mereka yang paling berisiko dalam masyarakat Irak dan “melemahkan upaya reformasi politik dan ekonomi pemerintah.”

Kelompok LGBTQ Irak telah dipaksa untuk hidup dalam bayang-bayang. Mereka sering kali menjadi sasaran “penculikan, pemerkosaan, penyiksaan dan pembunuhan” tanpa hukuman, menurut laporan 2022 oleh Human Rights Watch dan organisasi non-pemerintah IraQueer.

Peneliti Irak dari Human Rights Watch, Sarah Sanbar, mengatakan undang-undang baru tersebut "adalah perkembangan yang mengerikan dan merupakan serangan terhadap hak asasi manusia."

“Daripada berfokus pada pembuatan undang-undang yang akan menguntungkan warga Irak – seperti mengesahkan RUU kekerasan dalam rumah tangga atau RUU perlindungan anak – Irak memilih untuk menyusun diskriminasi terhadap kelompok LGBT,” katanya. [ft]