PBNU Minta Maaf Atas Lawatan Lima Nahdliyin ke Israel

  • Fathiyah Wardah

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Indonesia, Yahya Cholil Staquf. (VOA/Indra Yoga)

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama minta maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia atas kunjungan lima cendekiawan Nahdliyin ke Israel dan pertemuan mereka dengan Presiden Israel Isaac Herzog di tengah kecaman keras dunia terhadap perang Israel-Hamas yang sudah menewaskan puluhan ribu warga Palestina.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada Selasa (16/7) memanggil lima cendekiawan Nahdliyin yang baru-baru ini berkunjung ke Israel dan bertemu Presiden Isaac Herzog, untuk dimintai klarifikasi. Kelima kader NU itu mengaku datang ke Israel atas nama pribadi.

Mereka adalah Zainul Maarif yang merupakan dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia atau Unusia dan bagian dari Pengurus Wilayah NU DKI Jakarta; Munawir Aziz sebagai Sekretaris Umuym Persatuan Pencak Silat NU “Pagar Nusa;” Nurul Barul Ulum dan Izza Anafisa Dania yang merupakan anggota Pimpinan Pusat Fatayat NU; serta Syukron Makmun dari PWNU Banten.

Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf dalam jumpa pers di kantor PBNU itu meminta maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia atas kunjungan lima cendekiawan Nahdliyin itu.

"Kami mengerti dan sangat memaklumi, kami merasakan hal yang sama, bahwa ini adalah sesuatu yang tidak patut di dalam konteks suasana yang ada saat ini," katanya.

Ribuan warga ambil bagian dalam unjuk rasa untuk mendukung warga Palestina di Gaza, di Jakarta, hari Minggu, 9 Juni 2024. (Foto AP/Tatan Syuflana)

Yahya Cholil Staquf menegaskan apa yang dilakukan kelima orang tersebut merupakan sesuatu yang tidak patut dalam konteks saat ini dan itu merupakan sebuah kesalahan.

Yahya menambahkan pihaknya sudah memperoleh konfirmasi dari lembaga-lembaga terkait di bawah PBNU yang personelnya berangkat ke Israel. Mereka sama sekali tidak mengetahui hal itu, tidak ada mandat kelembagaan, dan tidak pernah pembicaraan sebelumnya. Oleh karena itu PBNU menegaskan kepergiaan mereka ke Israel merupakan tanggung jawab pribadi dan tidak ada kaitannya dengan lembaga.

Dia menceritakan kelima cendekiawan Nahdliyin ini didekati satu-satu oleh pihak tertentu untuk diajak melawat ke Israel. Dia tidak menyebut pihak mana yang dimaksud. Selama di sana, program mereka adalah pertemuan-pertemuan lintas agama tanpa agenda pertemuan dengan Presiden Israel Isaac Herzog. Pertemuan dengan Herzog sama sekali tidak direncanakan sebelumnya.

BACA JUGA: Kemlu: Kunjungan 5 Cendekiawan NU ke Israel Tak Ada Kaitan dengan Posisi Indonesia Soal Palestina

Sanksi

PBNU akan menyerahkan kepada lembaga NU yang menjadi tempat bernaung masing-masing kader yang berkunjung ke Israel untuk menjatuhkan sanksi masing-masing. Menurutnya PBNU punya aturan yang jelas jika ada kader yang melanggar aturan. Dia mengatakan kelima kadernya yang berkunjung ke Israel itu patut diduga telah melanggar aturan mengenai keharusan engagement atau relasi internasional harus melalui PBNU.

"NU secara kelembagaan terutama, ini juga kami serukan kepada seluruh kader terutama dan warga NU, bahwa kita tidak akan melakukan hubungan apapun dengan pihak manapun terkait Israel dan Palestina kecuali untuk tujuan-tujuan membantu rakyat Palestina," ujarnya.

NU Karikatural?

Dr. Teuku Rezasyah, Pengamat Hubungan Internasional (foto: courtesy).

Pengajar Hubungan Internasional di Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah menjelaskan NU adalah organisasi keagamaan Islam yang moderat dan terdiri dari beberapa kluster, yakni NU spiritual, NU struktural, dan NU sosial.

Menurutnya, lima tokoh muda NU yang berangkat ke Israel adalah NU karikatural, yakni hanya mencari sensasi biar terkenal tanpa memahami konsekuensi dari perbuatan mereka tersebut terhadap umat Islam di Indonesia.

"(Pikiran mereka adalah) bagaimana caranya mengambil manfaat dari marwah NU yang dia punya. Kalau perlu, yah slonong-slonong aja. Mereka yang pikirannya keuntungan sesaat," tuturnya.

Rezasyah berharap PBNU memberikan sanksi tegas kepada kelima cendekiawan Nahdliyin itu sehingga tidak dipermainkan oleh tokoh-tokoh NU karikatural yang hanya mementingkan keuntungan jangka pendek, namun tidak memikirkan NU di masa depan. Kunjungan itu dinilai tidak tepat karena dilakukan saat Israel sedang melancarkan agresi besar-besaran lewat darat dan udara yang telah menewaskan lebih dari 38.500 warga Palestina di Jalur Gaza.

