Popularitas lima partai Islam terbesar semakin menurun, dari 34 persen pada akhir 1990an, menjadi 26 persen pada 2009 dan diperkirakan hanya mencapai 15 persen pada April.
JAKARTA —
Nisa Ariyani selama ini selalu mendukung partai-partai Islam di Indonesia. Namun untuk pemilihan legislatif pada 9 April, guru berusia 42 tahun itu bergabung dengan semakin banyak orang yang tidak akan memberikan suaranya pada partai Islam.
Lima partai Islam utama di Indonesia sekarang ini menuju masa pemilu terburuk, ditimpa ledakan skandal dan tren yang meningkat di kalangan pemilih untuk tidak memberikan suaranya semata-mata karena alasan agama.
"Saya telah kehilangan kepercayaan pada partai-partai Islam, dan saya tidak akan memilih siapapun," ujar Nisa, warga Jakarta yang memakai jilbab.
Perubahan sikapnya didasari oleh kasus khusus: skandal seks dan korupsi yang mengguncang partai yang selama ini ia dukung, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Sebelum mendukung PKS, partai Islam terbesar di Indoensia, ia mendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Penurunan dukungan bagi partai-partai Islam, yang berkisar antara kelompok-kelompok moderat sampai yang lebih ekstrem yang ingin memberlakukan hukum syariah, sejak berakhirnya rezim Soeharto pada 1998 sepertinya adalah sebuah paradoks, ujar para analis.
Sejak turunnya Soeharto, yang melakukan represi kelompok-kelompok agama, Indonesia semakin terlihat Islamis, misalnya saja dengan semakin banyaknya perempuan yang memakai jilbab dan peraturan-peraturan daerah yang berkiblat pada hukum syariah Islam.
Meski demikian, popularitas lima partai Islam terbesar -- di antara 12 partai yang berpartisipasi dalam pemilihan legislatif -- semakin menurun. Suara gabungan mereka turun menjadi 26 persen dalam pemilhan legislatif 2009 dari sekitar 34 persen dalam sepuluh tahun sebelumnya.
Dodi Ambardi, direktur Lembaga Survei Indonesia, memperkirakan dukungan terhadap mereka akan turun sampai 15 persen pada pemilu April, terutama karena kejatuhan PKS, yang memenangkan suara hampir 8 persen pada 2009.
Tidak ada partai Islam yang diperkirakan akan berkinerja baik sehingga dapat mengajukan kandidat presiden Juli nanti. Sebuah partai atau koalisi partai harus memenangkan 20 persen di lembaga legislatif atau 25 persen pada pemilu legislatif supaya bisa mendorong kandidat presiden.
Pemilih Cerdas
Semakin cerdasnya pemilih yang tidak lagi hanya fokus pada agama merupakan faktor besar dalam menurunnya dukungan bagi partai Islam, ujar para analis.
"Dalam memilih partai yang akan mereka coblos, pemilih Muslim tidak lagi memikirkan agama namun rekam jejak dan kebijakan partai," ujar Dodi.
Dalam hal-hal tersebut, partai-partai Islam telah gagal. Mereka tidak mengembangkan partainya menjadi organisasi yang dikelola dengan baik dan bergantung pada keyakinan yang salah bahwa Muslim yang taat pasti akan memilih partai Islam, ujar Noorhaidi Hasan, pengamat Islam dan politik.
"Partai-partai Islam terlalu ideologis, menawarkan ideologi Islam namun tidak ada aksi lain," ujar Noorhaidi, dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga di Yogyakarta.
Ia juga mengatakan meningkatnya simbol-simbol Islam dalam kehidupan sehari-hari tidak otomatis berarti orang akan menjadi lebih Islamis dan memilih partai Islam. Hal tersebut semata-mata adalah karena sekarang era yang lebih bebas untuk mengekspresikan keyakinan agama mereka secara publik dan mereka memiliki kemampuan finansial untuk melakukannya.
"Muslim kelas menengah tidak mengekspresikan agama mereka semata-mata untuk agama, namun untuk status sosial dan gaya hidup," ujarnya.
Meski dilanda penurunan, partai-partai Muslim masih bisa menarik dukungan dan PKS yakin banyak yang sudah melupakan kontroversi tahun lalu, yang membuat mantan presidennya dijebloskan ke penjara selama 16 tahun.
"Dukungan bagi PKS seperti bantal -- jika beban sudah diangkat, maka bentuknya akan kembali normal dengan mudah dan cepat," ujar juru bicara partai Dedi Supriadi.
