Pelaku Penembakan Masjid di Selandia Baru Dijatuhi Hukuman Penjara Seumur Hidup

Brenton Tarrant, di Pengadilan Tinggi Christchurch, Selandia Baru, 27 Agustus 2020. (Foto: John Kirk-Anderson/Pool via REUTERS).

Pendukung supremasi kulit putih, yang membunuh 51 jemaah di dua masjid di Selandia Baru tahun lalu, dijatuhi hukuman penjara maksimum, seumur hidup, tanpa peluang pembebasan bersyarat. Ini pertama kali Selandia Baru menjatuhkan hukuman seperti itu. 

Brenton Harrison Tarrant, usia 29 tahun, dalam sidang sebelumnya mengaku bersalah atas 51 pembunuhan, 40 percobaan pembunuhan, dan terorisme dalam penembakan pada 15 Maret 2019. Kamis pagi, hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat kepada warga Australia itu.

Ini pertama kali Selandia Baru menjatuhkan hukuman seperti itu, sejak menghapus hukuman mati untuk pembunuhan pada tahun 1961. Hakim Pengadilan Tinggi Christchurch Cameron Mander menyebut tindakan Tarrant tidak manusiawi.

"Sebagian besar korban Anda sedang salat. Anda melanggar tempat ibadah di mana orang berkumpul untuk mendapatkan kedamaian dan bersilaturahim. Kebencian telah menjadi inti sikap permusuhan Anda terhadap anggota komunitas tertentu, sehingga Anda datang ke negara ini untuk membunuh, tidak ada tempatnya di sini. Tidak ada tempat di mana pun," jelasnya.

BACA JUGA: Selandia Baru Mulai Bahas Hukuman atas Penyerang Masjid

Di luar gedung pengadilan, setelah putusan dibacakan, penyintas dan keluarga korban mengangkat dan mengepalkan tangan, bersuka cita. Mereka menyambut para pendukung yang melambai-lambaikan gambar hati dan membawa mawar putih.

Gamal Fouda, imam Masjid Al Noor di Christchurch, satu dari dua masjid yang ditarget Tarrant, mengatakan senang atas respon Selandia Baru terhadap ekstremisme dan hukuman itu adalah apa yang diharapkan komunitas Muslim. "Tidak ada hukuman yang akan menghidupkan lagi orang-orang yang kita cintai."

Tarrant, yang mewakili dirinya sendiri dalam persidangan itu, mengatakan melalui seorang pengacara di pengadilan bahwa dia tidak menentang keputusan itu. Ibu Tarrant, Sharon, tidak menanggapi hukuman itu.

PM Selandia Baru, Jacinda Ardern di Wellington, 17 Agustus 2020. (Foto: dok).

Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern, yang dipuji luas atas responnya terhadap serangan itu, menyambut baik hukuman itu. Menurutnya, pemuda itu pantas mendapat hukuman itu. Ia mengakui, trauma serangan itu tidak mudah disembuhkan, tetapi ia berharap ini terakhir kali penyintas dan keluarga korban mendengar atau menyebut nama teroris itu. "Saya merasa lega karena tahu bahwa orang itu tidak akan bisa lagi menikmati kebebasan," komentarnya.

Senada dengan apa yang disampaikan Ardern, Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengatakan dunia tidak boleh melihat atau mendengar dari laki-laki itu lagi.

Dalam empat hari persidangan, 90 penyintas dan anggota keluarga mengungkapkan kepada hakim dan terdakwa, rasa sakit dan akibat serangan itu. Tarrant tidak menunjukkan emosi apapun.

Warga menyambut gembira keputusan hakim atas kasus Brenton Tarrant di luar Pengadilan Tinggi Christchurch, Selandia Baru, 27 Agustus 2020.

Serangan-serangan yang menarget orang-orang yang salat di masjid Al Noor dan Linwood itu mengejutkan Selandia Baru. Negara itu kemudian mengeluarkan undang-undang baru yang melarang jenis senjata semiotomatis. Serangan itu juga mendorong perubahan global pada protokol media sosial.

Hari Kamis, Kementerian Luar Negeri Turki menyatakan "senang" hukuman terberat dijatuhkan kepada penyerang itu. Seorang warga Turki tewas dan dua luka-luka dalam serangan tersebut.

Winston Peters, wakil perdana menteri sekaligus menteri luar negeri Selandia Baru, menyerukan agar Tarrant dideportasi ke Australia untuk menjalani hukumannya. [uh/ab, ka/ii]