Pemantauan independen kehutanan menjadi bagian penting dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), yang merupakan upaya pemerintah memastikan tata kelola dan pemanfaatan hutan sesuai peruntukannya. Namun, pada praktiknya, pembalakan dan pemanfaatan kayu secara tidak sah, serta tidak sesuai dengan peraturan perundangan masih sering didapati terjadi di Indonesia.
Temuan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Mangkubumi, selama periode 2020 hingga 2021, telah terjadi sejumlah pelanggaran terkait penebangan dan pemanfaatan kayu hutan oleh pemegang Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK). Pelanggaran itu di antaranya penebangan kayu di luar Rencana Kerja Tahunan serta diluar izin konsesinya, pemalsuan dokumen kayu, serta praktik jual beli dokumen V-Legal oleh eksportir non-produsen.
Juru Bicara PPLH Mangkubumi, Agus Budi Purwanto, mengatakan praktik pembalakan kayu secara tidak sah masih marak terjadi di sejumlah kawasan hutan di Kalimantan, Sulawesi dan Papua, bahkan selama masa pendemi COVID-19. Agus menyebut, modus penyelundupan kayu ilegal itu dilakukan dengan cara mencampur kayu olahan, yaitu dari sumber yang sah dengan sumber yang tidak sah.
“Di daerah misalnya di Maluku dan Kalimantan, itu mutasi kayu yang biasanya dimasukkan itu dari log, yang bulat itu menjadi balok dan komponen. Nah, itu biasanya peluang pencampuran. Jadi, peluang untuk pencampuran itu pasti bareng dengan proses perubahan bentuk kayu. Jadi, mencampur kayu ilegal dan legal itu terjadi bareng dengan proses kayu itu berubah bentuk, karena nanti susah melacaknya lagi,” ujar Agus Budi Purwanto.
Jumlah Pemantau Independen Tak Sebanding dengan Luas Hutan
Jumlah pemantau independen kehutanan yang hanya 500, serta personil penegak hukum di bidang kehutanan yang berjumlah sekitar seribu orang, dirasa kurang memadai untuk mengawasi kawasan hutan yang sangat luas serta industri yang berjumlah ribuan.
Agus mengatakan, sulitnya mengakses data oleh pemantau independen kehutanan di perusahaan pengolahan kayu serta instansi pemerintah, menjadi kendala pemantauan selama ini.
Selain itu, persyaratan pelaporan dari pemantau independen atas terjadinya pelanggaran oleh perusahaan, menurut Agus harus menjadi evaluasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beserta aparat penegak hukum, sebagai komitmen terhadap perlindungan dan pelestarian hutan.
BACA JUGA: Di Tengah Pandemi, Penebangan Ilegal Kayu Hutan Masih Marak“Kalau dengan keterbatasan-keterbatasan itu, kami harus melaporkan ke penegak hukum dengan requerment yang detail, ada buktinya dan seterusnya, lalu daya kami apa? Tidak punya daya itu. Justru dengan kunci informasi awal, kami harapkan Gakkum, kemudian lembaga sertifikasi itu (lakukan) tindak lanjutnya, masuk ke situ,” kata Agus.
Sulitnya mengakses data maupun lokasi yang diduga sebagai tempat terjadinya pembalakan kayu hutan secara tidak sah, juga dialami Wancino, pemantau independen asal Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Praktik kejahatan di bidang kehutanan, kata Wancino, terjadi secara terbuka dan tidak ada tindakan nyata untuk menghentikannya. Sedangkan pengawasan yang dilakukan pemantau independen bersama masyarakat adat, justru menghadapi intimidasi serta teror dari oknum petugas maupun pihak perusahaan.
“Garda utamanya adalah masyarakat sebenarnya, untuk menjaga hutan ini. Cuma, selama ini mereka diintimidasi, diteror, ya oleh pihak perusahaan dan aparat. Tapi adanya kebijakan SVLK ini menjadi titik terang bagi masyarakat adat bahwa mereka bisa berkontribusi untuk tata kelola kehutanan, dan menjaga hutan,” tutur Wancino.
Meski menemui kendala dalam pelaporan dan penindakan di lapangan, Wancino yakin Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) bersama pemantauan yang dilakukan oleh masyarakat, merupakan skema tata kelola yang baik dalam memastikan hutan tetap terjaga dan lestari.
“Harapan kita kedepan, pemerintah mari bersama-sama, dari bawah itu mari kita sama-sama jaga hutan, jadi tidak bermain-main di aturan untuk merusak hutan tersebut, baik dari tingkat kabupaten, provinsi, ataupun tingkat pengadilan," ujar Wancino.
"Kalau kita sama-sama bekerja, saya kira hutan kita tetap terjaga, dan untuk generasi penerus tetap utuh. Jadi kita tidak meninggalkan lingkungan yang tidak sehat, karena musibah-musibah, banjir, karhutla, itu salah satunya karena kita sendiri tidak sadar telah menghabiskan hutan kita dengan cara-cara yang tidak sesuai,” urainya.
Dinamisator Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), Muhammad Ichwan, meminta pemerintah terus menjaga komitmennya untuk menurunkan laju deforestasi maupun degradasi hutan sesuai kesepakatan Paris. Ichwan juga mendorong pemerintah segera memperpanjang moratorium perizinan sawit dalam kawasan hutan, sebagai bentuk komitmen menekan laju deforestasi hutan.
“Kami dorong pemerintah harus terus komitmen untuk segera menurunkan laju deforestasi, walaupun sebenarnya per Maret 2021 kemarin laju deforestasi menurun, hanya tinggal 145.000 H, yang klaimnya pemerintah," katanya.
Your browser doesn’t support HTML5
"Tapi kalau kita melihat di lapangan, itu masih banyak pembukaan-pembukaan kawasan hutan, diluar untuk fungsi kehutanan, baik untuk land clearing sawit, baik itu untuk kebutuhan pertambangan, untuk kegiatan-kegiatan non-kehutanan lainnya yang mempengaruhi tutupan hutan. Nah, ujung-ujungnya ya terjadi deforestasi,” seru Ichwan. [pr/em]