BACA JUGA: Indonesia Kutuk Serangan Israel ke Khan Younis, Sedikitnya 78 Tewas

Apresiasi

Aktivis pro-Israel sekaligus pendiri Yayasan Hadassah of Indonesia Monique Rijkers mengaku senang dengan adanya inisiatif dan keinginan untuk mengetahui kondisi di Israel. Karena itu, dia mengapresiasi kunjungan lima cendekiawan NU ke Israel dan menilai hal itu sebagai langkah yang bagus.

Terkait penilaian lawatan mereka tidak etis karena ada agresi Israel ke Jalur Gaza sejak awal Oktober tahun lalu, dia menegaskan orang Indonesia juga perlu mendengar dari sisi Israel. Sebab dalam sebuah peristiwa selalu ada dua sisi. Menurut Monique, mungkin orang Indonesia hanya tahu ada perang di Gaza tapi apa penyebabnya kurang terekspose di Indonesia.

Dia menambahkan dalam situasi perang justru yang harus banyak dibangun adalah jembatan bukan tembok penghalang. Dia menyebutkan jembatan yang dimaksud adalah sarana untuk saling mengenal dan mengetahui kondisi yang terjadi sebenarnya.

Oleh sebab itu, Monique menegaskan kunjungan lima cendekiawan NU ke Israel tidak perlu dipersoalkan karena tiga dasawarsa lalu Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang merupakan cucu pendiri NU, pernah berkunjung ke Israel. Kemudian Yahya Staquf - saat ini menjadi Ketua Umum PBNU - melawat ke Israel pada 2018.

Dia mengatakan yang paling penting saat ini adalah untuk mewujudkan perdamaian Palestina-Israel, maka harus melihat juga sisi Israel. Dia heran setiap kali ada tokoh dari Indonesia ke Israel selalu dikecam dan menolak. Ini menunjukkan keinginan untuk mengenal kurang dan semangat cinta damainya amat minim.

BACA JUGA: Bertemu Pemimpin Hamas, JK Serukan Persatuan Kelompok di Palestina

Yahya Staquf: Saya ke Israel Atas Nama Pribadi

Kunjungan tokoh NU ke Israel bukan yang pertama terjadi. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, merupakan cucu dari pendiri NU Kiai Hasyim Asy'ari, juga pernah melawat negara Bintang Daud itu pada 1994. Kemudian Kiai Marsudi Syuhud ketika menjabat di Majelis Ulama Indonesia. Lalu Yahya Cholil Staquf pada 2018.

Yahya mengakui lawatannya ke Israel enam tahun lalu juga atas nama pribadi pada 2018. Karena itu, dia mempertangungjawabkannya secara pribadi. Padahal jabatannya saat itu adalah anggota Dewan Pertimbangan Presiden.

"Waktu saya ke sana, saya tidak pernah nyebut-nyebut NU kecuali Gus Dur yang saya katakan sebagai guru saya dan inspirator saya. Tapi segala sesuatunya saya pertanggungjawabkan secara pribadi," tuturnya.

Dia menjelaskan Gus Dur sebelum berkunjung ke Israel berkonsolidasi lebih dulu dengan para kiai NU mengenai gagasannya menjalin relasi dengan Israel. Alhasil, kiai-kiai NU itu merestui keberangkatan Gus Dur ke Israel.

Sepulangnya ke Indonesia, Gus Dur kembali berbicara kepada kiai-kiai NU. Proses ini yang jarang diketahui masyarakat luas sehingga memicu kontroversi di masyarakat luas.

Your browser doesn’t support HTML5

PBNU Minta Maaf Atas Lawatan Lima Nahdliyin ke Israel

Mengikuti jejak Gus Dur, Yahya mengaku sowan pula ke para kiai sebelum terbang ke Israel, di antaranya Kiai Mustofa Bisri, Kiai Said Aqil Siradj. Bahkan, dia mengajak salah satu tokoh Yahudi untuk berdialog dengan Kiai Makmun Zubeir selama empat jam. Setiba di Indonesia, dia melapor kepada para kiai.

Dia menceritakan Gus Dur pergi ke Israel tidak asal datang untuk bertemu dengan sejumlah pihak. Gus Dur memiliki alasan strategis untuk bertemu Shimon Peres ketimbang Yitzhak Shamir. Gus Dur tahu betul posisi para elite politik Israel dan siapa yang harus diajak berkomunikasi dan didekati. Menurut Yahya, dirinya pun mencontoh Gus Dur bahkan berhubungan dalam skala lebih luas dengan para tokoh Yahudi di Amerika dan Eropa.

PBNU telah meminta kepada kelima cendekiawan Nahdliyin tersebut untuk mempertangungjawabkan kunjungan mereka Israel secara pribadi kepada masyarakat, karena itu pula yang dilakukan Gus Dur dan dirinya dulu.

Yahya menyebut kunjungan kelima cendekiawan Nahdliyin itu gagal karena tidak menghasilkan apa-apa. Dialog yang dilakukan, termasuk dengan Presiden Israel Isaac Herzog, juga tidak memberi manfaat yang substansial untuk membantu rakyat Palestina. [fw/em]