Kelompok hak-hak reproduksi “The Guttmacher Institute” melaporkan sejak Januari lalu saja ada sedikitnya 83 pembatasan aborsi yang diberlakukan di 16 negara bagian di Amerika. Yang paling terdampak pembatasan aborsi ini adalah perempuan kulit berwarna, khususnya mereka yang terpaksa menjadi pengangguran karena pandemi. Walhasil tingkat aborsi meningkat tajam di negara-negara bagian seperti Colorado dan Washington DC di mana akses untuk melakukan aborsi lebih mudah.
Di ibu kota Amerika, Du Pont Clinic merasakan peningkatan pasien dari negara-negara bagian lain hingga 10% sejak Maret 2020 lalu. Separuh diantara mereka tidak memiliki asuransi dan tidak dapat membayar prosedur aborsi yang mencapai hingga 12.000 dolar. Salah seorang pendiri klinik itu, Maritza Arias Basemore mengatakan kekurangannya ditutupi oleh sejumlah LSM.
“Kami secara kolektif lewat dana-dana yang kami terima, menutup kekurangan anggaran itu dan memberikan bantuan yang mereka butuhkan. Ini tidak terbatas pada soal finansial untuk aborsi, tetapi juga transportasi, dukungan logistik, hotel, dan lain-lain," katanya.
DC Abortion Fund – yang semuanya bersifat sukarela – adalah salah satu LSM yang mengumpulkan uang untuk membantu menutupi kekurangan dana untuk aborsi. Direktur Pengembangan DC Abortion Fund Debora Swerdlow mengatakan permintaan aborsi kini meningkat, terutama di kalangan perempuan yang kehilangan pekerjaan dengan upah rendah.
“Dalam lima bulan pertama tahun 2021 kami menyumbangkan lebih dari 100 ribu dolar setiap bulan. Ini lebih besar dua kali lipat dibanding yang biasanya kami berikan. Jadi kami melakukan yang terbaik, tetapi hal ini benar-benar tidak berkelanjutan," katanya.
Sebaliknya kelompok-kelompok “pro-life” yang menolak aborsi, ingin agar seluruh tindakan aborsi dilarang dan memobilisasi dukungan untuk menentang usul pemerintahan Biden untuk mencabut Amandemen Hyde, yang melarang penggunaan uang hasil pajak rakyat untuk aborsi. Usulan itu akan diajukan ke Kongres. Kembali Carol Tobias, Presiden “National Rights to Life.”
“Pemerintah Biden merupakan pemerintahan pro-aborsi paling ekstrem dan radikal yang sangat fanatik yang pernah ada. Kami ingin setiap orang bicara dengan anggota-anggota Kongres untuk menekan mereka," katanya.
BACA JUGA: Mahkamah Agung AS Pertimbangkan Hak AborsiKelompok-kelompok anti-aborsi di Kongres juga sedang berjuang menentang UU Perlindungan Kesehatan Perempuan, yang dapat membatalkan pembatasan aborsi di negara-negara bagian.
“Akan membatalkan perlindungan kesehatan dan keselamatan, akan membatalkan ketentuan pemberian persetujuan, akan membatalkan perlindungan aborsi dalam jangka panjang. Kita bicara tentang hampir semua negara bagian yang memiliki jenis aturan hukum ini," ujar Catherine Glenn Foster, CEO “American United for Life."
Namun di beberapa negara bagian yang memberlakukan pembatasan aborsi, aktivis-aktivis hak aborsi paling khawatir tentang aturan hukum yang disebut “Texas Heartbeat Law.” Yaitu aturan hukum yang melarang aborsi setelah kehamilan memasuki minggu keenam. Pihak-pihak yang tidak terkait juga dapat menggugat penyedia jasa aborsi.
Brittany House melakukan aborsi pada tahun 2012. Sukarelawan anti-aborsi di “Planned Parenthood” itu mengatakan perlu ada upaya untuk mengakhiri stigma terhadap mereka yang mengakhiri kehamilan, terutama di kalangan perempuan kulit hitam yang miskin.
BACA JUGA: FDA: Perempuan Bisa Minta Pil Aborsi dari Dokter Lewat Telemedisin“Anda tidak ingin perempuan melakukan aborsi? Tidak apa-apa. Namun demikian program keadilan sosial apa yang ada di negara-negara bagian yang memberlakukan larangan aborsi, yang akan membantu perempuan untuk tidak melakukan aborsi? Apakah dengan meningkatkan manfaat SNAP? Atau meningkatkan tunjangan pengasuhan anak? Atau meningkatkan transportasi? Apa yang akan Anda lakukan untuk memastikan agar perempuan tidak melakukan aborsi?” paparnya.
Beradasarkan putusan Mahkamah Agung Amerika tahun 1973 dalam kasus Roe vs Wade, aborsi merupakan hal yang sah atau legal. Tetapi sejauh mana negara dapat membatasi hal itu telah menjadi pertarungan politik dan hukum yang masih terus berlangsung.
Pakar hukum di Universitas Harvard, Ana Langer, mengatakan konsensus tentang hal itu akan sulit dicapai.
“Kita harus terbuka untuk memahami argumen apa yang ditawarkan oleh masing-masing pihak dan mudah-mudahan sampai pada semacam jalan tengah, yang pada akhirnya akan mendukung kesehatan perempuan dan keluarga mereka," ujar dia.
Mahkamah Agung Amerika bulan Mei lalu setuju untuk mendengar keberatan terhadap aturan larangan aborsi setelah 15 minggu kehamilan yang diberlakukan di Mississippi. Dengan mayoritas hakim agung konservatif yang solid, Mahkamah Agung diperkirakan akan membatalkan aturan hukum yang sudah berlaku selama 48 tahun itu. [em/jm]