Pelaku UMKM Masih Kesulitan Mengakses Kredit Usaha Rakyat

FILE - Pemerintah memfasilitasi produk UMKM NTB melalui stand penjualan selama even di Mandalika. (Foto: Kemenparekraf)

Meski dianggap sebagai ujung tombak perekonomian Indonesia, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) masih sering mendapat perlakuan memprihatinkan. Banyak pelaku bisnis dengan skala tersebut mengaku kesulitan mendapat pinjman modal dari perbankan.

Muhammad Fadhil Raihan yang memiliki usaha antar jemput anak sekolah sejak 2019. Bisnisnya berjalan lancar, dan ia pun berniat mengakses kredit usaha rakyat (KUR) untuk mengembangkannnya.

Ia berniat meminjam maksimal Rp100 juta dan mengajukannya ke tiga bank. Semuanya menolak dengan alasan Fadhil tidak bisa memberikan jaminan berupa sertifikat hak milik (SHM) rumah.

Jaminan itu tidak bisa dipenuhi Fadhil, karena ia belum memiliki rumah. Ia pun sempat menawarkan akta jual beli rumah orang tuanya dan BPKB (Buku Pemilik Kendaraan Bermotor) mobilnya, namun juga ditolak. Terkait rumah, bank menolak karena pemiliknya belum melunasi KPR (kredit perumahan rakyat)-nya.

“Yang bisa saya simpulkan dari proses itu, sekarang harus SHM meskipun karakteristik usahanya masih di kategori UMKM. Mungkin alasannya ada beberapa yang bilang karena pasca COVID-19 jadi perbankan agak ragu kasih pinjaman,” ungkapnya kepada VOA.

Ia pun menyayangkan hal tersebut, karena berdasarkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian nomor 1 tahun 2023 tentang Pedoman pelaksanaan KUR, pinjaman di bawah Rp100 juta tidak memerlukan agunan tambahan.

BACA JUGA: Lindungi UMKM, Pemerintah Terbitkan Aturan Pengetatan Barang Impor

Fadhil mengatakan, , perbankan seharusnya bisa lebih adil dalam meminta jaminan kepada pelaku UMKM yang ingin mengakses KUR. Jaminan yang diminta, menurutnya, harus disesuaikan dengan karakteristik dari UMKM seperti kapasitas produksi dan potensi pendapatannya.

“Biasanya kita ditanya proyeksi kinerjanya seperti apa, produksinya berapa, potensi penghasilan berapa per bulan. Kalau misalkan ada kriteria pengajuan kredit yang menanyakan dengan kapasitas itu, menurut saya lebih rasional, lebih terjangkau. Jadi gak langsung SHM gitu (jaminan). Kita belum cerita (perbankan) sudah bilang ini harus (ada jaminan) SHM. Kalau pun SHM saya taruh, nilai NJOP kan tinggi, kalau dapat (modal pinjaman) cuma Rp100 juta kan berat,” jelasnya.

“Kalau masalah bunga menurut saya yang sekarang masih kompetitif, tapi persyaratannya saja yang harusnya jangan di samakan, karena berapa pun mau pinjam tetap harus SHM. Tapi alangkah baiknya ada stepnya,” tambahnya.

Your browser doesn’t support HTML5

Pelaku UMKM Masih Kesulitan Mengakses Kredit Usaha Rakyat

Pengalaman Fadhil pun diamini oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Eddy Misero. Menurutnya, kebijakan pemerintah yang menyatakan bahwa pinjaman di bawah Rp100 juta untuk pelaku UMKM tidak memerlukan jaminan, sama sekali belum terealisasi di lapangan.

“Misalnya gini, bahwa keputusan pemerintah tentang pengalokasian KUR untuk pelaku UMKM dengan pinjaman Rp100 juta ke bawah tidak diperlukan adanya kolateral, tidak perlu ada jaminan. Ternyata realisasi di lapangan, sesudah disiapkan semua persyaratan administrasinya, sesudah semuanya terpenuhi orang perbankan nanya ada jaminannya gak? Ada sertifikatnya 'gak? Kan kita bermain-main dengan itu namanya,” ungkap Eddy.

Ia menjelaskan, yang diinginkan oleh pelaku UMKM bukanlah bunga pinjaman yang murah, akan tetapi percepatan untuk mendapatkan modal usaha. Dengan kondisi seperti ini, tidak jarang banyak pelaku UMKM yang akhirnya mengakses pinjaman yang lebih mudah seperti lewat rentenir dan pinjaman online (pinjol).

“Sehingga saya dan teman-teman pelaku lain cenderung, ya sudah kita pinjam saja ke pinjol deh, kita pinjam ke fintech, atau kalau ada rentenir kita pinjam saja, walaupun interestnya jauh lebih tinggi tapi kami butuhkan hari ini, kemarin sudah disiapkan,” katanya.

ILUISTRASI - Seorang teller bank menghitung uang kertas rupiah untuk nasabahnya di Jakarta, 26 Agustus 2015. (REUTERS/Nyimas Laula)

Ketika ditanya, apakah langkah tersebut dapat memunculkan masalah baru karena bunga yang ditawarkan sudah pasti lebih besar, Eddy mengaku bahwa hal tersebut merupakan bagian dari risiko sebuah usaha yang mau tidak mau harus dilakukan untuk menopang keberlangsungan bisnis UMKM ini.

“Jadi banyak yang memerlukan bantuan modal kerja, banyak yang dapat proyek, tetapi akhirnya proyeknya tidak bisa mereka laksanakan karena ketiadaan modal kerja. Sehingga mereka berhitung, ah masih lumayan, lewat pinjol walaupun interestnya tinggi, tetapi masih ada kelebihan dari margin profitnya. Bayangkan kalau dikasih KUR yang bunganya hanya 0,5 persen, pasti happy banget kita,” katanya.

“Persyaratan yang sudah ditentukan oleh pemerintah, misalnya Rp100 juta ke bawah tidak perlu memakai jaminan atau kolateral, ya lakukanlah itu. supaya jangan kami bermimpi. Kalau misalkan pemerintah hanya bisa ngasih KUR Rp25 juta yang tidak pakai jaminan, ya sampaikan kepada pelaku UMKM. Jangan kemudian disampaikan Rp100 juta KUR bisa tanpa jaminan ternyata realisasi di lapangan tidak pernah ada,” tegasnya.

Presiden Joko Widodo mengatakan, penyaluran kredit kepada UMKM secara nasional hingga saat ini masih berada di level 21 persen. Angka tersebut, menurutnya, masih jauh dibawah negara-negara lain.

“Dan, yang selalu saya dorong yang berkaitan dengan pembiayaan, pembiayaan UMKM harus dipermudah. Karena kalau kita lihat penyaluran kredit perbankan ke UMKM baru 21 persen dari total kredit yang ada. Di China 65 persen gede banget, di Jepang 65 persen, di India 50 persen,” ungkap Jokowi di Jakarta, Kamis (7/12).

Jokowi menugaskan kementerian dan lembaga terkait seperti Kementerian BUMN, Bank Indonesia dan OJK untuk mengubah regulasi yang ada. “Jangan hanya melihat agunannya saja, dilihat juga dong prospek (usahanya), nggak punya agunan tapi kalau prospeknya bagus, mestinya bisa diberikan kredit,” tegas Jokowi.

Jokowi mengatakan, 61 persen PDB ekonomi nasional berasal dari UMKM, dan sekitar 97 persen tenaga kerja diserap para pelaku UMKM. [gi/ab]