10 tahun pasca peristiwa Tsunami, beberapa kalangan berpendapat, Aceh kini mendapat serangan dari kelompok Islam Konservatif beraliran Wahabi yang mulai merusak adat istiadat budaya masyarakat Aceh.
Satu dekade yang lalu tepatnya 26 Desember 2004, Aceh mengalami peristiwa tsunami yang begitu memilukan dan menyebabkan kerugian ekonomi yang luar biasa bagi Provinsi itu. 10 tahun berlalu Aceh perlahan bangkit dan kembali menata infrastruktur daerah termasuk hunian warganya.
Namun demikian Peneliti dari Human Right Watch Andreas Harsono kepada VOA menilai perubahan besar di Aceh 10 tahun setelah peristiwa Tsunami, masih menyisakan pekerjaan rumah berupa kemiskinan dan kerusakan lingkungan.
"Ada beberapa perubahan besar. Yang pasti saya lihat. Infrastruktur di Aceh itu bagus sekali ya, jalan, jembatan, kota. Bahkan taman-taman, yang di Jawa agak jarang, tapi di aceh berkembang dengan baik. Airportnya juga bagus. Tapi dari segi kemiskinan, ini provinsi masih salah satu yang termiskin di Indonesia. Kalo ga salah ranking ke 6. Sehingga cukup menyedihkan," kata Andreas Harsono.
"Kerusakan lingkungan juga meningkat. Jumlah gajah dan Harimau yang mati dalam 10 tahun terakhir makin tinggi. Matinya gajah dan harimau adalah indikator bahwa hutan-hutan makin rusak," tambahnya.
Andreas menambahkan setelah perjanjian damai Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005, kelompok Islam konservatif yang beraliran Wahabi mulai masuk ke dalam parlemen dan mulai menerapkan aturan formalisasi Islam.
"Makin menguatnya apa yang disebut formalisasi syariah Islam. Kaum Ulama dan Politikus Islam konservatif memanfaatkan kekosongan tersebut untuk menyorongkan agenda apa yang mereka sebut Syariah Islam. Itu yang kemudian memunculkan dominasi yang oleh beberapa kalangan menyebutnya dominasi wahabi-isme," lanjut Andreas.
Berbagai tekanan sosial mulai dialami oleh masyarakat Aceh tidak hanya dari kalangan minoritas non Muslim tetapi juga dari kalangan Muslim sendiri.
"Dimana ada aturan-aturan yang aneh. Mulai dari perempuan tidak boleh naik atau membonceng sepeda motor. Sampai mereka dilarang menari. Lalu harus menggunakan busana muslim dengan ketentuan tertentu, ga boleh begini dan begitu. Sampai dengan yang non muslim harus mengikuti syariah Islam. Ruang gerak minoritas agama juga makin sempit, baik secara hukum maupun sosial," jelas Andreas.
Kelompok aliran dalam Islam di Aceh menurut Andreas, juga tidak luput dari tekanan kelompok Wahabi ini.
"Dan yang saya sebut sebagai minoritas muslim yang juga mengeluhkan hal ini. Mulai dari Syiah, Ahmadiyah dan tarekat-tarekat Aceh sendiri. Karena menurut salah satu qanun yang diterbitkan DPR Aceh, di Aceh aliran dalam Islam yang diakui hanya Suni dan Syafii. Di luar itu mereka tidak mendapat perlakuan yang setara dengan Suni dan Syafii," imbuhnya.
Pandangan serupa juga dikatakan Peneliti sosial dari Universitas Maliku Saleh Lhokseumawe Aceh, Al Chaidar. Kepada VOA, Al Chaidar menyebut, 10 tahun pasca peristiwa Tsunami, Aceh kini mendapat serangan dari kelompok Wahabi yang mulai mengkhawatirkan.
"Masyarakat Aceh sebenarnya tidak menginginkan adanya formalisasi syariah Islam yang terlalu ketat. Terlalu berlebih-lebihan dan terlalu konservatif. Ini kan kebangkitan konservatifme Islam yang sebenarnya bukan watak asli orang Aceh," kata Al Chaidar.
"Kita ketahui orang Aceh itu sangat longgar. Kemudian sangat toleran. Sikap itu sudah mulai menghilang karena adanya invasi atau serangan dari kelompok Wahabi. Dan itu sangat mengkhawatirkan," lanjutnya.
Al Chaidar menyebutkan, berbagai kebiasaan dan adat istiadat di Aceh sedikit demi sedikit mulai mendapat serangan dari kelompok Wahabi ini. Diantaranya adalah larangan penyelenggaraan maulid Nabi Muhammad SAW.
"Paham-paham Wahabi ini sudah sangat keras di Aceh. Dan mereka sudah mulai berani menyatakan bahwa Maulid Nabi Muhammad SAW itu haram. Kemudian pakaian ketat tidak sesuai dengan syariah. Jilbab orang Aceh juga mereka nilai tidak sesuai dengan syariah. Ya macam-macamlah. Dan ini menunjukkan bangkitnya konservatifme Islam di Aceh. Itu semua tidak sesuai dengan apa yang diinginkan masyarakat Aceh," jelas Al Chaidar.
Peringatan 10 Tahun Tsunami Aceh Dihadiri Wapres Jusuf Kalla
Pemerintah dan warga Aceh menggelar Peringatan 10 Tahun Tsunami Aceh yang diselenggarakan pada 25-28 Desember 2014. Puncak acara diselenggarakan pada 26 Desember yang dihadiri oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla dan para menteri Kabinet kerja, perwakilan negara sahabat, pekerja kemanusiaan, dan elemen masyarakat sipil.
Gubernur Aceh Zaini Abdullah mengucapkan terimakasih kepada dunia internasional yang telah membantu Aceh bangkit dari keterpurukan pasca bencana gempa dan tsunami sepuluh tahun lalu. Dalam kesempatan ini pemerintah Aceh turut menyerahkan penghargaan Meukuta Alam, kepada 35 negara donor yang ikut membantu Aceh bangkit dari keterpurukan.
Selain korban jiwa yang mencapai lebih dari 160 ribu orang tewas, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh mencatat 120 ribu rumah penduduk di Aceh hancur total. Sebanyak 600 ribu warga Aceh dan Nias kehilangan tempat tinggal hanya dalam beberapa detik. 1.617 kilometer jalan, 260 jembatan, dan 690 rumah sakit rusak berat.
Tsunami terdahsyat dalam setengah abad terakhir bukan hanya menyapu Aceh, tapi juga berdampak ke pesisir 14 negara sepanjang Samudera Hindia. Merenggut lebih 200 ribu korban jiwa.