Feri Amsari, pakar hukum dari Universitas Andalas, mengatakan pelibatan Badan Intelijen Negara (BIN) dalam penanganan pandemi virus corona bisa berpotensi menimbulkan penyimpangan.
Menurut Feri, BIN bukan dibentuk untuk menangani wabah penyakit. Selain itu, BIN seharusnya bekerja senyap tanpa terlihat, sehingga tidak bisa menjadi lembaga yang mengeksekusi kepentingan atau tugas-tugas khusus seperti birokrat atau penegak hukum lain.
"Makanya agak aneh kalau kemudian Badan Intelijen Negara kemudian diberikan berbagai ruang. Karena kalau dilihat penyimpangan yang terjadi di negara-negara yang badan intelijennya menyimpang, itu memang dia diberikan kewenangan yang berlebihan," kata Feri.
Dalam beberapa kasus di negara lain, imbuh Feri, badan intelijen bahkan mengambil alih kekuasaan karena sudah dipersenjatai dan bertindak di luar kewenangannya.
Feri menanggapi perintah Presiden Joko Widodo agar BIN ikut terlibat dalam pandemic Covid-19. Jokowi mengatakan pelibatan intelijen itu membantu mempercepat penelusuran kontak pasien yang positif terjangkit virus corona oleh kementerian terkait.
Namun, langkap Presiden menimbulkan pertanyaan banyak pihak. Apalagi, tidak hanya BIN, Presiden juga melibatkan Tentara nasional Indonesia dan Pam Swakarsa.
Feri mengingatkan badan intelijen itu mengetahui semua informasi sehingga berbahaya kalau diberikan kewenangan mengeksekusi.
BACA JUGA: Pemerintah akan Fokus Kendalikan Covid-19 di 9 ProvinsiKarena bukan tidak mungkin, badan intelijen akan menggunakan kekuasaan secara berlebihan dan bisa merugikan penyelenggaraan negara. Makanya tidak ada di negara maju dan beradab, badan intelijen diberikan kewenangan yang sama dengan lembaga-lembaga eksekutif.
Feri mengatakan BIN tugasnya memang menginformasikan segala hal kepada Presiden, tapi bukan berarti secara khusus diberikan kewenangan buat ikut menanganani wabah Covid-19. Yang jadi persoalan adalah seolah BIN sedang ikut dalam program penanganan Covid-19.
BACA JUGA: Tujuh RS Rujukan Covid-19 di Jakarta, Penuh 100 PersenFeri Kusuma dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), mengatakan selama BIN hanya mengumpulkan informasi intelijen mengenai wabah Covid-19 di Indonesia yang kemudian informasi tersebut diserahkan kepada Presiden atau lembaga-lembaga terkait penanganan Covid-19, maka hal itu tidak menjadi masalah.
Feri mengatakan Presiden Jokowi semestinya tidak perlu mengumumkan secara terbuka soal pelibatan BIN dalam penanganan Covid-19 karena memang kewajiban BIN adalan menggali informasi dan mendeteksi dini.
"Itulah pemerintah kita kan gamang. Jadi semuanya diinstruksikan seperti itu. Padahal nggak perlu lagi diinstruksikan memangnya BIN selama ini ngapain? BIN selama ini hanya menjadi lembaga politik," ujar Feri.
Yang menjadi masalah adalah pelibatan BIN berpotensi membuat lembaga intelijen itu melakukan tugas-tugas di luar kewenangannya.
Dia juga menyoroti pelibatan tentara untuk mengamankan tempat-tempat umum yang sebenarnya tidak dibutuhkan dalam penanganan Covid-19. Apalagi yang menjadi masalah sejak awal adalah sikap pemerintah yang wabah Covid-19. Hal ini diperparah ketika semakin banyak korban terinfeksi dan meninggal akibat Covid-19, pemerintah gamang dalam menentukan sikap.
Dia mencontohkan perbedaan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah, seperti dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Your browser doesn’t support HTML5
Sementara Pengamat Intelijen Ridlwan Habib mengatakan tindakan BIN untuk ikut menangani Covid-19 tidak menyalahi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) intelijen. Sebab, pelibatan lembaga negara intelijen ini sudah berkoordinasi dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Apalagi, ujarnya, Covid-19 sudah masuk kategori ancaman nasional dan di sinilah peran BIN untuk menangkalnya. Virus corona jika tidak ditangani serius akan menjadi ancaman ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat.
Ridlwan pun berpendapat, hasil analisis BIN terkait siklus pandemi dan perkiraan jumlah korban juga sangat bermanfaat bagi negara. [fw/ft]