Semuanya berubah tiga tahun lalu saat Partai Komunis yang berkuasa di China meluncurkan apa yang disebut sebagai kampanye melawan separatisme etnis dan ekstremisme agama. Bahkan, tokoh masyarakat yang dihormati sekali pun seperti Rozi mendadak ditangkap, terjebak upaya penertiban yang dikritik sebagai genosida budaya.
Sekitar 1 juta warga Uighur telah ditahan di kamp pengasingan dan penjara di seluruh penjuru daerah. Kelompok advokasi mengatakan, jumlah tersebut termasuk 400 tokoh terkemuka: akademisi, penulis, artis, hingga seniman. Para pengkritik menilai tindakan pemerintah dengan menyasar para intelektual sebagai cara untuk melemahkan, atau bahkan menghapus budaya, bahasa, dan identitas Uighur.
Setelah ditangkap pihak kepolisian pada 2016, Rozi yang berusia 54 tahun, dijatuhi hukuman lebih dari sepuluh tahun penjara atas tuduhan penghasutan untuk menggulingkan kekuasaan negara.
BACA JUGA: Warga Uighur Temukan Rasa Aman di ASSebagai salah satu tokoh terkemuka yang pertama kali ditahan, kisah Rozi menggambarkan bagaimana kaum Uighur yang mengikuti garis partai dan diterima pemerintah, malah kemudian mendapat cap sebagai musuh negara di tengah kampanye yang meluas akan pengawasan dan penahanan yang sedang berlangsung di Xinjiang.
“Ia punya banyak teman pejabat pemerintahan. Ia mampu memanfaatkan koneksi untuk menjual bukunya,” ungkap Abduweli Ayup, seorang ahli bahasa yang mengenal Rozi lewat usaha toko buku yang pernah dijalankannya dulu. “Buku-buku ini sangat laku.”
Penduduk etnis Uighur, yang berjumlah 11 juta jiwa di China, memiliki budaya, bahasa, dan agama yang berbeda dari etnis mayoritas Han. Etnis Han mikin banyak yang bermigrasi ke wilayah yang kaya sumber daya alam itu dan menduduki sebagian besar pekerjaan berpenghasilan tinggi serta posisi pemerintahan yang strategis. Kaum Uighur sendiri berbicara dalam bahasa Turk dan kebanyakan Muslim.
Selama satu dekade terakhir, kaum intelektual Uighur bermanuver secara hati-hati dalam upaya mereka memajukan budaya, sambil berupaya agar tidak dicap separatis atau ekstremis. Mereka bahkan tetap berkembang meski pemerintah secara berkala memberi kelonggaran dan memperketat kontrol atas wilayahnya.
Kawan, keluarga, dan teman sekelas menggambarkan Rozi sebagai pribadi yang keras, disiplin, dan sangat berhati-hati, serta menonjol karena kecakapan politik dan bisnisnya. Sebagai seorang mahasiswa di tahun 1980-an, Ia menjaga jarak dengan gerakan prodemokrasi yang mengguncang China dan menghindari interaksi dengan aktivis terkemuka.
Ia sempat naik daun di kalangan Uighur setelah berselisih dengan penulis terkenal, serta memenangkan perdebatan sengit di televisi. Dia memupuk hubungan yang baik dengan pejabat-pejabat negara bagian sehingga diperbolehkan menulis topik-topik sensitif seperti Islam dan identitas Uighur.
Rozi sendiri mendorong warganya untuk menempuh pendidikan dan melawan stereotipe Uighur yang dikenal sebagai terbelakang, asing, ataupun ekstremis.
“Terlihat bahwa di TV dan propaganda negara, semua yang kami lakukan hanya menyanyi dan menari,” sebut putra Rozi, Kamaltürk Yalqun dari Philadelphia, AS, di mana Ia dan anggota keluarga lainnya tinggal dalam pengasingan. “Ayah saya tidak menyukai pelabelan ini. Ia ingin agar kami bisa menjadi pengusaha, ilmuwan, intelektual.”
Saat pemerintah menarik Rozi pada 2001 untuk mengepalai sebuah komite yang bertugas menyusun buku literatur Uighur, Ia pun langsung memanfaatkan kesempatan itu.
