Pasal Penodaan Agama Dinilai Tak Mungkin Dihapus dalam Hukum Indonesia

  • Fathiyah Wardah

Diskusi tentang pasal 156a di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa (16/5). Arsul Sani (kiri), Anggota Komisi III DPR RI dan Ahli Tata Negara Refly Harun. (Foto: Fathiyah/VOA)

Dewan Perwakilan Rakyat saat ini sedang merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana). Namun, beberapa anggota Komisi Hukum DPR mengatakan tidak mungkin pasal penodaan agama dihapus dalam sistem hukum di Indonesia.

Setelah majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 9 Mei lalu memvonis Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan hukuman penjara dua tahun dengan menggunakan dakwaan menodai agama Islam, pasal 156a yang menjadi dasar putusan hakim menjadi sorotan, tidak saja di Indonesia tetapi juga di sejumlah negara. Dalam berbagai aksi solidaritas yang dilangsungkan sejak pekan lalu, salah satu isu yang disampaikan adalah penghapusan pasal 156a tersebut. Alasan utamanya karena pasal itu dinilai multitafsir atau sejak lama dikenal sebagai “pasal karet”.

Ahok dinyatakan bersalah menodai agama Islam karena pidatonya di Kepulauan Seribu pada akhir September tahun lalu, setelah menyitir surat Al-Maidah ayat 51 mengenai seruan bagi kaum muslim untuk memilih pemimpin yang seiman. Perkara ini berlangsung di tengah kampanye pemilihan gubernur antara pasangan Ahok-Djarot Saiful Hidayat dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Ahok akhirnya kalah dalam pemungutan suara putaran kedua 19 April lalu.

Dalam diskusi tentang pasal 156a di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa (16/5), anggota komisi hukum DPR Arsul Sani mengatakan pada tahun 2010 beberapa lembaga dan individu pernah mengajukan uji materi atas pasal 156a soal penodaan agama ke Mahkamah Konstitusi. Hasilnya, pada 9 April 2010 melalui keputusan nomor 140 Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa pasal 156a KUHP tidak bertentangan dengan konstitusi. Hanya saja dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi meminta agar norma yang ada dalam pasal 156a itu diperbaiki sehingga tidak menjadi pasal karet, yang penafsirannya begitu luas dan tanpa patokan.

Uji materi pasal serupa juga terjadi pada tahun 2012, di mana Mahkamah Konstitusi akhirnya memberi putusan yang sama pula.

Oleh karena itu – menurut Arsul Sani – persoalan konstitusionalitas pasal 156a dalam konteks ketatanegaraan harus dianggap selesai karena Mahkamah Konstitusi sudah dua kali memutuskan bahwa pasal itu tidak bertentangan dengan konstitusi.

"Karena itu, kalau ada teman-teman kalangan masyarakat sipil berpendapat pasal itu melanggar konstitusi karena melanggar kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, menurut saya sudah nggak bisa lagi karena sudah dibawa ke MK dan sudah diputuskan. Kan, kesepakatan ketatanegaraan kita semua, termasuk DPR dan pemerintah mesti nurut sampai nanti diajukan lagi uji materi dengan alasan lain, sudut pandang lain, kemudian MK berbalik, mengeluarkan qaul jadid (pendapat baru)," ungkap Arsul.

Lebih lanjut Arsul menjelaskan dalam Rancangan Undang-undang KUHP yang tengah dibahas DPR, ada pasal mengenai tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama. Pasal 156a berubah rumusannya dalam pasal 348 RUU KUHP, yakni setiap orang di muka umum yang melakukan penghinaan terhadap agama di Indonesia bisa dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun. Menurutnya tidak mungkin pasal penodaan agama dihapus dalam sistem hukum di Indonesia. Alasannya, jika terjadi tindakan penodaan suatu agama dan tidak ada aturan hukum yang berlaku, maka orang-orang akan bertindak semaunya sendiri. Beberapa negara Barat – termasuk Jerman – kata Arsul masih memberlakukan pasal penistaan agama.

Your browser doesn’t support HTML5

Pasal Penodaan Agama Dinilai Tak Mungkin Dihapus dalam Hukum Indonesia

Ditemui secara terpisah, ahli hukum tata negara Refly Harun menegaskan bahwa pasal mengenai penistaan agama yang tengah digodok dalam RUU KUHP seharusnya tidak akan multitafsir dan menguntungkan kelompok mayoritas semata. Refly Harun menjelaskan bagaimana asal muasal pasal 156a KUHP yang bersumber dari PNPS nomor 1 tahun 1965, yang merupakan hasil lobi kelompok agama pada Presiden Soekarno.

"Asalnya itu betul-betul buatan Bung karno karena memang mengakomodasi permintaan kelompok masyarakat yang kuat di masyarakat, terutama kelompok agama. Jadi kalau bicara tentang penghinaan terhadap agama, maka sesungguhnya nuansanya adalah kelompok mayoritas akan mendikte kelompok minoritas," ujar Refly.

Refly menegaskan pasal penodaan agama tidak saja harus senantiasa melindungi kelompok Islam mayoritas dan minoritas, tetapi juga kelompok Muslim dan non-Muslim. Ditambahkannya, pasal penodaan agama itu harus memiliki panduan tentang “tindakan/perkataan apa yang bisa disebut sebagai penodaan agama”, yang sebaiknya memasukkan soal ujaran kebencian dan bukan sekedar keseleo lidah; atau adanya tindakan yang nyata menodai agama, seperti menginjak-injak kitab suci. [fw/em]