Dan menurut para pengamat, partai-partai Islam masih dapat berpengaruh dengan memberikan dukungan bagi partai-partai yang lebih besar. (AFP)
Lima partai Islam utama di Indonesia sekarang ini menuju masa pemilu terburuk, ditimpa ledakan skandal dan tren yang meningkat di kalangan pemilih untuk tidak memberikan suaranya semata-mata karena alasan agama.
"Saya telah kehilangan kepercayaan pada partai-partai Islam, dan saya tidak akan memilih siapapun," ujar Nisa, warga Jakarta yang memakai jilbab.
Perubahan sikapnya didasari oleh kasus khusus: skandal seks dan korupsi yang mengguncang partai yang selama ini ia dukung, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Sebelum mendukung PKS, partai Islam terbesar di Indoensia, ia mendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Penurunan dukungan bagi partai-partai Islam, yang berkisar antara kelompok-kelompok moderat sampai yang lebih ekstrem yang ingin memberlakukan hukum syariah, sejak berakhirnya rezim Soeharto pada 1998 sepertinya adalah sebuah paradoks, ujar para analis.
Sejak turunnya Soeharto, yang melakukan represi kelompok-kelompok agama, Indonesia semakin terlihat Islamis, misalnya saja dengan semakin banyaknya perempuan yang memakai jilbab dan peraturan-peraturan daerah yang berkiblat pada hukum syariah Islam.
Meski demikian, popularitas lima partai Islam terbesar -- di antara 12 partai yang berpartisipasi dalam pemilihan legislatif -- semakin menurun. Suara gabungan mereka turun menjadi 26 persen dalam pemilhan legislatif 2009 dari sekitar 34 persen dalam sepuluh tahun sebelumnya.
Dodi Ambardi, direktur Lembaga Survei Indonesia, memperkirakan dukungan terhadap mereka akan turun sampai 15 persen pada pemilu April, terutama karena kejatuhan PKS, yang memenangkan suara hampir 8 persen pada 2009.
Tidak ada partai Islam yang diperkirakan akan berkinerja baik sehingga dapat mengajukan kandidat presiden Juli nanti. Sebuah partai atau koalisi partai harus memenangkan 20 persen di lembaga legislatif atau 25 persen pada pemilu legislatif supaya bisa mendorong kandidat presiden.
Pemilih Cerdas
Semakin cerdasnya pemilih yang tidak lagi hanya fokus pada agama merupakan faktor besar dalam menurunnya dukungan bagi partai Islam, ujar para analis.
"Dalam memilih partai yang akan mereka coblos, pemilih Muslim tidak lagi memikirkan agama namun rekam jejak dan kebijakan partai," ujar Dodi.
Dalam hal-hal tersebut, partai-partai Islam telah gagal. Mereka tidak mengembangkan partainya menjadi organisasi yang dikelola dengan baik dan bergantung pada keyakinan yang salah bahwa Muslim yang taat pasti akan memilih partai Islam, ujar Noorhaidi Hasan, pengamat Islam dan politik.
"Partai-partai Islam terlalu ideologis, menawarkan ideologi Islam namun tidak ada aksi lain," ujar Noorhaidi, dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga di Yogyakarta.
Ia juga mengatakan meningkatnya simbol-simbol Islam dalam kehidupan sehari-hari tidak otomatis berarti orang akan menjadi lebih Islamis dan memilih partai Islam. Hal tersebut semata-mata adalah karena sekarang era yang lebih bebas untuk mengekspresikan keyakinan agama mereka secara publik dan mereka memiliki kemampuan finansial untuk melakukannya.
"Muslim kelas menengah tidak mengekspresikan agama mereka semata-mata untuk agama, namun untuk status sosial dan gaya hidup," ujarnya.
Meski dilanda penurunan, partai-partai Muslim masih bisa menarik dukungan dan PKS yakin banyak yang sudah melupakan kontroversi tahun lalu, yang membuat mantan presidennya dijebloskan ke penjara selama 16 tahun.
"Dukungan bagi PKS seperti bantal -- jika beban sudah diangkat, maka bentuknya akan kembali normal dengan mudah dan cepat," ujar juru bicara partai Dedi Supriadi.
Dan menurut para pengamat, partai-partai Islam masih dapat berpengaruh dengan memberikan dukungan bagi partai-partai yang lebih besar. (AFP)