Pejabat PBB: Kekerasan di Rakhine Bercirikan Genosida

  • Lisa Schlein

Misi pencari fakta PBB di Myanmar: Marzuki Darusman (kiri/Ketua Misi), dan Yanghee Lee memberikan keterangan di Jenewa, Swiss (12/3).

Pakar independen PBB menyerukan kepada masyarakat internasional agar meminta pertanggungjawaban Myanmar atas pelanggaran HAM serius yang mungkin tergolong kejahatan berdasarkan hukum internasional. Para ahli itu menyampaikan laporan hasil penyelidikan mereka ke Dewan Hak Asasi Manusia PBB.

Tim Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia di Myanmar ditolak masuk ke negara tersebut. Meskipun demikian, Yanghee Lee dapat mengumpulkan bukti berbagai pelecehan berdasarkan wawancara dengan lebih dari 100 pengungsi Rohingya di kamp pengungsi Cox's Bazar di Bangladesh.

Dia mengatakan para pengungsi yang melarikan diri dari kekerasan di tiga kota kecil di Rakhine utara menceritakan kisah mengerikan di mana rumah mereka dibakar oleh aparat keamanan sementara orang-orang terjebak di dalam, anak-anak dilemparkan ke dalam kobaran api dan laki-laki dewasa dan anak laki-laki dieksekusi di depan keluarga mereka.

Menurut Lee, Myanmar sedang melakukan tindakan yang menimbulkan keraguan mengenai niatnya untuk memulangkan orang Rohingya dari Bangladesh. Dia mengatakan pemerintah tampaknya terlibat dalam proyek pembangunan berskala besar di wilayah yang tadinya desa-desa Rohingya

"Ada bukti kredibel yang meningkat, termasuk citra satelit, yang menunjukkan seluruh desa yang dulunya adalah kampung Rohingya telah dibuldozer rata ke tanah. Baru kemarin, citra satelit baru menunjukkan pangkalan militer sedang dibangun di daerah-daerah yang dibuldozer itu," kata Lee.

Sebuah laporan baru oleh kelompok HAM Amnesty International juga menunjukkan militer Myanmar sedang membuat jalan dan bangunan baru di atas desa-desa dan tanah Rohingya yang terbakar.

Lee mencatat bahwa tidak mungkin bagi orang Rohingya mengklaim dari mana asalnya atau di mana mereka sebelumnya tinggal di Rakhine jika lanskap wilayah tersebut berubah secara signifikan.

Dia mengatakan beberapa tahun lalu, Dewan Keamanan PBB diberitahu tentang kemungkinan Myanmar telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait Rohingya.

"Saya menjadi lebih yakin bahwa kejahatan yang dilakukan setelah 9 Oktober 2016 dan 25 Agustus 2017 menunjukkan ciri-ciri genosida dan meminta pertanggungjawaban terkuat," tambah Lee.

Misi pencari fakta PBB di Myanmar yang memiliki 3 anggota itu juga melapor ke Dewan Keamanan. Ketua misi itu, Marzuki Darusman mengatakan Myanmar memiliki kewajiban untuk memastikan tuduhan pelanggaran HAM segera diinvestigasi dan tidak memihak.

"Isi informasi dan materi yang kami kumpulkan bersifat konkret dan luar biasa. Ini menunjukkan pelanggaran hak asasi manusia yang paling serius, kemungkinan besar tergolong kejahatan di bawah hukum internasional," tandas Darusman.

Darusman mengatakan para penyidik mengumpulkan bukti berdasarkan wawancara dengan lebih dari 600 korban dan saksi di Bangladesh, Malaysia dan Thailand dan mereka menganalisa citra satelit, foto dan video.

"Analisis citra satelit sejauh ini menunjukkan bahwa setidaknya 319 desa di tiga kota tersebut sebagian atau seluruhnya hancur akibat kebakaran setelah 25 Agustus 2017," imbuhnya.

Perwakilan Tetap Myanmar di PBB, Htin Lynn, dengan tenang menyalahkan serangan teroris oleh Tentara Pembebasan Rohingya Arakan, ARSA, sebagai pemicu pergolakan dan eksodus hampir 700.000 orang Rohingya dari Negara Bagian Rakhine.

Dia mengatakan kepada Dewan PBB bahwa sebagian besar desa Rohingya tetap utuh dan tindakan hukum diambil di mana ada bukti nyata tentang pelanggaran hak asasi manusia. [as/jm]