Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Yogyakarta menuntut pengesahan segera undang-undang untuk melindungi mereka dalam bekerja.
YOGYAKARTA —
Membawa wajan, nampan bambu dan peralatan dapur lain, sekitar 30 pekerja rumah tangga di Yogyakarta menggelar aksi di pusat kota Jumat (15/2), menuntut pengesahan undang-undang yang akan melindungi mereka dalam bekerja.
Rancangan undang-undang tersebut sudah diserahkan oleh gabungan sejumlah organisasi pekerja rumah tangga (PRT) seluruh Indonesia sejak 2010, namun belum juga disahkan menjadi undang-undang.
Arsi Muharti dari Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT) mengatakan sejumlah persoalan pokok yang membutuhkan penyelesaian adalah upah yang rendah, waktu kerja lebih dari delapan jam perhari, ketiadaan jaminan kesehatan dan sosial, serta masih banyaknya PRT anak yang berusia kurang dari 18 tahun.
“Kalau upaya kita di Jakarta, di tingkat nasional ada Jaringan Perlindungan PRT, itu sekarang bekerja sama dengan beberapa serikat buruh yang lain, mereka membentuk komite aksi PRT yang mengawal RUU ini supaya disahkan,” ujar Arsi.
“Kalau di DPR memang masih tarik ulur, ada beberapa hal yang belum ketemu. Tapi ya kalau kita lihat, soal komitmen saja. Komitmen politik dari mereka apakah mendukung atau tidak. Kalau mereka tidak segera mengesahkan berarti mereka tidak mendukung perjuangan kita.”
Murtini, seorang pekerja rumah tangga yang mengikuti aksi ini menilai, secara umum iklim bekerja di sektor ini masih memprihatinkan. Rata-rata mereka tidak memperoleh hari libur karena tetap bekerja di hari Minggu. Jam kerja juga tidak jelas, sebab tergantung kepada majikan masing-masing, ujar Murtini. Meski begitu, mereka tak bisa menolak karena ini menjadi satu-satunya kesempatan untuk mencari nafkah, katanya.
“Belum tentu juga kalau di tempat lain itu mereka bisa mendapatkan perlakuan yang baik. Saya pikir sama saja (di mana pun) karena teman-teman PRT itu karena sudah tidak ada pilihan mau bekerja apa lagi,” ujar Murtini.
Murtini berharap Undang-Undang PRT akan menjadi dasar yuridis bagi upaya meningkatkan daya tawar mereka di hadapan majikan.
“Jadi PRT itu susah, tidak ada perlindungan. Penyebabnya bisa dua-duanya (karena tidak ada aturan dan juga faktor majikan). Karena tidak ada peraturan makanya majikan bisa berlaku semaunya sendiri,” ujarnya.
Gubernur Sri Sultan Hamengkubuwono X sendiri telah mengeluarkan Peraturan Gubernur No. 31/2010 tentang perlindungan PRT. Namun, sebuah undang-undang yang berlaku nasional tetap lebih dibutuhkan untuk memberi jaminan perlindungan menyeluruh, menurut para pekerja tersebut.
Rancangan undang-undang tersebut sudah diserahkan oleh gabungan sejumlah organisasi pekerja rumah tangga (PRT) seluruh Indonesia sejak 2010, namun belum juga disahkan menjadi undang-undang.
Arsi Muharti dari Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT) mengatakan sejumlah persoalan pokok yang membutuhkan penyelesaian adalah upah yang rendah, waktu kerja lebih dari delapan jam perhari, ketiadaan jaminan kesehatan dan sosial, serta masih banyaknya PRT anak yang berusia kurang dari 18 tahun.
“Kalau upaya kita di Jakarta, di tingkat nasional ada Jaringan Perlindungan PRT, itu sekarang bekerja sama dengan beberapa serikat buruh yang lain, mereka membentuk komite aksi PRT yang mengawal RUU ini supaya disahkan,” ujar Arsi.
“Kalau di DPR memang masih tarik ulur, ada beberapa hal yang belum ketemu. Tapi ya kalau kita lihat, soal komitmen saja. Komitmen politik dari mereka apakah mendukung atau tidak. Kalau mereka tidak segera mengesahkan berarti mereka tidak mendukung perjuangan kita.”
Murtini, seorang pekerja rumah tangga yang mengikuti aksi ini menilai, secara umum iklim bekerja di sektor ini masih memprihatinkan. Rata-rata mereka tidak memperoleh hari libur karena tetap bekerja di hari Minggu. Jam kerja juga tidak jelas, sebab tergantung kepada majikan masing-masing, ujar Murtini. Meski begitu, mereka tak bisa menolak karena ini menjadi satu-satunya kesempatan untuk mencari nafkah, katanya.
“Belum tentu juga kalau di tempat lain itu mereka bisa mendapatkan perlakuan yang baik. Saya pikir sama saja (di mana pun) karena teman-teman PRT itu karena sudah tidak ada pilihan mau bekerja apa lagi,” ujar Murtini.
Murtini berharap Undang-Undang PRT akan menjadi dasar yuridis bagi upaya meningkatkan daya tawar mereka di hadapan majikan.
“Jadi PRT itu susah, tidak ada perlindungan. Penyebabnya bisa dua-duanya (karena tidak ada aturan dan juga faktor majikan). Karena tidak ada peraturan makanya majikan bisa berlaku semaunya sendiri,” ujarnya.
Gubernur Sri Sultan Hamengkubuwono X sendiri telah mengeluarkan Peraturan Gubernur No. 31/2010 tentang perlindungan PRT. Namun, sebuah undang-undang yang berlaku nasional tetap lebih dibutuhkan untuk memberi jaminan perlindungan menyeluruh, menurut para pekerja tersebut.