Seorang pejabat senior PBB, pada Rabu (16/3), memperingatkan bahwa kebuntuan politik yang terjadi saat ini di Libya dapat menimbulkan ketidakstabilan dan menciptakan dua pemerintahan paralel di negara itu.
Kepala Urusan Politik AS Rosemary DiCarlo mengatakan pada Dewan Keamanan PBB bahwa “selama kebuntuan atas legitimasi eksekutif masih berlanjut, akan kembali ada dua pemerintahan pararel di Libya.” Ia juga menambahkan bahwa, “situasi tersebut dapat menyebabkan ketidakstabilan dan kemungkinan kerusuhan, dan memberikan pukulan telak terhadap prospek pemilu.”
BACA JUGA: HRW: 50 Ditahan di Libya Setelah Insiden Pelarian dari PenjaraKrisis politik terbaru di Libya ini dimulai dengan penangguhan pemilihan presiden dan parlemen pada 24 Desember lalu akibat adanya perselisihan tentang Undang-undang Pemilu dan siapa yang dapat menjadi calon presiden. Hampir tiga juta warga Libya telah mendaftar untuk ikut ambil bagian dalam pemungutan suara.
Setelah penangguhan itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 24 Februari lalu mengadopsi amandemen konstitusi yang menyerukan penunjukkan komite peninjau konstitusi yang mewakili tiga wilayah di negara tersebut. Sementara panitianya masih belum terbentuk hingga saat ini.
BACA JUGA: Produksi Minyak Libya Anjlok Setelah Dua Kilang Minyak Penting DitutupPada 1 Maret lalu para legislator di DPR memberikan suara untuk mengukuhkan pemerintahan transisi yang baru. Mantan menteri dalam negeri Fathi Bashagha ditunjuk menjadi perdana menteri. Kabinetnya dilantik dua hari kemudian.
“PBB menerima sejumlah laporan bahwa pemungutan suara itu telah dirusak oleh cacat prosedural dan ancaman kekerasan terhadap beberapa anggota majelis dan keluarga mereka... Kekurangan ini berdampak pada kredibilitas proses pemilihan itu,” ujar DiCarlo.
Ia juga mengakui bahwa situasi di lapangan kini relatif tenang, tetapi ada peningkatan retorika yang mengancam dan ketegangan politik. Penerbangan lokal antara ibu kota Libya, Tripoli, dan bagian timur Libya telah ditangguhkan, dan sebagian pasukan di bagian barat negara itu telah bergerak menuju Tripoli.
BACA JUGA: PBB Tawarkan Mediasi untuk Percepat Pemilu di Libya“Kepemimpinan Pemerintahan Persatuan Nasional telah menolak legitimasi pemungutan suara, menyatakan bahwa mereka hanya akan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan terpilih,” ujar DiCarlo tentang pemerintahan yang dipimpin oleh Perdana Menteri petahana Abdul Hamid Dbeibah. “Sementara itu Bashagha bersikeras ialah pemimpin pemerintahan yang sah.”
Penasihat Khusus PBB Stephanie Williams telah berbicara dengan para pemangku kepentingan dan berusaha menemukan konsensus tentang kerangka hukum dan konstitusional untuk melangsungkan pemilihan umum sesegera mungkin. Ia juga menawarkan untuk menengahi kedua perdana menteri yang saling bersaing itu. [em/rs]