Partai reformis utama Iran pada Sabtu (24/9) menyerukan diakhirinya aturan wajib berpakaian bagi perempuan yang diberlakukan sejak 1983. Seruan itu disampaikan setelah terjadinya protes-protes selama delapan malam berturut-turut terkait kematian Mahsa Amini, 22 tahun, dalam tahanan polisi pada 16 September.
Serikat Partai Rakyat Iran Islam juga menyerukan dikuranginya polisi moral yang menegakkan aturan itu. Partai itu dipimpin oleh para mantan pembantu Presiden Mohammad Khatami yang mengawasi cairnya hubungan dengan Barat antara 1997 dan 2005. Partai tersebut menyerukan pihak berwenang untuk "menyiapkan elemen-elemen hukum yang diperlukan untuk mencabut UU wajib jilbab itu."
Partai itu, yang sah namun tak memegang kekuasaan apapun, mengatakan Iran harus mengumumkan "diakhirinya secara resmi aktivitas polisi moral" dan "mengizinkan demonstrasi damai." Dikatakan, sebuah "komisi imparsial" harus dibentuk untuk menyelidiki kematian Amini dan menyerukan "segera dibebaskannya orang-orang yang baru-baru ini ditahan."
BACA JUGA: Sekjen PBB Bahas Hak-Hak Perempuan dengan Presiden IranSedikitnya 35 orang tewas dan ratusan cedera dalam protes-protes yang merebak setelah kematian Amini, menurut angka resmi. Ratusan lainnya telah ditangkap, termasuk sejumlah jurnalis reformis dan aktivis, serta demonstran.
Berdasarkan UU yang diadopsi pada 1983, empat tahun setelah revolusi Islam Iran, semua perempuan, apapun keyakinan atau kewarganegaraannya, harus menutupi rambut dengan kain di tempat umum dan mengenakan celana longgar di bawah mantel mereka.
Aturan tersebut sering diabaikan selama beberapa dekade, terutama di kota-kota besar, tetapi ada tindakan keras berkala. [vm/ft]