PBB Adopsi Pakta Untuk Bangun “Masa Depan Lebih Cerah” bagi Kemanusiaan

PM Jepang Fumio Kishida berpidato selama "KTT Masa Depan" di sela-sela Sidang Umum PBB di Markas Besar PBB di New York, 22 September 2024.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) hari Minggu (22/9) mengadopsi “Pakta untuk Masa Depan” untuk mengatasi tantangan abad ke-21 yang luas, mulai dari konflik hingga perubahan iklim dan hak asasi manusia, meskipun ada keberatan pada menit-menit terakhir dari sekelompok negara yang dipimpin oleh Rusia.

Sekjen PBB Antonio Guterres, yang menyelenggarakan “KTT Masa Depan” itu, menyebut pakta ini sebagai “satu kesempatan dalam satu generasi” untuk membentuk kembali sejarah manusia dengan menghidupkan kembali kerja sama internasional.

Acara yang merupakan bagian dari pembukaan sidang tahunan Majelis Umum PBB, yang akan dimulai hari Selasa nanti (24/9), puluhan kepala negara dan pemerintahan berkumpul untuk menandatangani pakta tersebut. Dalam versi yang diadopsi, para pemimpin berjanji untuk memperkuat sistem multilateral guna “mengikuti perubahan dunia” dan “melindungi kebutuhan dan kepentingan generasi sekarang dan masa depan” yang menghadapi “krisis yang terus-menerus.”

“Kami percaya ada jalan menuju masa depan yang lebih cerah bagi seluruh umat manusia,” kata dokumen tersebut.

Pakta tersebut menguraikan 56 “tindakan”, termasuk komitmen pada multilateralisme, menjunjung Piagam PBB, dan pemeliharaan perdamaian. Resolusi ini juga menyerukan reformasi pada lembaga-lembaga keuangan internasional dan Dewan Keamanan PBB, serta upaya-upaya baru untuk memerangi perubahan iklim, mendorong perlucutan senjata, dan memandu pengembangan kecerdasan buatan.

Rusia Sempat Ajukan Keberatan

Penerapan naskah itu sempat mengalami penundaan singkat ketika Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Vershinin, memperkenalkan amandemen yang menekankan "prinsip non-intervensi dalam urusan dalam negeri negara" dan mendesak PBB untuk menghindari duplikasi. Keberatan Rusia itu didukung oleh sekutunya – Belarus, Korea Utara, Iran, Nikaragua, dan Suriah – namun amandemen tersebut ditolak karena mosi untuk tidak mengambil tindakan.

Selama tahap perundingan, Guterres mendesak negara-negara untuk menunjukkan “visi” dan “keberanian,” dan menyerukan “ambisi maksimum” untuk memperkuat lembaga-lembaga internasional yang berjuang untuk merespons secara efektif ancaman-ancaman saat ini.

BACA JUGA: Gaza dan Ukraina Berebut Perhatian Dunia di Sidang PBB

Kritik Membangun

Meskipun ada beberapa “ide bagus,” Richard Gowan di International Crisis Group mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa teks tersebut “bukanlah dokumen revolusioner yang mereformasi keseluruhan multilateralisme seperti yang awalnya diserukan Antonio Guterres.”

Sentimen tersebut juga dirasakan secara luas di kalangan diplomat, banyak di antara mereka mengungkapkan rasa frustrasinya ketika mendiskusikan ambisi dan dampak dari teks tersebut, dan menggambarkannya sebagai hal yang “suam-suam kuku”, “hal yang paling tidak lazim”, dan “mengecewakan”.

“Idealnya, kita mengharapkan ide-ide baru, ide-ide segar,” kata seorang diplomat.

Perjuangan melawan pemanasan global adalah salah satu poin penting dalam perundingan itu, di mana referensi mengenai “transisi” dari bahan bakar fosil telah hilang dari rancangan teks beberapa minggu yang lalu, tetapi kemudian dimasukkan kembali.

Meskipun ada kritik, naskah pakta itu menunjukkan adanya “kesempatan untuk menegaskan komitmen kolektif kita terhadap multilateralisme, bahkan dalam konteks geopolitik yang sulit saat ini,” kata seorang diplomat Barat, menekankan perlunya membangun kembali kepercayaan antara negara-negara Utara dan Selatan.

Negara-negara berkembang sangat vokal dalam menuntut komitmen konkrit mengenai reformasi lembaga keuangan internasional, yang bertujuan untuk menjamin akses yang lebih mudah pada pembiayaan preferensial, terutama mengingat dampak perubahan iklim.

Human Rights Watch (HRW) memuji teks itu dengan mengatakan pakta tersebut memuat “komitmen penting mengenai keadilan ekonomi dan reformasi arsitektur keuangan internasional,” dan “pentingnya hak asasi manusia.” Tetapi Direktur HRW di PBB Louis Charbonneau mengatakan “para pemimpin dunia masih harus menunjukkan bahwa mereka bersedia mengambil tindakan untuk menjunjung tinggi HAM.” [em/jm]