BACA JUGA: Beijing Minta Restoran Muslim Copot Logo Beraksara ArabIa dan keluarganya pindah ke sebuah kompleks perumahan bersama para editor Xinjiang Education Press dan pejabat sekolah, berdebat tentang peristiwa-peristiwa dunia saat makan malam bersama komunitas penulis dan pelajar Uighur yang terjalin erat. Rozi terus belajar dan belajar dengan limpahan buku-buku, mengurung diri selama akhir pekan untuk fokus menulis dan menyunting.
Rozi terbiasa berurusan untuk berkompromi dengan kekhawatiran pemerintah akan identitas Uighur yang independen. Meski Ia terkadang senggol bacok dengan penyensoran, karyanya selalu mampu diterbitkan.
Keberuntungan keluarga dan kaum Uighur secara keseluruhan berubah drastis setelah serangkaian serangan teror yang terjadi di Xinjiang pada 2014, tak lama setelah Presiden China, Xi Jinping, berkuasa. Sebagai balasan, Beijing mulai bertindak keras terhadap mereka.
Rozi ditangkap segera setelah Chen Quango, seorang politisi garis keras, naik menjadi pejabat tinggi di Xinjiang pada 2016. Bukunya pun ditarik dari peredaran.
Rekan-rekan lamanya pun mulai menghilang dari Xinjiang Education Work, termasuk atasannya yang biasa mengawasi karyanya. Sejumlah perguruan tinggi pun mengadakan pertemuan politis untuk mengecam “buku-buku teks bermasalah”, di antaranya karya Rozi, yang disebut sebagai “pengkhianatan” dan “momok besar” yang meracuni warga Uighur dengan gagasan untuk berpisah dengan China.
“Buku-buku teks itu sama sekali tidak politis,” terang Kamaltürk. “Memang ada beberapa hal di dalamnya tentang kebanggaan menjadi seorang etnis Uighur, dan itu yang membuat pemerintah China marah.”
Kementerian Luar Negeri China merujuk pertanyaan seputar kasus Rozi kepada otoritas setempat, yang melalui faksimile tidak memberikan tanggapannya.
Para ahli mengatakan bahwa kampanye yang menentang buku-buku Rozi merupakan bagian dari usaha sistematis Beijing untuk menjauhkan pemuda Uighur dari bahasa dan budayanya, termasuk dengan menempatkan ribuan Uighur ke dalam panti asuhan dan sekolah asrama yang hanya menggunakan bahasa mandarin.
“Ini adalah proses rekayasa budaya yang perlahan untuk mengubah budaya Uighur dari atas hingga ke bawah – untuk secara mendasar memberantas bahasa Uighur, atau mengikisnya hingga mati di generasi-generasi penerus,” ujar James Leibold, seorang sarjana kajian etnis China di Universitas LaTrobe, Melbourne.
Kini, Kamaltürk, saudara perempuannya, dan ibunya berusaha untuk menarik perhatian publik pada kasus Rozi dari sebuah apartemen dua kamar tidur yang sempit di Philadelphia.
BACA JUGA: Pejabat China Bela Kamp Tahanan Warga Muslim UighurKamaltürk, yang sempat mengungguli nilai ujian masuk perguruan tinggi di Xinjiang dan memenangkan kursi untuk dapat belajar teknik kimia di salah satu universitas prestisius China, harus menunda mimpinya untuk kuliah kedoktera agar dapat menafkahi keluarganya. Ia sekarang berkutat untuk melobi para anggota Kongres di antara waktu kerjanya 14 jam sehari di sebuah perusahaan farmasi yang menguji sampel darah hewan.
Ia sedang membuat sebuah situs web yang didedikasikan untuk ayahnya, dan berencana untuk menyelesaikan terjemahan karya ayahnya dalam bahasa Inggris di suatu hari nanti, agar dapat menunjukkan kepada dunia bagaimana kaum Uighur menilai Rozi sebagai salah satu intelektual penting yang pernah ada.
Salah satu penyesalan terbesar Kamaltürk adalah Ia tak membawa semua buku teks karya sang ayah bersamanya saat meninggalkan China. Ia khawatir beberapa telah musnah.
“Tak ada satupun yang berpikir bahwa mereka bisa jadi sasaran, bahwa mereka bisa menghilang suatu saat,” katanya.
“Mencengangkan bahwa semuanya telah musnah.” [ga/ft]