Setelah mendapatkan penolakan dari sejumlah pihak, termasuk sejumlah ormas keagamaan, akhirnya acara Pekan Kondom Nasional 2013 dibatalkan.
JAKARTA —
Setelah mendapatkan penolakan dari sejumlah pihak termasuk organisasi keagamaan, akhirnya Panitia penyelenggara pekan kondom nasional 2013 membatalkan acara yang rencananya akan digelar mulai tanggal 1 hingga 7 Desember mendatang.
Pekan Kondom Nasional dimaksukan untuk menjadi ajang kampanye besar-besaran untuk sosialisasi pemakaian kondom pada masyarakat.
Hizbut Tahrir Indonesia merupakan salah satu ormas yang menolak Pekan Kondom Nasional yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan dan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional serta DKT, sebuah perusahaan yang memproduksi kondom merek Sultra dan Fiesta.
Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia Ismail Yusanto menyambut baik pembatalan Pekan Kondom Nasional itu.
Organisasinya lanjut Ismail menolak acara tersebut karena kondom sangat tidak efektif untuk mencegah penularan virus HIV AIDS.
Di banyak penelitian tambahnya menyebutkan bahwa ukuran pori-pori kondom jauh lebih besar dari ukuran virus HIV. Ukuran pori-pori kondom sebesar 1/60 mikron dalam kondisi normal dan membesar menjadi 1/6 mikron saat dipakai. Sedangkan ukuran virus HIV hanya 1/250 mikron sehingga virus HIV sangat mudah bebas keluar masuk melalui pori-pori kondom.
Dia juga tidak setuju dengan adanya pembagian kondom gratis di kampus-kampus dalam acara itu yang seakan menyuruh mereka melakukan hubungan seksual asalkan aman.
Hizbut Tahrir, kata Ismail, setuju bahwa harus adanya upaya untuk mencegah perkembangan penyakit menular itu, tetapi hal itu harus dilakukan secara tepat. Menurutnya, pembagian kondom seharusnya dilakukan kepada mereka yang beresiko dan bukan kepada mereka yang tidak beresiko.
Ismail Yusanto mengatakan, "Program bukan hanya gagal tetapi juga berbahaya karena ini bisa merusak cara berfikir seolah bahwa kalian bisa melakukan seks apa saja asal pakai kondom. Kita harus kembali ke cara yang benar bagaimana mengatasi persoalan berkembangnya penyakit HIV AIDS, ini secara komprehensif."
Sementara, psikolog Universitas Indonesia (UI) yang mengambil spesialisasi perilaku seksual Zoya Amirin membantah bahwa kondom melegalisasi seks pra nikah. Meski demikian, dia tidak setuju dengan adanya pembagian kondom secara gratis pada acara Pekan Kondom Nasional.
Yang penting dilakukan kata Zoya bukan membagikan kondom secara gratis tetapi bagaimana mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menggunakan kondom.
"Karena tanpa edukasi semua percuma . Kita harus berbuat perubahan perilaku. Bagaimana melakukan perubahan perilaku yah edukasi . Edukasinya bukan hanya agama tetapi juga harus ada nilai-nilai budaya," papar Zoya Amirin.
Sementara itu, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Kamil Siregar membantah adanya pembagian kondom kepada masyarakat umum terutama di kampus-kampus dalam acara Pekan Kondom Nasional.
Membagikan kondom kepada mereka yang tidak beresiko menurut Kamil sangat tidak tepat sasaran. Ia menjelaskan, "Kalau bagi kondom itu tidak ada gunanya. Itu hanya berguna kalau itu memang di tempatnya bukan di tempat lain karena virus HIV tidak menyebar di mana-mana dia hanya menyebar di tempatnya."
Pekan Kondom Nasional dimaksukan untuk menjadi ajang kampanye besar-besaran untuk sosialisasi pemakaian kondom pada masyarakat.
Hizbut Tahrir Indonesia merupakan salah satu ormas yang menolak Pekan Kondom Nasional yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan dan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional serta DKT, sebuah perusahaan yang memproduksi kondom merek Sultra dan Fiesta.
Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia Ismail Yusanto menyambut baik pembatalan Pekan Kondom Nasional itu.
Organisasinya lanjut Ismail menolak acara tersebut karena kondom sangat tidak efektif untuk mencegah penularan virus HIV AIDS.
Di banyak penelitian tambahnya menyebutkan bahwa ukuran pori-pori kondom jauh lebih besar dari ukuran virus HIV. Ukuran pori-pori kondom sebesar 1/60 mikron dalam kondisi normal dan membesar menjadi 1/6 mikron saat dipakai. Sedangkan ukuran virus HIV hanya 1/250 mikron sehingga virus HIV sangat mudah bebas keluar masuk melalui pori-pori kondom.
Dia juga tidak setuju dengan adanya pembagian kondom gratis di kampus-kampus dalam acara itu yang seakan menyuruh mereka melakukan hubungan seksual asalkan aman.
Hizbut Tahrir, kata Ismail, setuju bahwa harus adanya upaya untuk mencegah perkembangan penyakit menular itu, tetapi hal itu harus dilakukan secara tepat. Menurutnya, pembagian kondom seharusnya dilakukan kepada mereka yang beresiko dan bukan kepada mereka yang tidak beresiko.
Ismail Yusanto mengatakan, "Program bukan hanya gagal tetapi juga berbahaya karena ini bisa merusak cara berfikir seolah bahwa kalian bisa melakukan seks apa saja asal pakai kondom. Kita harus kembali ke cara yang benar bagaimana mengatasi persoalan berkembangnya penyakit HIV AIDS, ini secara komprehensif."
Sementara, psikolog Universitas Indonesia (UI) yang mengambil spesialisasi perilaku seksual Zoya Amirin membantah bahwa kondom melegalisasi seks pra nikah. Meski demikian, dia tidak setuju dengan adanya pembagian kondom secara gratis pada acara Pekan Kondom Nasional.
Yang penting dilakukan kata Zoya bukan membagikan kondom secara gratis tetapi bagaimana mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menggunakan kondom.
"Karena tanpa edukasi semua percuma . Kita harus berbuat perubahan perilaku. Bagaimana melakukan perubahan perilaku yah edukasi . Edukasinya bukan hanya agama tetapi juga harus ada nilai-nilai budaya," papar Zoya Amirin.
Sementara itu, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Kamil Siregar membantah adanya pembagian kondom kepada masyarakat umum terutama di kampus-kampus dalam acara Pekan Kondom Nasional.
Membagikan kondom kepada mereka yang tidak beresiko menurut Kamil sangat tidak tepat sasaran. Ia menjelaskan, "Kalau bagi kondom itu tidak ada gunanya. Itu hanya berguna kalau itu memang di tempatnya bukan di tempat lain karena virus HIV tidak menyebar di mana-mana dia hanya menyebar di tempatnya."