Kelompok pemerhati lingkungan, Kaoem Telapak bersama Environmental Investigation Agency (EIA), mengatakan lemahnya penegakan hukum di Indonesia dalam masalah lingkungan menjadi faktor utama hilangnya hutan di Indonesia dalam satu dekade terakhir. Menurut catatan kedua kelompok itu, sekitar 200 ribu hektar hutan di tanah air hilang setiap tahunnya.
Direktur Eksekutif Kaoem Telapak, Abu Meridian, menyebutkan upaya penegakan hukum terhadap pelaku pembalakan kayu hutan saat ini hanya berhenti pada operator dan perusahaan pengirim di tempat asal kayu, sementara perusahaan penerima kayu hasil kejahatan hutan malah sering kali terbebas dari jerat hukum.
“Proses (hukum)nya tidak lanjut sampai ke siapa sebenarnya penerima kayu-kayu tersebut,” katanya saat memberikan keterangan kepada media, Selasa (19/1).
Di Surabaya misalnya, tutur Abu, masalah itu hanya terhenti sampai pada perusahaan kayu yang mengirimkan kayunya ke Surabaya. Namun, perusahaan yang menerima kayu di kota itu malah tidak banyak tersentuh oleh hukum.
Bahkan riset Kaoem Telapak dan EIA mengungkapkan adanya 50 perusahaan yang terbukti menjual kayu ilegal, secara langsung maupun tidak langsung. Namun, kurang dari 10 perusahaan yang diproses hukum hingga jenjang pengadilan.
Senada dengan dua kelompok itu, juru kampanye hutan, Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), Muhammad Ichwan, menegaskan pentingnya regulasi dan penegakan hukum untuk mengurangi kerusakan hutan. Tatanan regulasi yang ada saat ini, tambahnya, dipandang masih menyuburkan praktik kejahatan kehutanan di tanah air.
Lebih lanjut, Undang-Undang 18 Tahun 2013, tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, menurut Ichwan, juga menjadi penghambat proses penyidikan dan pengungkapan praktik pembalakan kayu ilegal yang dilakukan para pelaku kejahatan kehutanan. Hal itu terjadi karena waktu penyidikan yang dianggap sangat minim.
Abu Meridian berharap aparat penegak hukum dapat menjadi garda terdepan dalam upaya mencegah kerusakan hutan akibat pembalakan liar. Salah satu caranya adalah dengan memberikan hukuman berat sebagai efek jera bagi pelaku kejahatan kehutanan.
“Kita lihat dari beberapa kasus, dari apa yang mereka hasilkan, seakan-akan hasil vonis sidang ini tidak memberikan efek jera kepada para pembalak kayu,” tegasnya, sambil menambahkan ke depannya kejaksaan maupun pengadilan diharapkan dapat bertindak lebih tegas.
Maraknya Pembalakan Hutan
Abu Meridian menyebut praktik pembalakan kayu hutan akhir-akhir ini makin marak terjadi di wilayah Papua dan Papua Barat, serta di hampir seluruh hutan di Indonesia. Sejak 2013, kayu dalam bentuk olahan dan kayu gelondong, banyak diselundupkan ke Pulau Jawa. Kayu-kayu tersebut selanjutnya diproses dan diekspor ke luar negeri.
“Kita masih menemukan bahwa masih ada pergerakan kayu merbau ini dari wilayah Papua dan Papua Barat, menuju wilayah Surabaya dan kemudian di ekspor ke wilayah-wilayah lain,” tegasnya.
Modus penjualan kayu ilegal itu terus berubah dari tahun 2005 hingga saat ini. Sejak tahun 2013, kayu hasil pembalakan diproses di hutan dan dijual dalam bentuk kayu-kayu olahan.
Ichwan menambahkan langgengnya praktik pembalakan kayu hutan tersebut, juga didukung keterlibatan perusahaan kayu pemegang Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Mereka melakukan pemalsuan dokumen untuk menjadikan kayu ilegal menjadi legal.
“Perusahaan-perusahaan yang memiliki SVLK, justru ikut terlibat dalam, misalkan pembuatan dokumen palsu. Modusnya dia bekerja sama dengan pemasoknya untuk membuat dokumen palsu atas kayu-kayu yang tidak jelas asal usulnya,” paparnya. [pr/ah]