Kantor hak asasi manusia PBB menyerukan ditegakkannya keadilan dan pertanggungjawaban bagi para korban penghilangan paksa dan penculikan oleh Korea Utara, yang telah melakukan praktik ilegal tersebut sejak 1950.
Laporan yang diterbitkan kantor HAM PBB hari Selasa (28/3) itu menggambarkan penderitaan banyak keluarga lintas generasi yang harus mengubur kesedihan mereka dalam diam, tanpa memperoleh kompensasi dan pengakuan dari pemerintah Republik Demokratik Rakyat Korea (DPRK), nama resmi Korea Utara.
“Kesaksian dalam laporan ini menunjukkan bahwa seluruh generasi pada banyak keluarga telah hidup dalam kesedihan karena tidak mengetahui nasib pasangan, orang tua, anak-anak dan saudara-saudara mereka,” kata Volker Turk, komisioner tinggi HAM PBB.
“Penghilangan paksa adalah pelanggaran besar terhadap banyak hak asasi sekaligus, dan negaralah yang bertanggung jawab,” katanya.
BACA JUGA: Korut Uji Coba 2 Rudal Lagi, Saat AS Kirim Kapal IndukSebuah laporan pada tahun 2014, yang disusun oleh Komisi Penyelidikan PBB terkait situasi HAM di Korea Utara, menemukan bahwa penculikan dan penghilangan paksa yang dilakukan secara sistematik dan meluas di negara itu “tergolong sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Laporan PBB yang baru bersumber dari hasil wawancara di Seoul, Korea Selatan dengan 38 laki-laki dan 42 perempuan yang menjadi korban penculikan dan penghilangan paksa, termasuk sanak saudara orang-orang yang dihilangkan paksa.
Para penyintas dan saksi mata menyampaikan dampak psikologis dan emosional yang disebabkan oleh pelanggaran HAM itu terhadap hidup mereka. Mereka juga menjelaskan trauma yang mereka alami setelah hidup mereka hancur akibat penculikan yang dilakukan oleh negara dan ketidaktahuan mereka akan keberadaan dan nasib orang-orang yang mereka cintai.
Salah satu saksi, Kim Nam Joo, putra seorang korban penculian dalam Perang Korea, Kim Jung Ki, mengatakan, “Saya baru akan merasa lebih lega setelah saya tahu kehidupan seperti apa yang dijalani Ayah saya setelah diculik. Itu prioritas utama saya.”
Saksi lainnya, Kim Jae Jo, yang ayahnya – Kim Ki Jung – diculik dalam Perang Korea, mengatakan bahwa ia tidak bisa tidur karena selalu memikirkan apa yang terjadi pada sang ayah.
“Kepastian nasibnya adalah hal terpenting,” ungkapnya. “Saya ingin kejelasan nasibnya. Apabila ia sudah meninggal dunia, saya ingin jenazahnya dikembalikan.”
BACA JUGA: Korea Utara Uji ‘Drone’ Bawah Air Baru untuk Serangan NuklirLaporan setebal 55 halaman berjudul “These wounds do not heal,” yang berarti “Luka-luka ini tidak akan sembuh,” merinci berbagai pelanggaran yang terjadi antara periode 1950 dan 2016. Meski demikian, Marta Hurtado, juru bicara komisioner tinggi HAM PBB mencatat bahwa tindak kejahatan berupa penghilangan paksa masih terus dilakukan.
“Kami khawatir praktik ini masih dilakukan hingga saat ini terhadap orang-orang yang tinggal di negara itu – warga negara yang ditahan sewenang-wenang dan menghilang. Mereka seringkali dibawa ke penjara tanpa pemberitahuan kepada sanak saudara mereka,” ujarnya.
Laporan itu menceritakan juga penghilangan paksa dan penculikan warga negara asing selama dan setelah Perang Korea, yang terjadi antara tahun 1950 dan 1953. Laporan itu menyebut bahwa hampir 100.000 warga negara Korea Selatan diperkirakan telah diculik selama Perang Korea.
Setelah perang, Korea Utara menculik 3.835 orang dari Republik Korea, nama resmi Korea Selatan. Sebagian besar di antaranya telah dipulangkan, namun pemerintah Korea Selatan melaporkan bahwa 516 orang tidak.
Kategori korban penculikan yang lain adalah warga negara asing, terutama warga negara Jepang, yang kebanyakannya merupakan keturunan warga Korea.
Marta Hurtado mengatakan bahwa beberapa orang Jepang terbujuk untuk pindah ke Korea Utara “dengan janji kehidupan yang lebih baik… dan ketika mereka tiba di Korea Utara atas kemauan sendiri, mereka tidak diizinkan kembali,” ujarnya. “Mereka dianggap dihilangkan secara paksa.”
Kantor Komisioner Tinggi HAM PBB melaporkan bahwa pihaknya terus menerima informasi yang dapat dipercaya dari para mantan narapidana tentang kamp-kamp tahanan politik yang masih ada sampai sekarang. Kantor itu mengatakan bahwa “beberapa pelarian ini meminta anonimitas karena takut pembalasan terhadap keluarga mereka yang masih berada di Republik Demokratik Rakyat Korea.”
Dalam laporan tahun 2014 tentang Korea Utara, Michael Kirby, ketua Komisi Penyelidikan PBB, menggambarkan aksi penculikan dan penghilangan warga negara asing oleh negara sebagai peristiwa yang “unik dalam intensitas, skala dan sifatnya.”
Ketua HAM PBB Turk mengatakan, ia bertekad untuk berkomunikasi dengan pemerintah Korea Utara untuk mengatasi masalah HAM yang telah terdokumentasikan dengan baik.
“Kini adalah waktunya bagi Republik Demokratik Rakyat Korea untuk keluar dari isolasi dan bekerja sama dengan PBB untuk menemukan solusi atas masalah-masalah HAM – termasuk masalah lama terkait penghilangan paksa dan penculikan,” ungkapnya. “Para korban berhak mendapatkan kebenaran dan keadilan, reparasi dan jaminan bahwa hal ini tidak akan terjadi lagi.” [rd/jm]